PAMALI_PART2.jpg

Pamali: Mengantar Jenazah Bapak (Part 2)

3 Februari 2020 19:13 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pamali. Foto: Masayu/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pamali. Foto: Masayu/kumparan
ADVERTISEMENT
Mang Roi memeriksa denyut nadi di bagian leher bapak. Ia menggelengkan kepala, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Jenazah bapak dibaringkan kembali di atas kasur kapuk. Daun pintu ditutup rapat, begitu pun tirai jendela. Di luar kabut sangat pekat, lolong anjing terdengar sayup. Aku melirik jam dinding, pukul tiga pagi. Benar-benar aneh, bapak tiba-tiba hidup kemudian mati kembali. Mang Roi mengikatkan lagi tali kafan di bagian kepalanya bapak. Tangis ibu pecah lagi, terlihat sangat nelangsa.
ADVERTISEMENT
Esoknya, aku menemani Mang Roi untuk mencari orang yang mau berbaik hati menggotong jenazah bapak. Kami memohon dari pintu ke pintu, tapi tidak ada yang mau menolong. Mereka semua judes, menatap kami dengan penuh kebencian. Karena tidak ada yang mau menolong, kami pergi ke jalan raya. Berharap ada orang asing lewat dan mau menolong. Jalan raya di kampungku sepi, jarang sekali ada kendaraan lewat. Sekalinya lewat pasti truk-truk besar pengangkut pasir. Jangan bayangkan jalan raya di kampungku mulus, lubang di mana-mana, banyak kerikil kecil yang kadang terpental kalau diinjak ban mobil truk. Ya, truk-truk itulah yang menjadi penyebab rusaknya jalan raya di kampungku.
Aku melihat raut wajah Mang Roi yang mulai cemas. Sesekali ia melirik arloji jadulnya. Ia menyibakkan rambut gondrongnya dan diselipkan ke sela telinga. Kemeja putih garis-garis yang ia kenakan warnanya sudah kekuning-kuningan karena sudah usang. Kancing bagian dadanya dibiarkan terbuka, memperlihatkan bagian dada yang kekar. Aku beruntung sekali masih punya sosok mamang yang sangat baik. Kalau tidak ada dia, entah bagaimana keluargaku mengurus jenazah bapak.
ADVERTISEMENT
"Nah," kedua mata Mang Roi seketika cerah.
Ia menyeringai senang karena melihat dua motor mendekat. Kebetulan sekali, mereka saling boncengan. Seandainya mau menolong, sangat cukup untuk menggotong keranda bapak.
Kami berhambur ke tengah jalan. Terdengar suara gemeletuk batu krikil terlindas ban motor.
"Maap, Mas. Kami minta tolong," kedua telapak tangan Mang Roi dirapatkan, ia memohon.
"Kenapa kau ini, Pak? Menghalangi jalan saja, heh," Tanya salah satu dari mereka.
Dilihat dari wajahnya, jelas keempat orang ini bukan warga kampung kami. Bahkan, bukan juga orang Jawa, mereka adalah orang timur.
"Mas, kami mohon adik saya meninggal dan tidak ada orang yang mau bantu untuk menggotong jenazahnya. Tolong bantu kami menggotongnya.
ADVERTISEMENT
"Dan kau pikir kami mau membantumu, heh? Kami ini sedang sibuk," nada bicaranya meninggi.
"Saya akan bayar, Mas."
"Berapa?" Tanya lelaki berambut kribo dan berkulit hitam khas orang timur.
"Dua ratus ribu per orang," jawab Mang Roi, wajahnya harap cemas takut ditolak.
Keempat lelaki saling tatap, kudengar gumam mereka 'lumayan juga dua ratus ribu.'
"Oke, di mana jenazahnya."
Mang Roi menyeringai senang. Ia menyarankan keempat lelaki asing untuk memarkirkan motornya di rumahku agar aman. Setibanya di rumah, mereka membantu memasukkan jenazah bapak ke dalam keranda.
"Aku mau ikut mengantar ke kuburan, Bu," pintaku.
Ibu melirik Mang Roi. Yang dilirik mengangguk.
"Iya, Nak."
"Alvin biarkan ikut, tapi adikmu di rumah saja. Lagi pula perjalanannya jauh dia tidak akan kuat jalan. Setelah magrib kita pasti sudah pulang lagi," ujar Mang Roi.
ADVERTISEMENT
Ibuku mengiyakannya. Sebuah kain hijau diselimutkan pada keranda bapak.
"Seberapa jauhkah makamnya?" Tanya Bertus.
"Lumayan jauh," jawab Mang Roi singkat.
"Kalau terlalu jauh, kami minta uang tambahan," tambah Agustinus.
"Beres," jawab Mang Roi lagi singkat sambil sibuk membetulkan posisi kain penutup keranda.
Sore itu, berangkatlah kami mengantar jenazah bapak ke kuburan, sedangkan Adikku ditinggalkan sendiri di rumah. Dari jendela kaca yang besar, kulihat dia memandangi kepergian kami. Tatapannya sedih, tapi aku tahu dia anak yang baik dan penurut. Sesaat sebelum memalingkan pandangan, terlihat siluet bayangan hitam seorang lelaki berdiri di belakang adikku. Kukerjapkan mata, dan seketika bayangan itu hilang. Mungkin aku salah lihat.
Nantikan cerita Pamali selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
ADVERTISEMENT
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten