Mbah Ngesot

Mall Angker Jakarta: Pesugihan Pocong (Part 3)

2 April 2020 16:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mall Angker Jakarta. Foto: Masayu Antarnusa/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Mall Angker Jakarta. Foto: Masayu Antarnusa/kumparan
ADVERTISEMENT
Kejadian kemarin membuatku penasaran. Siapa sebenarnya wanita yang terjebak bersamaku di lift? Bi Risma bilang kalau malam memang suka ada hantu di mal itu. Jujur saja, aku tidak takut pada hal-hal gaib seperti itu. Anehnya lagi, dia mengaku tinggal di mal? Oh... bukan, lebih tepatnya di dalam lift itu.
ADVERTISEMENT
Aku dan Bi Risma lekas pulang. Kontrakan tempat kami tinggal sangat sederhana. Bisa dibilang ini kontrakan untuk orang-orang kurang mampu. Bi Risma menyewanya seharga lima ratus ribu per bulan.
Di sebelah kanan kontrakan Bi Risma diisi oleh seorang pedagang kopi asongan. Sedangkan di sebelah kirinya diisi oleh Mbak Tania yang katanya seorang pelacur. Tapi, aku tak ambil peduli. Lagi pula Mbak Tania baik, kok. Dia suka menyapaku.
Sebenarnya kontrakan ini nyaman. Hanya satu yang menjadi kendala, yaitu airnya. Air di kontrakan itu bau comberan. Bibi menyuruhku untuk meluluri seluruh badan dengan bedak setiap habis mandi. Dan, itu bedak untuk penyakit gatal-gatal. Aku manut saja. Mungkin kalau sudah terima gaji dua atau tiga bulan, aku berencana pisah kontrakan dengan Bibi.
ADVERTISEMENT
Kontrakan Bibi ada di lantai dua. Kalau mau naik ke atas kami harus melewati terowongan terlebih dahulu. Itu terowongan kecil semacam dua tembok yang mengapit. Brengseknya, suka ada orang yang kencing sembarangan di sana. Bau pesing menguar di terowongan. Dan, itu membuatku hampir saja muntah.
Malam kedua aku menginap di kontrakan Bi Risma, kejanggalan mulai terjadi. Tengah malam saat kami sedang tidur ada yang mengetuk pintu. Aku guncangkan tubuh bibiku. Tapi, dia tidak mau bangun. Tidurnya nyenyak sekali sampai mendengkur. Mungkin Bibi kelelahan.
Kupaksakan tubuhku untuk bangun. Aneh sekali, siapa malam-malam begini yang mengetuk pintu? Saat kubuka, kulihat seorang wanita yang pernah terjebak denganku di lift. Dia masih menggunakan seragam hijau sama seperti saat pertama aku melihatnya.
ADVERTISEMENT
“Mbak!” aku mengerutkan dahi.
“Hai, aku Nayla,” dia menyodorkan tangannya.
“Inun?” tiba-tiba bibiku bangun. Matanya masih terlihat mengantuk.
“Bi, ini Nayla yang tadi kejebak di lift sama aku.”
“Hai!” sapa Nayla.
“Kamu ngapain di sini?” tanya bibiku.
Nayla tidak menjawab. Dia malah tertawa, wajahnya menyeringai sangat menakutkan. Dia membalikkan badan, lalu berjalan turun ke bawah. Aku dan Bi Risma mengejarnya. Tapi, Nayla sudah menghilang.
“Mungkin saja dia orang gila,” kata Bi Risma.
“Tapi, aku ingat betul kalau dia orang yang kejabak di lift bareng aku, Bi.”
Bi Risma menghela napas, “Ya sudah, jangan dipikirkan. Kita tidur lagi. Ini masih malam.”
***
Hari kedua bekerja. Aku akhirnya bertemu dengan calon bosku. Namanya Bu Indri. Penampilannya sederhana, rambutnya lurus sepunggung dan dicat warna pirang. Tubuhnya langsing, orangnya juga cantik. Dia menjelaskan kepadaku kalau nanti kerjaku bagus, gajiku bisa naik.
ADVERTISEMENT
Tanpa ragu-ragu aku juga bilang kepadanya kalau mau sambil kuliah. Untung saja ia tidak melarang. Ia malah mendukungku.
“Ibu senang kalau kamu punya semangat untuk terus sekolah. Nanti bisa Ibu atur jadwal kerjanya,” katanya dengan ramah.
Bu Indri tidak berlama-lama di kios itu. Ia memberiku uang dua ratus ribu. Katanya biar aku semangat kerja. Tentu saja aku senang. Tidak lama setelah Bu Indri pergi, pengunjung mulai ramai. Aku sibuk membantu Bi Risma menyajikan pesanan, sementara Tio mengantarkannya ke pelanggan.
Namun, ketika sedang sibuk menyajikan makanan, dari balik etalase, mataku menangkap seorang lelaki yang berjalan dengan cara tidak biasa. Kedua tangannya bersedekap. Ia meloncat-loncat seperti pocong.
Beberapa orang yang melihatnya tertawa. Mereka menganggap lelaki itu sedang bercanda. Tapi, entah kenapa saat itu aku menganggapnya serius. Sampai-sampai piring yang ada di tangan, aku letakkan begitu saja. Aku beranjak keluar dari kios.
ADVERTISEMENT
“Inun mau ke mana?” tanya Bibi.
Aku tidak menjawab. Langkah dan mataku terus mengikuti lelaki itu. Semakin dekat, kudengar dia berteriak.
“Pesugihan pocong! Pesugihan pocong!”
Lelaki itu berseragam. Tampaknya ia pegawai salah satu kios di food court ini. Ia seperti sedang dikendalikan sesuatu. Sesaat kemudian, lelaki itu berhenti meloncat. Dia naik ke pembatas kaca.
Semua orang yang tadinya tertawa, sekarang malah berteriak. Tanpa ancang-ancang lagi lelaki tersebut loncat ke bawah. Semua yang menyaksikannya berteriak histeris. Tubuh lelaki itu remuk dan kepalanya pecah. Darah segar mengalir perlahan membasahi lantai dasar. Ia tewas mengenaskan.
___
Nantikan cerita Mall Angker Jakarta selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
ADVERTISEMENT
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten