

ADVERTISEMENT
Pintu itu berhenti bergetar. Suara Kanti juga tidak lagi terdengar. Ki Suratman kembali duduk di hadapan kedua mempelai. Ia berkata kepada mereka kalau semuanya masih aman terkendali. Tapi, mereka tetap saja ketakutan dan sangat cemas.
ADVERTISEMENT
“Tolong ceritakan yang sebenarnya, Ki. Apa yang terjadi di kampung Mojosari ini?” Tanya Bima.
Bima menatap wajah Ki Suratman. Pertanyaan itu cukup mewakili rasa penasaran kedua orang tua Bima.
Sebelum Ki Suratman bercerita, ia menoleh ke arah Anjani dan kedua orang tuanya yang sudah sepuh. Anjani malah tertunduk lesu.
“Ceritakan saja, Ki,” kata bapak Anjani. Ibu Anjani juga mengangguk kepada Ki Suratman.
Ki Suratman menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Ia mulai bercerita.
“Dulu di Mojosari ini ada seorang dukun yang sangat disegani. Dia bisa menyembuhkan berbagai penyakit, membuat penglaris usaha, bahkan bisa mendatangkan jodoh seseorang,” ujar Ki Suratman. Dia mengubah posisi sila terlebih dahulu sebelum melanjutkan cerita.
ADVERTISEMENT
“Lalu, Ki?” tanya ayah Bima, penasaran.
Ki Suratman menarik napas. “Sayangnya dukun itu malah melakukan ritual terlarang yang menyebabkan kampung kami dikutuk.”
“Ritual apa, Ki?” tanya Bima.
“Muji Setan,” jawab Ki Suratman.
“Itu ritual untuk apa, Ki?” Bima semakin penasaran.
“Awet muda. Dukun itu percaya dengan janji-janji setan dan ingin hidup abadi. Akibatnya, kampung kami terkutuk. Setiap ada orang kampung Mojosari yang menikah, beberapa hari kemudian salah satu mempelai pasti akan mati. Kami sudah coba untuk melangsungkan pernikahan di luar Mojosari, tapi tetap saja sama. Salah satu mempelai pasti mati, entah itu sakit atau kecelakaan," jelas Ki Suratman.
“Batalkan saja pernikahan ini, Ki. Bima ayo kita pulang!” mendengar cerita Ki Suratman, ayah Bima langsung menarik lengan anaknya.
ADVERTISEMENT
“Caraikan istrimu malam ini, juga!” tambah ibu Bima.
Anjani tertunduk sambil menangis sesenggukan di pelukan kedua orang tuanya. Yang dia takutkan ternyata terjadi. Dari awal, Anjani sengaja tidak memberi tahu Bima soal rahasia kampung Mojosari. Ia takut Bima tidak mau menikahinya.
“Enggak, Bu. Aku udah telanjur sayang sama Anjani,” tutur Bima. Ia menatap ibunya dalam-dalam.
“Cari perempuan lain saja. Ini kampung setan. Nanti kamu celaka,” bentak ayah Bima.
“Cukup!” Ki Suratman berdiri. Wajahnya kini penuh emosi. Itu membuat semua orang di ruangan terdiam dan hanya menyisakan suara tangis Anjani. Kedua orang tua Anjani tidak banyak cakap karena mereka sudah sangat tua.
“Mojosari bukan kampung setan. Kalau kalian tidak mau menikahkan anak kalian dengan Anjani, ya silakan ceraikan. Tapi ingat, Bima sudah pernah melakukan akad dengan orang Mojosari. Dan, aku akan lepas tangan kalau nanti ada hal buruk yang menimpa anak kalian,” ujar Ki Suratman.
ADVERTISEMENT
“Bajingan!” ayah Bima merenggut baju Ki Suratman.
Buru-buru Bima menahan ayahnya itu.
“Dengarkan Bima, Ayah!” Nada suara Bima meninggi. “Apa pun yang terjadi, Bima tidak akan menceraikan Anjani. Lagi pula Ayah sama Ibu tenang saja, selama kita menuruti arahan Ki Suratman, Bima yakin semua akan baik-baik saja. Iya kan, Ki?” Bima menoleh ke arah Ki Suratman.
Dengan tenang, Ki Suratman menganggukkan kepalanya. "Ceritaku belum selesai kalian sudah marah saja. Dengarkan dulu sampai selesai," Ki Suratman kembali duduk sila.
"Kalian semua jangan khawatir. Selama kita melakukan ritual pernikahan ini dengan benar, aku yakin kedua mempelai akan baik-baik saja."
Ayah Bima mengatur napasnya. Ia sebisa mungkin menahan emosi. Ia lalu bertanya kepada Ki Suratman soal dukun yang membuat petaka kampung Mojosari.
ADVERTISEMENT
“Di mana dukun itu sekarang?”
Ki Suratman menoleh ke arah kamar Kanti. Ia lalu berkata dengan perlahan.
“Dukun itu adalah Kanti. Ia ada di dalam kamar itu,” tunjuk Ki Suratman.
“Kalau memang dia dukunnya, kenapa warga kampung ini tidak langsung membunuhnya saja?” semakin lama, semakin banyak pertanyaan yang bermunculan di kepala Bima.
“Kalau kami membunuhnya, kami khawatir Kanti malah jadi setan dan meneror warga kampung. Jadinya kami biarkan dia hidup dan kami pasung agar dia tidak bertindak macam-macam,” jelas Ki Suratman.
Tidak lama setelah Ki Suratman berbicara, terdengar suara derit balok kayu seperti diseret. Disusul dengan suara ketukan dari dalam pintu kamar Kanti.
“Sebaiknya kita pergi dari gubuk ini,” saran Ki Suratman.
ADVERTISEMENT
Kedua orang tua Bima keluar lebih dulu dari gubuk itu tanpa berkata apa pun kepada anaknya. Bima, Anjani, dan kedua orang tuanya menyusul dari belakang. Dan, Ki Suratman yang paling terakhir keluar dari gubuk. Ia memadamkan lampu gubuk dan mengunci pintunya dengan rantai.
Di dalam kamar Kanti gelap-gulita. Perempuan itu menggerak-gerakkan kedua kakinya. Ia juga menggoyangkan tubuhnya perlahan, lalu tersenyum mengerikan. Air liurnya menetes ke sembarang arah. Kemudian Kanti berkata dengan suara serak dan pelan.
"Anjani...," desis Kanti.
____
Nantikan cerita horor Pengantin Jawa selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini: