Mbah Ngesot

Mall Angker Jakarta: Pelanggan Gaib (Part 5)

4 April 2020 17:25 WIB
comment
10
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mall Angker Jakarta. Foto: Masayu Antarnusa/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Mall Angker Jakarta. Foto: Masayu Antarnusa/kumparan
ADVERTISEMENT
“Be... belum, Bu,” Tio ketakutan.
Aku bahkan gelagapan dan tidak bisa mengucapkan apa pun.
ADVERTISEMENT
“Hayo mau ngintip saya, ya?” tanya Bu Indri dengan nada seperti bercanda.
“Enggak kok, Bu. Saya tadi mau nganter Inun yang kunci kontrakannya ketinggalan. Eh, ternyata ada di kantong jaketnya. Iya kan Nun?” Tio berbohong.
“Nun!” Tio menepuk pundakku.
“I... iya, Bu.”
“Ya sudah sana pulang. Udah malam, lho.”
“Iya, Bu. Kalau gitu kami pamit.”
Kami bergegas pergi. Sesekali aku menoleh ke belakang dan melihat Bu Indri masih berdiri sambil melihat tajam ke arah kami. Segera kami percepat langkah. Malam itu aku merasa sangat mencekam. Aku penasaran pesugihan apa yang dilakukan Bu Indri?
***
Semakin malam, aku semakin khawatir lantaran Bi Risma belum juga pulang. Saat itu aku belum punya handphone. Jadi, aku tidak bisa menghubunginya.
ADVERTISEMENT
Di luar hujan turun dengan sangat deras. Aku tidak bisa tidur karena memikirkan bibiku. Aku terus berdiri di pintu kontrakan dengan gelisah. Mataku tidak lepas melihat ke arah tangga dan berharap bibiku akan muncul.
Tapi, ia tidak kunjung pulang. Kucoba berpikir positif dan menenangkan diri. Mungkin saja tengah malam nanti Bi Risma akan pulang. Aku pun mulai mengantuk, tapi Bi Risma belum juga pulang.
Tengah malam aku terbangun. Ada seseorang yang mengetuk pintu. Aku pikir itu bibiku. Namun, saat kubuka pintu, tidak ada siapa-siapa di sana.
Sesaat sebelum kututup kembali pintunya, kudengar suara wanita sedang menangis dari arah tangga. Penasaran, kuhampiri sumber suara tersebut. Tepat di terowongan kecil berdiri seorang wanita yang perawakannya seperti Bi Risma. Ia membelakangiku. Semakin kudekati, semakin jelas kalau itu memang Bi Risma. Aku menghela napas lega.
ADVERTISEMENT
“Aduh Bi. Bibi kenapa nangis?”
Dia tidak menjawab.
“Diputusin pacar Bibi?” tanyaku penasaran.
Dia tidak mau membalikkan badan. Dia tetap berdiri membelakangiku.
“Pulang!” bentak Bi Risma. Tubuhnya hilang begitu saja.
Aku terkejut dan langsung lari. Pintu kontrakan kukunci rapat. Napasku terengah-engah. Aku yakin kalau yang kulihat berdiri itu bukan Bi Risma.
Tak lama berselang, tiba-tiba pintu kembali diketuk. Kuintip dari balik tirai jendela. Betapa terkejutnya saat kulihat ada banyak orang di luar. Dua di antaranya seperti tidak asing bagiku. Dia adalah wanita berseragam hijau yang sempat terjebak di lift bersamaku. Dan, satu lagi seorang lelaki yang pernah bunuh diri di mal.
“Inun! Ikut kami, yuk!” suara mereka kompak. Entah berapa jumlahnya.
ADVERTISEMENT
Salah satu dari mereka, mungkin si wanita berseragam hijau terus mengetuk-ketuk pintu. Aku berteriak minta tolong.
“Inun!” terdengar suara Mbak Tania memanggilku. Dia, tetanggaku yang bekerja sebagai pelacur.
“Mbak tolongin aku!”
“Kamu kenapa, Nun? Buka pintunya!” Mbak Tania terus mengetuk pintu.
Mungkin karena kunci pintu itu sudah usang, Mbak Tania berhasil mendobraknya. Ia langsung menghampiriku.
“Kamu kenapa, Nun?”
“Ada setan. Tadi ada setan,” kataku.
“Tenang, Nun. Tenang, jangan-jangan kamu mimpi lagi.”
“Nggak, Mbak. Tadi ada setan di depan pintu. Banyak banget.”
“Kamu tenang, ada Mbak di sini. Malam ini kamu tidur sama Mbak aja ya,” ajaknya.
"Mbak, tolong hubungin bibiku. Dia belum pulang sampai sekarang."
ADVERTISEMENT
"Oh... oke, kamu tenang ya," ucapnya.
Ia kembali ke kamar kontrakannya untuk mengambil handphone.
"Aduh, Nun, nomor bibimu tidak aktif."
Aku semakin khawatir, "Aku mau lapor polisi saja Mbak."
"Tunggu sampai besok saja, Nun. Siapa tahu bibi kamu lagi ada urusan mendesak."
Aku mengangguk. Sekali lagi mencoba untuk berpikir positif.
***
Sampai pagi, Bi Risma belum juga pulang. Aku bergegas pergi ke mal. Aku ingin memberi tahu kejadian semalam kepada Tio atau bahkan Bu Indri. Siapa tahu mereka bisa membantuku.
“Hah, kamu serius?” tanya Tio.
“Iya. Dari semalam belum pulang.”
“Coba kutelepon dulu,” Tio mengetik di layar HP-nya.
Dia menggelengkan kepala.
“Tidak bisa dihubungi.”
ADVERTISEMENT
“Aduh gimana ini?” aku semakin panik.
Tio menghubungi Bu Indri. Ia sibuk menerangkan apa yang sedang terjadi.
“Jangan khawatir! Kita disuruh kerja dulu untuk hari ini. Nanti, Bu Indri akan bantu kita buat nyari bibi kamu.”
Aku mencoba untuk tenang dan kembali bekerja. Aku merasa pelanggan semakin bertambah banyak. Aku dan Tio kewalahan melayani mereka. Seperti tidak ada jeda sama sekali, pelanggan terus berdatangan.
Saat dagangan habis, kami berdua tergeletak di lantai, kelelahan. Ini belum selesai. Seperti biasa, nanti akan ada rombongan anak muda yang makan di kios kami. Rasanya kami sudah tidak sanggup lagi melayani pelanggan.
Tidak lama setelah pesuruh Bu Indri datang membawa masakan Padang, para pemuda itu akhirnya muncul dengan suara khas berisik khas. Kami memaksakan diri untuk bangkit dan melayani mereka satu per satu. Setelah mereka selesai makan, entah kenapa aku penasaran dan ingin mengikutinya.
ADVERTISEMENT
Dari belakang, pelan-pelan kuikuti. Betapa terkejutnya saat aku menyaksikan sesuatu yang aneh pada diri mereka. Di koridor tempat lift, satu per satu tubuh mereka masuk ke dalam dinding mal, lalu menghilang begitu saja.
“Kamu sudah tahu, kan?” Tio mengangetkanku.
“Kenapa kamu bertahan kerja di sini?” tanyaku.
“Butuh uang. Di sini gajinya gede. Belum lagi Bu Indri yang loyal suka ngasih uang,” kata Tio.
Tio menarik lenganku. Dia mengajakku untuk menutup kios.
___
Nantikan cerita Mall Angker Jakarta selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten