part 10_square(1).jpg

Mall Angker Jakarta: Selamat dari Maut (Part 10)

9 April 2020 16:42 WIB
comment
27
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi cerita horor Mall Angker Jakarta. Foto: Masayu/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi cerita horor Mall Angker Jakarta. Foto: Masayu/kumparan
ADVERTISEMENT
Mbak Tania dan lelaki berbadan gempal itu keluar dari kontrakan. Ia hanya mengenakan selimut, sedangkan lelakinya hanya mengenakan celana kolor. Mereka kaget mendengar teriakanku. Aku keluar dari dalam kontrakan dan segera memeluk Mbak Tania.
ADVERTISEMENT
“Ada apa, Nun?” Mbak Tania, panik.
“Ada setan, Mbak,” aku masih memeluknya.
“Setan? Di mana?”
“Itu, Mbak?” aku menunjuk ke dalam kontrakan.
“Enggak ada, kok. Kamu mimpi lagi ya?”
Perlahan kubuka mata. Benar saja, tidak ada apa-apa di sana.
“Kamu tenang, ya! Ada Mbak di sini.”
“Iya, kayaknya kamu mimpi. Orang enggak ada apa-apa di sini,” tambah lelaki yang menjadi pelanggan Mbak Tania.
Saat aku masuk kembali ke dalam kontrakan, bunga pemberian Tio tercecer ke mana-mana. Handphone-ku juga pecah tergeletak di lantai, seperti ada yang membantingnya. Aku sempat berpikir pasti Nayla yang melakukannya. Tapi, kenapa dia marah dengan pemberian Tio? Ini pasti ada hubungannya dengan Tio. Nanti akan kutanyakan kepadanya.
ADVERTISEMENT
***
Sepulang kerja, aku, Tio, dan Santi berkunjung ke rumah Bu Indri. Rumahnya besar dan mewah. Ada mobil sedan warna putih terparkir di depan rumah. Kami disambut oleh Bu Indri dengan ramah.Bu Indri lalu mempersilakan kami masuk.
Tidak ada dekorasi perayaan ulang tahun di dalam rumahnya. Kami duduk di sofa, sementara Bu Indri masuk ke dapur untuk mengambil kue ulang tahun. Kami melihat sekeliling ruang tamu Bu Indri. Ada beberapa lukisan klasik terpajang di rumah itu. Juga guci-guci hias yang pasti harganya mahal sekali.Tidak lama kemudian, Bu Indri datang dengan membawa kue ulang tahun.
“Sebentar, ya, anak saya masih di kamar,” kata Bu Indri.
“Iya, Bu,” jawab kami kompak.
ADVERTISEMENT
“Nah, itu dia.”
Dari dalam kamar, seorang lelaki tua menuntun anak perempuan yang matanya ditutup dengan kain. Kukira lelaki tua itu adalah ayahnya. Sementara anak kecil itu, dari perawakannya, kutaksir berumur tujuh tahunan.
Ketika penutup matanya dibuka, ia terlihat sangat gembira. Pesta sederhana itu berlangsung dengan baik. Kami memakan kue ulang tahun bersama-sama. Setelah itu, Bu Indri juga menyuguhkan nasi kuning lengkap dengan lauk-pauk. Setelah kenyang, lalu kami pamit pulang.
Aku pulang naik bajaj seperti biasa. Awalnya Tio mau mengantarku, tapi aku menolaknya. Anehnya, aku merasa ada yang mengikuti bajaj yang kutumpangi dari belakang selama di perjalanan. Kusuruh sopir yang membawaku untuk memacu bajaj lebih cepat. Perasaanku mulai gelisah.
ADVERTISEMENT
Tepat di gang sepi, dua mobil sedan hitam menghalangi bajaj yang kutumpangi. Mereka turun dari dalam mobil. Ada empat orang yang semuanya berbadan kekar. Mereka kemudian memukuli sopir bajaj yang sempat melawan. Wajah sopir bonyok, bahkan sampai tak sadarkan diri. Aku berteriak minta tolong, tapi tidak ada yang mendengar.
Tubuhku ditarik paksa. Aku dibawa masuk ke dalam mobil mereka. Mulutku dilakban, kedua lenganku diikat kuat, pun dengan kakiku. Aku sama sekali tidak bisa berkutik. Mobil yang mereka kendarai melaju dengan cepat di gang perumahan yang sepi.
Hingga sampailah aku dibawa masuk ke sebuah gudang itu gudang. Gudang itu adalah tempat Bu Indri membunuh lelaki tua.
Tubuhku digotong. Di sana, ada Bu Indri sedang duduk sambil merokok di atas kursi kayu. Kulihat sekeliling, ini gudang besi tua. Banyak tumpukan besi tua di sana-sini. Lantainya tanah dan berdebu. Lampunya terang-benderang. Aku didudukkan di atas kursi kayu, lalu diikat dengan sangat kuat.
ADVERTISEMENT
“Inun,” kata Bu Indri sambil merokok santai.
Aku berontak. Tubuhku berguncang, tapi ikatan itu sangat kuat. Bu Indri menggerakkan jarinya, memberi isyarat kepada anak buahnya. Mereka langsung bergerak ke pojok gudang lalu muncul kembali dengan membawa kantong mayat.
Salah satu dari mereka menyerahkan masker kepada Bu Indri. Segera wanita itu memakainya. Begitu pun dengan para lelaki itu. Kantong mayat dibuka, kulihat mayat perempuan yang mulai membusuk di dalam kantong itu. Meski rusak, aku masih sangat jelas mengenalinya. Bi Risma.
“Nun, saya yang membunuh bibimu. Dia, saya jadikan tumbal untuk pesugihan. Soal pacarnya itu, saya sengaja menggantungnya agar orang-orang menyangka kalau dia bunuh diri. Padahal saya juga yang membunuhnya, tepatnya orang-orang pesuruh saya yang sudah ahli dalam membunuh.”
ADVERTISEMENT
Aku terkejut mendengar penjelasan Bu Indri. Sudah kuduga kalau dialah dalang dari semua ini. Aku semakin terkejut saat melihat dua makhluk cebol muncul dari belakang kursi Bu Indri. Makhluk itu gondrong, tubuhnya berwarna hijau, dan bertaring panjang hingga menyentuh tanah. Air liur mereka menetes ke tanah. Aku yakin mereka makhluk gaib pesugihan Bu Indri.
“Saya sebenarnya hanya butuh tumbal wanita, tapi siapa pun yang menghalangi pesugihan saya. Akan saya bunuh!” Bu Indri semakin naik pitam.
Lanjutnya, “Termasuk lelaki tua yang kamu saksikan, Nun. Dia saingan kita di mal. Dasar lelaki tidak punya otak. Berani-beraninya dia dagang nasi padang yang sama.”
Bu Indri kembali menyalakan rokok.
“Ngomong-ngomong, kerjamu bagus, Nun. Saya suka.”
ADVERTISEMENT
Bu Indri berdiri. Ia mengambil sebuah pisau dari seorang lelaki anak buahnya. Dadaku turun-naik, keringat mengucur di dahi, tubuhku berguncang mencoba untuk melepaskan ikatan.
Tidak ada harapan sama sekali untuk kabur. Aku pasrah kalau memang harus mati saat itu. Kupejamkan mata, dalam hati kuberucap.
‘Abah....’
Air mata menetes hangat di pipiku. Pisau itu ditusukkan tepat di perutku bertubi-tubi. Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah itu. Tubuhku mati rasa dan aku tidak sadarkan diri.
***
Di rumah sakit, Tio memanggilku. Perlahan kubuka mata, sangat silau. Semakin lama semakin jelas. Kulihat Tio, Santi, dan seorang lelaki paruh baya. Aku tidak mengenal lelaki itu.
“Syukurlah kamu sudah sadar, Nun," Tio tersenyum.
ADVERTISEMENT
Aku membuka mata. Aku tidak tahu kenapa aku bisa selamat dari pembunuhan malam itu.
“Bapak ini, Nun. Bapak ini yang nyelamatin kamu,” kata Tio.
“Iya betul, Kak Inun,” tambah Santi.
“Terima kasih, Pak,” kataku parau.
“Sama-sama, Neng. Panggil saja Pak Kardi. Saya ini pedagang nasi goreng, Neng. Enggak sengaja pas saya lewat gudang itu ada orang yang menggotong cewek. Jadinya buru-buru saya lapor polisi. Saya lari nyari polisi yang biasa bertugas di lampu merah. Mereka langsung membawa rombongan ke gudang untuk menyergap. Untungnya, Neng masih bisa diselamatkan," jelasnya.
Aku sangat bersyukur masih bisa selamat dari pembunuhan itu.
“Sekarang Bu Indri dan anak buahnya sudah ada di penjara, Nun. Jangan khawatir, kita bisa nyari kerjaan baru," ujar Tio.
ADVERTISEMENT
“Aku mau pulang saja,” ucapku.
“Jangan pulang, Nun. Kita bisa cari kerjaan baru,” Tio memaksa.
“Enggak, Tio. Aku mau pulang.”
“Ya, memang sebaiknya Neng pulang dulu saja. Nanti kalau mau ke Jakarta lagi silakan,” saran Pak Kardi.
***
Beberapa minggu kemudian aku sembuh. Aku lalu mengikuti persidangan Bu Indri. Ia dijatuhi hukuman mati atas dua kasus pembunuhan berencana yang ia lakukan. Ditambah dengan percobaan pembunuhan terhadapku. Aku tidak melihat wajah penyesalan atau ketakutan Bu Indri. Ia tetap tersenyum ramah kepadaku. Entah apa yang terjadi pada wanita itu.
Setelah selesai persidangan, aku langsung pulang. Tio mengantarku ke stasiun Tanah Abang. Ia juga memberiku ongkos pulang. Ada hal yang masih ingin kutanyakan kepadanya, tentang Nayla. Siapa dia?
ADVERTISEMENT
“Kau tahu siapa Nayla?” tanyaku. Kami berdiri menunggu kereta datang.
“Nayla? Dia mantanku, Nun. Bekas pekerja mal yang mati bunuh diri.”
“Kau yakin dia mati bunuh diri?” tanyaku.
“Maksudmu?”
“Tio, di mal tempat kita kerja, pedagang di sana bersaing dengan melakukan pesugihan. Bahkan, mereka rela menumbalkan para karyawannya. Aku yakin mantanmu itu mati sebagai tumbal.”
Tio terdiam. Ia seperti sedang mencerna penjelasanku.
“Itu kejadian sudah lama, Nun. Aku doakan saja semoga Nayla tenang,” kata Tio.
Kereta datang. Aku bergegas masuk ke dalam gerbong. Namun, Tio menarik lenganku.
“Nun.”
“Aku sayang sama kamu," wajah Tio tampak sedih.
“Terima kasih sudah sayang sama aku, Tio. Sampai jumpa lain waktu.”
ADVERTISEMENT
Aku menyingkirkan genggamannya dan bergegas masuk ke dalam kereta. Aku duduk di dekat jendela. Kulihat Tio masih berdiri di sana. Sampai kereta bergerak, dia melambaikan tangan kepadaku sambil tersenyum.
Semakin jauh, semakin jelas ada sosok Nayla yang juga berdiri di samping Tio. Ia melihat tajam ke arahku, seperti sedang marah.
SELESAI
Nantikan cerita horor selanjutnya dari Mbah Ngesot. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten