image-20161025-31470-qlvqs0.jpg

Menikah dengan Lelembut: Kedatangan Wa Ujang

1 Oktober 2019 18:09 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi
ADVERTISEMENT
Hari-hariku selanjutnya berjalan seperti biasa. Beberapa hari kemudian Siti pulang di antar oleh ibuku, sebelumnya aku telah menjelaskan kepada ibuku kalau aku sendiri tidak tahu mengapa aku bisa terbangun telanjang di kamar belakang. Kukatakan pada ibuku kalau aku ngelindur, ia percaya dengan penjelasanku oleh karena itu ia menjemput Siti di rumah orang tuanya. Malam itu aku pulang pukul sembilan malam, Siti menyambut dengan segelas teh hangat dan makan malam. Ia bersikap biasa terhadapku, mau tidak mau aku berusaha bersikap sama.
ADVERTISEMENT
Padahal di dalam pikiranku aku masih memikirkan Nyai Diah dan pernikahan yang terjadi di antara kami. Ternyata memang makhluk halus dan manusia bisa menikah, gila memang. Semenjak malam pertama itu, Nyai Diah lama tidak mendatangiku. Sejujurnya aku kecewa, aku rindu akan pelukan hangatnya. Berkali-kali Siti mengajakku untuk berhubungan namun kutolak dengan alasan lelah.
Baru pada malam jumat, Nyai Diah mendatangiku. Kala itu aku pulang larut sekitar jam sebelas malam, Siti sudah tertidur. Aku menemukan Nyai Diah duduk di ruang tamu mengenakan baju yang biasa Siti kenakan. Aku duduk di sebelahnya dan ia memelukku sangat erat, rasa hangat dan wangi bunga melati menguar dan merasuk dalam tubuhku. Tidak butuh waktu lama untuk kami kembali menyatukan diri di kamar belakang, dan itu berlangsung sampai subuh. Seperti biasa Nyai Diah meninggalkanku terkulai lemah di dalam kamar.
ADVERTISEMENT
Sebelum Siti terbangun untuk solat subuh, aku buru-buru mengenakan baju dan tidur di sisinya. Aku terbangun ketika matahari sudah terang. Aku terlambat pergi ke pasar. Sebelum aku pergi, Siti sempat protes karena makanan yang sudah ia buatkan tidak tersentuh sama sekali. Kukatakan padanya bahwa aku sudah keburu tertidur dan memang tidak merasa lapar malam itu. Siti juga menanyakan mengapa aku tidak solat subuh, aku tidak menjawab dan menghindar.
Kembalinya Siti tidak membawa perubahan apa-apa, kami makin lama makin jauh dan nyaris seperti orang asing sekarang. Aku tidak merasa bersala, biar lah seperti itu adanya. Kunjungan Nyai Diah semakin intens, terutama ketika aku pulang malam. Aku mulai kewalahan melayani hasratnya. Tapi aku tidak bisa menolak karena aku merasa memang tugasku untuk menafkahi batinnya, dan di sisi lain aku juga tidak bisa mengelak dari rasa rinduku yang menggebu kepadanya.
Ilustrasi
Aku tidak lagi menjalankan solat lima waktu, dan itu semakin menegaskan kecurigaan Siti kalau-kalau ada sesuatu yang aneh terhadapku. Sekarang setiap kali Siti solat magrib di ruang tamu, Nyai Diah keluar dari dalam lemari di kamarku dan kami menghabiskan waktu berdua. Nyai Diah tahu benar kapan Siti selesai solat dan mengaji, jadi kami tidak pernah kepergok.
ADVERTISEMENT
Di belakangku Siti mulai meminta bantuan orang lain untuk melakukan penerawangan terhadapku, itu kuketahui ketika salah seorang saudara jauhnya bernama Wa Ujang datang ke rumah kami ketika aku tidak pergi ke pasar.
Aku dan Wa Ujang duduk di ruang tamu sementara Siti membuatkan minuman, pria sepuh itu meihatku dari ujung rambut dan ujung kaki. Aku merasa rishi melihat tingkahnya seperti itu.
“Bagaimana kerjaan di pasar?” Tanya Wa Ujang kepadaku.
“Lancar-lancar aja, Wa,” jawabku.
Wa Ujang tertawa pelan. “Gimana uang untuk bekal ke Jakarta? Sudah kekumpul?”
Aku terkejut ia menanyakan itu, seakan ia tahu bahwa aku sudah mulai berhenti menabung karena aku tidak ingin meninggalkan rumah itu. Aku tidak peduli ia akan percaya atau tidak tapi aku mengatakan bahwa bekal sebentar lagi terkumpul. “Jadi gak lama lagi berangkat ke Jakarta?” nada suara Wa Ujang penuh dengan keraguan, secara misterius juga ia seperti sedang membaca isi kepalaku.
ADVERTISEMENT
Aku mengelak habis-habisan di depan Wa Ujang, aku tak tahu lagi mana benar mana salah yang penting aku menjawab segala pertanyaan Wa Ujang dengan senormal dan semenyakinkan mungkin. Perbincangan kami berakhir tidak jelas, Wa Ujang pamit begitu saja. Aku dan Siti mengantarnya pulang, dalam hati aku berharap ia tidak kembali lagi.
Senang membaca kisah horor seperti ini, klik tombol subscribe di bawah untuk mendapat notifikasi setiap ada kisah horor terbaru dari Mbah Ngesot.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten