93311325-creepy-abandoned-house-deep-in-the-woods.jpg

Menikah dengan Lelembut: Rumah Nyai Diah

3 Oktober 2019 19:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi
ADVERTISEMENT
Pekerjaanku di pasar mulai berantakan, tiap siang aku sering kepergok tidur di sela-sela kardus karena malam harinya aku kurang tidur. Aku memikirkan bagaimana nasibku ke depannya. Siti pun mulai khawatir dengan kondisiku tapi ia tidak berani mengkonfrontasi langsung.
ADVERTISEMENT
Pada malam hari Nyai Diah memanggil namaku, tak sekalipun kujawab pangilan itu. Mungkin itu membuatnya kesal, dia kemudian memindahkanku dari kamar depan ke kamar belakang ketika aku sedang tidur. Aku terbangun karena ada seseorang membelai rambutku dan itu adalah Nyai Diah. Aku ketakutan melihatnya, ia tidak marah atas ekspresiku. Dia malah sedih.
Ia mengatakan bahwa ia ingin merawatku, dan menjadikanku raja. Kalau perlu ia bisa mendatangkan harta agar aku bisa kaya raya asal aku mau ikut tinggal di alamnya. “Lalu bagaimana saya bisa menikmati harta itu jika tinggal di alam kamu?” Tanyaku. “Kamu tidak perlu berada di alamku selama 24 jam, kamu masih bisa berbagi waktu dengan alammu,” kata Nyai Diah.
ADVERTISEMENT
Bagus kalau begitu, aku hampir menyetujuinya namun kemudian Nyai Diah mengatakan aku harus meninggalkan Siti, ia tidak menginginkan aku bersama perempuan lain. Itu membuatku mengurungkan niat untuk berucap setuju, biar bagaimana pun cintaku terhadap Siti masih ada dan aku tidak bisa meninggalkannya.
Nyai Diah menyakinkanku kalau ia bisa memberikan semua yang aku inginkan, lebih dari Siti. Diambang kebingungan, Nyai Diah menarik tubuhku, ia mengajakku untuk pergi ke alamnya. Dia ingin menunjukan istananya di alam sana. Aku tidak berontak ketika Nyai Diah menuntunku ke luar kamar dan menyusuri jalan setapak yang diterangi obor. Malam begitu pekat, aku tidak bisa melihat apa-apa lagi selain jalan setapak ini.
Ilustrasi
Namun sepanjang perjalanan aku merasa sedang menaiki sebuah tanjakan panjang, tidak lama setelah itu sebuah rumah bak istana menyeruak dari kegelapan. Di halamannya manusia obor telah menunggu kami. Begitu sampai mereka menuntun ke ruang tamu, seluruh perabotannya berwarna emas. Mirip dengan di pesta pernikahan kami. Di ruang tamu telah menunggu seorang anak pemuda berwajah rupawan yang sepintas mirip denganku.
ADVERTISEMENT
“Apakah ini…”
“Iya, dia anak kita,” kata Nyai Diah.
Pemuda itu tidak seperti yang ada di dalam mimpi Siti. Ia bukan makhluk berbulu dan bertubuh tegap yang meraung-raung seperti singa. Ia adalah pemuda tampan ramah senyum, walau secara logis aku tidak mungkin memiliki anak seumuran itu tapi aku menerima kehadirannya. Kami bertiga duduk dan berbincang sementara para abdi berkeliaran menyediakan makanan dan minuman untuk kami. Suasana menjadi hangat, dan imanku mulai goyah. Memang sudah jalan hidupku memiliki keluarga seperti ini.
Lagian aku juga bisa kaya raya, dan tidak perlu lagi khawatir akan masa depanku. Aku tinggal duduk berpangku tangan sementara aku terus menerus semakin kaya. Kukatakan kepada Nyai Diah kalau aku mulai berniat untuk menuruti permintaannya selama ia bisa memastikan aku kaya raya.
ADVERTISEMENT
Nyai Diah menyakinkanku. “Kamu bisa mendapatkan harta sebanyak yang kamu mau, tapi ada syaratnya,” kata Nyai Diah.
“Apa?”
“Kamu harus menyediakan satu jiwa manusia tiap tahunnya sebagai tumbal.”
Aku tersentak kaget, tidak mungkin aku melakukan itu. Aku tidak ingin mengorbankan keluargaku sendiri. Nyai Diah membaca isi hatiku. “Tidak perlu dari keluargamu, kamu bisa mengambil tumbal dari jalan,” kata Nyai Diah.
Nyai Diah menjelaskan kalau aku bisa menaruh semacam santet kepada calon targetku, tumbal itu bisa berupa barang atau uang. Siapapun yang memilikinya maka akan mati. Dalam benakku, itu tidak mengubah apa-apa. Tetap saja aku harus mengorbankan nyawa manusia untuk kepentinganku. Naluri kemanusiaanku menjerit dan aku katakana bahwa aku tidak bisa melakukan itu.
ADVERTISEMENT
Nyai Diah murka, dia menudingku makhluk tidak tahu diri. Hubungan di antara kami jadi dingin, aku pun jadi tidak nyaman berada di sana. Aku minta Nyai Diah untuk memulangkanku, tapi ia menolak. Aku bersikeras tapi ia tetap tidak ingin memulangkanku. Akhirnya aku lari dari rumah itu, kuikuti jalan jalur setapak tadi.
Di belakangku Nyai Diah memanggil namaku, suaranya tinggi hingga membuat telingaku sakit. Di sela-sela suara Nyai Diah terdengar raungan kencang. Bulu romaku meremang, kupercepat langkahku sambil melihat sekitar. Masih gelap, tidak ada tanda-tanda rumahku. Aku berdoa di dalam hati agar aku bisa kembali ke rumah.
Napasku tersengal-sengal, kakiku mulai sakit tapi rumahku belum terlihat. Aku memutuskan untuk berlari sekencang-kencangnya sebab suara Nyai Diah sudah terdengar dekat di belakangku. Aku berlari dan berlari sampai kakiku mulai goyah, tidak lama lagi mungkin aku akan tersungkur tapi aku tidak menyerah.
ADVERTISEMENT
Suara Nyai Diah makin dekat, sepertinya ia berada tepat di belakangku. Aku melompat sejauh mungkin, berharap bisa menghindari Nyai Diah.
Aku mendarat di tanah merah, cahaya obor sudah hilang. Sedikit demi sedikit kuangkat wajahku, lega rasanya ketika aku kembali ke rumahku sendiri.
Senang membaca kisah horor seperti ini, klik tombol subscribe di bawah untuk mendapat notifikasi setiap ada kisah horor terbaru dari Mbah Ngesot.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten