PAMALI_PART4.jpg

Pamali: Ada yang Mengikuti Kami (Part 4)

4 Februari 2020 19:24 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pamali. Foto: Masayu/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pamali. Foto: Masayu/kumparan
ADVERTISEMENT
Jalan di kampungku rusak. Bebatuan berserak di mana-mana. Keempat orang timur, Bertus, Agustinus, Kristian, dan Martinus tergopoh-gopoh memikul jenazah bapak. Warga kampung hanya menonton sesekali melontarkan sumpah serapah pada bapakku. Sungguh kalau saja waktu itu aku sudah dewasa, ingin sekali rasanya menimpuki mereka dengan batu. Saat itu aku, ibu, dan Mang Roi malah tertunduk malu.
ADVERTISEMENT
"Bakar saja jenazah Abu. Nggak layak dikubur!"
"Iya, cuih dasar sampah masyarakat!"
"Najis, sial warungku dilewati jenazah Abu."
"Sekalian saja kau juga mati, Tia!"
Kami dihujani cacian warga, tapi tidak sepatah kata pun kami membalas mereka.
Sesampainya di ujung kampung, Mang Roi menyuruh para pemikul untuk beristirahat dulu di bawah pohon kelapa karena barusan kami melintasi tanjakan yang sangat tinggi. Orang menyebut kawasan ini dengan sebutan tungtung lembur, di sana terhampar pesawahan yang menghijau. Banyak pohon-pohon kelapa yang meneduhi kami. Burung bangau beterbangan di langit, kulihat ada beberapa ekor di tengah sawah sedang mencari makan.
Napas Mang Roi terengah-engah, kelelahan menanjak. Ia menyibakkan sedikit kain penutup jenazah, memeriksa kalau keadaan jenazah bapak baik-baik saja. Setelah istirahat beberapa menit. Rombongan kami pun melanjutkan perjalanan. Pemakaman masih jauh, Mang Roi takut kemalaman.
ADVERTISEMENT
"Ini masih jauhkah?" Tanya Bertus sambil meringis karena menahan beban.
"Sebentar lagi sampai, kok," aku tahu Mang Roi berbohong padahal perjalanan masih sangat jauh.
Kami masuk perkebunan sawit. Kulihat beberapa ekor anjing lari ketakutan melihat kedatangan kami. Beberapa orang sedang memanen buah sawit sempat berpapasan dengan kami. Mereka masih warga kampungku, tidak ramah malah menampakkan ekspresi kebencian.
Langit semakin mendung, awan hitam bergumpal di langit. Mang Roi meminta tukang pikul untuk mempercepat langkah. Aku sampai harus berlari kecil untuk menyeimbangi langkah mereka. Sesekali aku menoleh ke belakang sebab entah kenapa aku merasa ada orang yang mengikuti kami. Dan benar saja, dari balik pohon sawit ada sosok anak laki-laki berkepala botak, telanjang badan, hanya mengenakan celana dalam berwarna putih seperti kain kafan. Tubuhnya pucat membiru, matanya hitam, ia tersenyum padaku malu-malu.
ADVERTISEMENT
"Bu ada yang ngikutin kita," aku menarik lengan baju ibu.
"Mana?" ibu berhenti.
"Itu di balik pohon."
"Mana Vin? Nggak ada siapa-siapa, kok. Ayo jalan lagi," ibu sepertinya tidak peduli.
Aku kembali melanjutkan perjalanan. Rombongan kami belum ke luar dari perkebunan sawit, tapi gerimis mulai berjatuhan. Semakin lama malah semakin deras. Mang Roi melihat sebuah saung, mungkin tempat berteduh para petani sawit, ia menyuruh kami untuk berteduh dulu. Keranda bapak diletakkan di atas tanah. Atap saung yang terbuat dari ijuk melindungi keranda bapak dari air hujan, tapi masih terkena cipratan air.
Mang Roi mencari sesuatu di saung yang bisa melindungi keranda. Untung saja ia menemukan sebuah terpal, ditutupnya keranda menggunakan terpal itu. Kemudian, ia menyalakan sebatang rokok, melempar pandangan ke perkebunan sawit yang basah. Hari semakin sore.
ADVERTISEMENT
Nantikan cerita Pamali selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten