part 9_square(1).jpg

Mall Angker Jakarta: Arwah Nayla (Part 9)

8 April 2020 14:23 WIB
comment
20
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mall Angker Jakarta. Foto: Masayu/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Mall Angker Jakarta. Foto: Masayu/kumparan
ADVERTISEMENT
Nayla masih berdiri di sana. Kenapa dia terus mengikutiku? Aku tahu kalau dia itu bukan manusia, melainkan hantu yang bergentayangan di mal ini. Aku berhenti mengelap meja lalu berjalan masuk ke dalam kios. Tiba-tiba Tio berdiri di hadapanku, ia tersenyum. Aneh sekali.
ADVERTISEMENT
“Kamu kenapa?” tanyaku heran.
“Nun, aku mau jujur.”
Dahiku mengkerut, “Jujur apa maksudnya?”
“Tentang bunga tadi.”
“Iya?” tanyaku.
“Itu bunga dariku buat kamu,” Tio tersenyum.
“Dalam rangka apa, ya?”
“Em... enggak dalam rangka apa-apa sih,” dia gelagapan.
“Oh, ya sudah terima kasih,” jawabku singkat karena malas meladeninya.
“Nun,” saat akan menaruh kain basah, Tio menggenggam lenganku.
“Apalagi Tio?”
Dia meraih tas kecilnya, mengeluarkan sebuah kotak yang dibungkus dengan plastik hijau.
“Aku beli handphone buat kamu supaya kamu gampang komunikasi sama Bu Indri atau sama keluargamu di kampung.”
“Serius?” tanyaku. Tentu saja aku senang ada yang membelikan handphone.
“Iya Nun ambil buat kamu.”
ADVERTISEMENT
Tanpa ragu lagi, aku mengambil handphone itu.
“Oke, terima kasih Tio.”
Sebenarnya Ibu dan bapakku tidak punya handphone di rumah. Hanya keluarga Bi Risma yang punya handphone dan sayangnya aku tidak tahu nomornya.
Tidak lama berselang. Seorang wanita berdiri di depan kios, ia terlihat bingung sambil menengadah membaca terbata-bata nama kios tempatku bekerja.
“Hai, ini kiosnya Bu Indri?” ia menghampiriku.
“Iya betul," jawabku.
“Karyawan baru, ya?” Tio muncul dari dalam kios.
“Iya Kak. Kenalkan aku Santi,” ia menjabat tangan Tio.
“Aku Tio dan ini Inun,” ujar Tio. Santi menjabat tanganku juga.
Tio mempersilakan Santi untuk masuk.
“Gimana di jalan. Nyasar nggak?” tanya Tio sambil memasukkan tas Santi ke dalam loker.
ADVERTISEMENT
“Nggak kok. Malah tadi dibawa ke jalan pintas sama sopir bajajnya.”
“Wah jalan pintas di mana, tuh?”
“Aku nggak tahu sih lupa nama jalannya. Cuma tadi tuh sopir bajajnya lewat jalan kecil di kuburan yang nggak jauh dari Kuningan.”
“Oh, iya,” Tio terlihat seperti mengingat-ingat jalan itu.
Santi terlihat masih sangat muda. Mungkin saja dia baru lulus SMA, sama sepertiku. Pas awal-awal kenal sama dia, aku tidak terlalu aktif mengajaknya bicara. Suasana hatiku sedang tidak bagus, aku tetap kepikiran Bi Risma dan juga pembunuhan semalam.
Apa aku lapor polisi saja? Tapi aku tidak punya bukti apa pun. Bu Indri pasti sudah melenyapkan semua barang bukti. Oh, atau bahkan mayat lelaki tua itu sudah ia lenyapkan. Satu-satunya orang yang bisa kupercaya adalah Mbak Tania, mungkin nanti aku akan memberitahu padanya tentang pembunuhan yang dilakukan Bu Indri.
ADVERTISEMENT
Kuperhatikan Santi bekerja dengan cekatan. Dia terlihat sudah biasa melayani pelanggan. Aku dan Tio benar-benar sangat terbantu dengan adanya Santi. Dia bahkan sudah bisa menjadi kasir, caranya menghitung uang juga terbilang cepat.
Saat kami sedang sibuk melayani pelanggan, tiba-tiba Bu Indri datang. Ia mengenakan celana jogger, sepatu sport, dan kaos olahraga. Mungkin dia baru pulang senam.
“Hai semua,” sapanya ramah sambil tersenyum.
“Hai Bu Indri,” jawabku.
“Ini karyawan baru itu, ya?” Bu Indri menyentuh pundak Santi.
“Iya, Bu. Aku yang direkomendasikan Tia.”
“Oh, Tia," Bu Indri mengangguk.
“Buat teman-teman tolong Santi dibimbing ya. Santi kalau kamu butuh apa-apa bisa bilang ke Tio. Dia udah lumayan lama di sini.”
ADVERTISEMENT
Santi mengangguk.
“Jadi begini. Sengaja saya datang ke sini soalnya ada yang mau saya umumkan.”
Kami semakin fokus menyimak.
“Hayo. Tebak apa coba?” kata Bu Indri dengan senyum khasnya, jari telunjuknya diacungkan.
“Nggak tahu, Bu,” jawabku.
“Besok saya mau ajak kalian makan malam di rumah saya.”
Kulihat Tio dan Santi semringah, terlihat senang mendengar undangan itu.
“Dalam rangka apa ya, Bu?” tanya Santi yang senyumnya masih mengembang.
“Anak saya ulang tahun,” Bu Indri bertepuk tangan.
“Ayo tepuk tangan,” lanjutnya.
Kami bertiga kemudian tepuk tangan.
Oya, buat Inun wajib hadir ya. Awas jangan main ke gudang lagi,” katanya sambil bercanda.
“Hayo Inun main ke gudang mana?” tanya Tio.
ADVERTISEMENT
“Hahaha... saya cuma becanda, Tio.”
Aku gelagapan. Apakah dia tahu kalau aku mengikutinya?
Oya, Inun. Soal Risma, saya sudah lapor polisi. Sekarang sedang dilakukan pencarian. Kamu yang sabar, ya. Kalau butuh apa-apa bilang saya aja,” Bu Indri menyentuh pundakku. Aku tidak nyaman dengan parfum yang ia gunakan, sangat menyengat.
Aku mengangguk. Lihat saja, sekali aku punya bukti tentang pembunuhan yang dilakukan Bu Indri, aku akan langsung melaporkannya ke polisi.
***
Sepulang kerja. Aku berniat untuk mendatangi Mbak Tania, tapi saat hendak mengetuk pintunya, kudengar suara erangan yang membuatku ngilu. Mungkin dia sedang melayani pelanggannya. Aku mengurungkan niat dan masuk ke dalam kontrakan.
Kuambil handphone pemberian Tio dari dalam tas. Ternyata kartunya sudah terpasang, pun dengan pulsanya. Tio sudah mengisinya sebesar 50 ribu. Baik sekali orang itu. Saat kuletakkan kembali handphone tersebut, tiba-tiba terdengar suara notifikasi SMS.
ADVERTISEMENT
‘Hai Inun, udah tidur belum?’
Itu pasti Tio.
‘Belum. jawabku singkat.
‘Jangan begadang, Nun. Nanti sakit.’
Aku tidak membalasnya lagi. Kucoba memejamkan mata walau suara Mbak Tania masih terdengar sangat mengganggu dan menjijikan. Kucoba membalikkan badan, dan.... entah dari mana datangnya, Nayla tiba-tiba ada di sampingku. Dia tersenyum dengan matanya yang melotot. Aku terkejut lalu berteriak sekencang mungkin.
Nantikan cerita Mall Angker Jakarta selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten