PAMALI_PART10.jpg

Pamali: Tinggal Aku Sendiri (Part 10)

9 Februari 2020 18:45 WIB
Pamali. (Foto: Masayu/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pamali. (Foto: Masayu/kumparan)
ADVERTISEMENT
Terpaksa Mang Roi harus membopong jenazah bapak. Kami masih harus menyeberang sungai untuk sampai ke pemakaman. Untungnya, handphone jadulnya milik Mang Roi ada senternya. Aku bertugas menerangi jalan, dari kejauhan kami mendengar gemuruh air sungai.
ADVERTISEMENT
"Ayo percepat langkahmu," kata Mang Roi.
"Iya Mang."
Sesampainya di tepi sungai, kami mencari bagian yang dangkal dan langsung menyeberang. Kulihat kain kafan bapak basah.
Setelah menyeberangi sungai, kami melanjutkan perjalanan. Kulihat Mang Roi susah payah membopong jenazah bapak. Setelah berjalan cukup jauh, Mang Roi meletakkan jenazah bapak di atas rerumputan.
"Istirahat dulu. Aku lelah," kata Mang Roi, napasnya terengah-engah.
"Sebentar lagi kita sampai di pemakaman."
"Iya, Mang."
Mang Roi mengatur ritme napasnya. Aku melihat sekeliling, kami masih berada di lahan luas, mungkin dulunya bekas persawahan.
"Kita lanjut jalan lagi," ajak Mang Roi sambil mengusap keringatnya dengan lengan baju.
Lagi-lagi Mang Roi menyuruhku untuk mempercepat langkah karena gerimis mulai berjatuhan. Ia bahkan berlari kecil agar segera sampai ke pemakaman. Hujan semakin lama semakin deras, kami basah kuyup. Kaki Mang Roi tiba-tiba tergelincir, jenazah bapak jatuh ke tanah. Kulihat kepala Mang Roi berdarah kerana terbentur sebuah batu. Dia pingsan seketika.
ADVERTISEMENT
"Mang!"
"Mang!"
Aku mengguncangkan tubuhnya, tapi dia tetap tidak sadarkan diri. Tidak ada pilihan lain, aku harus tetap mengubur jenazah bapak. Kali ini hanya tinggal aku sendirian, kuseret sekuat tenaga jenazah bapak. Sesekali berhenti untuk mengatur napas. Setibanua di pemakaman, kulihat sebuah liang lahat yang tergenang air hujan. Air hujan itu hanya semata kakiku.
Malam itu di bawah hujan deras, aku mengubur jenazah bapak. Kudengar suara benturan keras dari dalam tenah, tapi aku tetap menghiraukannya. Hal itu sudah biasa terjadi. Bapak kukubur tanpa diadzani karena memang aku tidak bisa adzan. Selesai mengubur, di atas pusaranya aku berdoa menggunakan bahasa Indonesia.
"Ya Tuhan, bahagiakan bapak di sisimu. Beri dia selimut yang hangat karena malam ini hujan sangat deras dan dingin, amin."
ADVERTISEMENT
Tubuhku menggigil kedinginan, aku beranjak dari kuburan bapak. Sampai pagi tiba, aku tetap di samping Mang Roi. Menunggu ia siuman. Kutempelkan telingaku di atas dadanya, detak jantung itu masih terdengar jelas.
***
Aku Alvin. Sekarang aku sudah dewasa, aku mewarisi kesaktian bapak. Bahkan lebih dari itu, aku telah menguasai ilmu kesaktian lainnya. Aku duduk sila di dalam kamarku yang pengap oleh asap kemenyan. Kuraih sebuah boneka kecil berwarna putih, diatas boneka itu bertuliskan abah Miyan. Ya, kali ini aku akan balas dendam pada lelaki tua sialan itu. Aku bersyukur dia masih hidup sehingga aku bisa membalaskan dendamku. Sebuah mantra dibacakan pada boneka tersebut, setelah itu kutusukkan sebuah jarum di bagian lehernya. Dia akan disiksa terlebih dahulu sebelum kubunuh!
ADVERTISEMENT
SELESAI
Nantikan cerita horor selanjutnya dari Mbah Ngesot. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten