PAMALI_PART7.jpg

Pamali: Bapakkah Pelakunya? (Part 7)

6 Februari 2020 18:17 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pamali. Foto: Masayu/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pamali. Foto: Masayu/kumparan
ADVERTISEMENT
Kematian terjadi lagi. Kali ini, seorang nenek yang berobat sakit gigi ke bapak. Selang dua hari ia dikabarkan tewas di atas tempat tidurnya. Aku tidak tahu kenapa waktu itu tidak ada seorang pun dokter atau perawat yang memeriksa penyebab kematian si nenek. Ia dikubur begitu saja dan menyalahkan bapakku. Aku sangat takut kalau sampai ada warga kampung yang menyerang keluarga kami.
ADVERTISEMENT
Dan kekhawatiranku benar terjadi. Saat kami sedang nyenyak tidur, sekitar jam sebelas malam, sebuah batu besar menghantam kaca rumah kami. Sontak saja kami sekeluarga terkejut, adikku bangun dan langsung menangis. Bapak berhambur ke luar kamar sambil membetulkan sarungnya.
"Ada apa ini? Apa salah saya?!"
"Dukun sialan! Pembunuh!"
Seorang lelaki berbadan gempal menarik bapak dengan paksa. Kami menangis melihat bapak tersungkur ke tanah. Mereka memperlakukan bapak seperti binatang. Diseret paksa oleh tiga orang lelaki, sementara ibu sambil menggendong adikku mengikuti arak-arakan itu sambil berteriak dan menangis sejadi-jadinya. Aku membuntut di belakang. Aku juga beberapa kali meminta ampun pada warga kampung. Tapi, mereka tidak peduli. Bapak diikat ke sebuah batang pohon. Salah satu dari mereka mengeluarkan cambuk, bapak ditelanjangi dan dicambuk berkali-kali. Kami hendak menerobos kerumunan, tapi mereka menahan kami. Bapak berteriak kesakitan, tapi orang yang mencambuk bapak seolah tidak punya belas kasih. Hingga akhirnya suara sirine mobil polisi datang. Mang Roi menjadi penyelamat bapak, ia segera menelepon polisi untuk membubarkan penyiksaan terhadap bapak. Tiga orang provokator dibawa ke kantor polisi.
ADVERTISEMENT
Aku sangat bersyukur atas kehadiran Mang Roi malam itu. Ia memang tidak tinggal sekampung denganku. Ia tinggal di kampung seberang dan kebetulan malam itu hendak mengunjungi bapak. Semua orang bubar setelah polisi menembakkan peluru peringatan. Badan bapak penuh luka bekas cambukan bahkan sampai mengenai wajahnya, bibirnya jontor. Wajahnya lebam, tubuhnya tergolek tak berdaya saat Mang Roi melepas ikatan tali di tubuh bapak.
"Aku dituduh membunuh pasienku, Roi," kata bapak sambil meringis, tangannya memegangi dada.
Ibu masih dalam keadaan menangis. Dua orang polisi membatu untuk menggotong bapak ke rumah. Mereka meminta beberapa keterangan, ibu menjawabnya sambil sesenggukkan menangis. Setelah mendapat informasi yang dibutuhkan, mereka lekas pamit. Bapak dibaringkan di atas kasur.
ADVERTISEMENT
"Abu, kau tutup saja praktik pengobatan ini. Sangat berbahaya. Dan untuk sementara, kalian boleh tinggal di rumahku dulu."
"Tidak Roi, aku tidak mau merepotkanmu."
Mang Roi menghebuskan napas berat. Saudara kandungnya ini memang keras kepala.
"Tia tolong ambilkan piring," pinta Mang Roi pada ibuku.
Setelah menerima piring yang disodorkan ibu, Mang Roi merogoh tiga butir kemenyan dari saku jaket kulitnya. Dihancurkan menyan itu dengan telapak tangannya, kemudian bubuknya dibakar hingga mengeluarkan asap. Mang Roi ini ternyata sakti juga, entah dari mana ia mendapatkan ilmu itu. Yang jelas, dari kepulan asap kemenyan, muncullah empat ekor macan putih. Kami sekeluarga terkejut, adikku menangis ketakutan.
"Tenang, mereka tidak akan menyakiti kita. Empat macan ini akan menjaga rumah kalian dari warga kampung, jadi selama kalian di dalam rumah, maka semuanya aman."
ADVERTISEMENT
"Kau ternyata sakti Roi," bapak tersenyum.
"Ilmu warisan dari ibu kita. Kalau kau kan diwarisi ilmu penyembuhan dari bapak sedangkan aku diwarisi kesaktian gaib oleh ibu."
Ibu menyeringai senang sekaligus terharu. Hari berikutnya, perkataan Mang Roi benar, tidak ada yang berani mengusik kami. Setiap ada hendak menjahati keluargaku, mereka langsung terbirit lari ketakutan lantaran melihat macan putih yang berjaga. Kebencian mereka lambat laun berubah menjadi ketakutan, aku merasakan itu.
Mereka tidak berani menegur bahkan mendekat ke rumahku. Aku merasa aman, tapi masih ada satu pertanyaan dalam benakku. Dari semua kematian pasien bapak, apakah bapak pelakunya? Apakah ada tumbal sebagai imbalan kesaktian bapak? Atau, Ah aku mencurigai seseorang, tapi aku tidak tahu namanya.
ADVERTISEMENT
Nantikan cerita Pamali selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten