Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Arya menusuk punggung Jesika berkali-kali menggunakan pisau kecil. Pisau itu menembus kulit Jesika seketika darah mengalir membasahi bajunya, tapi Jesika tidak ambruk. Ia tetap berdiri dengan kepala tertunduk, ia bahkan tidak bersuara sedikit pun. Menyadari hal itu, Arya dengan sekuat tenaga menghantamkan pisaunya bertubi-tubi ke leher Jesika. Namun tetap saja, walau pisau Arya berhasil menembus kulit hingga mengeluarkan darah, wanita itu tetap tidak merasa kesakitan.
ADVERTISEMENT
Rini dari balik semak-semak berteriak ketakutan. Arya balik badan, melangkah tergesa hendak menghabisi nyawa Rini. Hanya tinggal selangkah lagi Arya dapat meraih Rini, namun tiba-tiba saja tubuhnya terpental. Jesika yang melakukan itu. Aura Jesika berubah mengerikan, tatapannya tajam, kedua bola matanya merah. Ia melayang mendekati Arya yang masih tersungkur di tanah. Lelaki itu meringsut mundur ketakutan, kaki kanannya terkilir sehingga tidak mampu lagi untuk berdiri.
Jesika meluruskan telunjuknya ke wajah Arya. Tubuh Arya perlahan melayang dan mendekat ke arah Jesika. Ia mencekik leher lelaki itu dengan erat. Arya meminta ampun sambil meringis kesakitan. Cekikan itu semakin lama semakin kuat, sampai-sampai Arya kesulitan bernapas. Tubuhnya kejang-kejang, air kencing keluar tanpa izin membasahi celana Arya, matanya melotot, Arya dicekik hingga tewas. Setelah itu, mulut Jesika terbuka lebar, gigi-giginya hitam dan tajam melahap bulat-bulat mayat Arya.
ADVERTISEMENT
Ia kemudian mendekat pada Rini yang sedang ketakutan melihat kejadian mengerikan tadi. Rini mundur beberapa langkah, ia harus waspada karena Jesika sedang dikendalikan makhluk gaib. Rini merogoh kantong jaketnya, ia menggenggam erat sebuah jimat pemberian eyang Dimas yang diyakini bisa menjaganya. Dan ternyata Jesika tidak sedikit pun menyentuh Rini, ia malah jatuh terkulai di atas semak-semak. Rini buru-buru menghampiri temannya itu.
"Jes? Jesika?" tubuhnya dingin sekali.
Rini menghampiri temannya, ia memegang leher Jesika yang penuh dengan luka tusukkan. Seharusnya Jesika sudah tewas, tapi Rini masih bisa merasakan denyut nadi temannya itu. Setengah terpejam, Jesika menatap wajah Rini.
"Tadi siapa, Rin?" tanya Jesika parau.
"Arya Jes. Dia ngikutin kita. Jes, kita harus cepat turun. Gunung ini sangat berbahaya."
ADVERTISEMENT
Tanpa memikirkan hal-hal aneh, Rini kembali membantu temannya untuk bangkit, mereka harus segera turun dari gunung Karang.
***
Sementara itu di rumah abah Sarnaji, Ombi terkapar di atas kursi kayu. Perlahan kelopak matanya terbuka, pandangannya kabur, ia memegang kepalanya karena terasa pusing. Seingatnya, terakhir kali ia sadar saat sedang mengantar Rini dan Jesika ke makam keramat. Dari situ dia tidak sadarkan diri dan tiba-tiba saja sekarang ia ada di rumah abah Sarnaji.
"Sudah siuman kau Ombi," abah Sarnaji muncul dari dalam kamar.
"Ini ada apa, Bah. Bukannya tadi kita mau ke makam keramat?"
"Abah menyelamatkanmu, Ombi. Tamumu itu sangat berbahaya. Dia bukan ketempelan, tapi udah jadi setan!" Wajah abah Sarnaji seketika tegang.
ADVERTISEMENT
"Serius, Bah?"
"Iya, setan itu sengaja menyerupai Jesika supaya bisa dengan mudah memangsa manusia, menjadikannya tumbal."
"Hah? Tumbal? Tumbal apa, Bah?"
"Untuk kebangkitan seseorang."
"Siapa?"
"Ki Bamantara, dia orang sakti. Nanti setelah genap membunuh tiga puluh orang maka Ki Bamantara akan bangkit."
"Apakah Ki Bamantara punya dendam pada seseorang?"
"Entahlah, yang jelas lelaki itu sangat sakti dan berbahaya."
"Jadi wanita sakit yang saya bawa kemarin itu setan, Bah?"
"Jesika. Yang namanya Jesika. Dia itu kuntilanak!"
Ombi bergidik ngeri. Ia langsung berterima kasih pada abah Sarnaji karena telah menyelamatkannya dari kuntilanak.
"Lalu bagaimana nasib Rini, Bah?"
"Dia tidak akan bertahan lama, kuntilanak itu akan memakannya." ujar abah Sarnaji. Ia kemudian masuk kembali ke kamar untuk bersemedi.
ADVERTISEMENT
Ombi melempar pandangan ke luar jendela, ia sebenarnya khawatir pada Rini. Tapi, tidak ada yang bisa ia lakukan.
___
Nantikan cerita Lingsir Wengi Tembang 3 selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini: