part 7_square.jpg

Pocong Tetangga: Bangkit Kembali (Part 7)

30 Mei 2020 15:43 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi cerita horor pocong tetangga. Foto: Masayu Antarnusa/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi cerita horor pocong tetangga. Foto: Masayu Antarnusa/kumparan
ADVERTISEMENT
“Iya kalian pasti menggunakan pesugihan!” sahut pengunjung pasar lainnya.
ADVERTISEMENT
Para pengunjung warteg yang menjerit kesakitan akhirnya dibawa satu persatu ke rumah sakit terdekat. Lain hal yang terjadi dengan Tika dan Amprung, mereka dilempari sampah dan batu, kiosnya diacak-acak. Uangnya dirampas lalu dibakar di depan mereka berdua.
“Ampuni kami. Sungguh, kami tidak menggunakan pesugihan!” Amprung memeluk istrinya, melindunginya dari amukan warga.
“Halah! Bohong kau!” sebuah kayu menghantam kepala Amprung. Ia terkapar dengan darah bercucuran.
“Pak!” Tika menjerit sambil merangkul suaminya.
Sebelum warga sempat membunuh mereka berdua, polisi datang berhamburan ke pasar Kliwon. Salah satu pimpinan polisi menembakkan senjata api ke udara untuk membubarkan kerumunan.
Untung saja, Amprung dan Tika masih bisa diselamatkan. Dan yang terjadi selanjutnya sangat menyedihkan, warteg mereka ditutup paksa lalu dilebeli 'Parteg Pesugihan' itu sangat memalukan.
ADVERTISEMENT
Akibat hantaman benda tumpul, Amprung tidak sadarkan diri selama dua hari. Ia dirawat di rumah sakit yang sama dengan para pelanggan wartegnya. Suatu malam di rumah sakit, saat Tika dan anaknya tertidur pulas di samping ranjang Amprung, tirai jendela bergerak tertiup angin. Muncul bayangan pocong di luar sana yang siap menagih uangnya kembali.
Sementara itu, Amprung terbaring dengan tenang, tangannya diinfus, mulutnya dipasangi alat bantu pernafasan, dadanya turun naik pertanda kalau ia masih hidup. Amprung bermimpi kalau dirinya sedang ada di sebuah tempat yang sunyi.
Ia duduk seorang diri di atas bangku. Dari arah kanannya terdengar suara langkah sepatu mendekat, itu Mbah Goto. Amprung menyeringai bahagia saat melihat lelaki tua itu.
ADVERTISEMENT
“Mbah tolong aku. Bagaimana cara menghentikan pocong itu?”
“Kalau kau tidak mau mengembalikan uangnya, kau datangi saja kuburannya.”
“Lalu?” tanya Amprung.
“Kau curi tali kain kafan di bagian pergelangan kaki.”
Amprung terdiam sejenak, “Ada lagi yang harus saya lakukan, Mbah?”
“Kau telan tali itu.”
Amprung mengangguk, itu terdengar sangat mudah. Ia pasti bisa melakukannya. Baginya, mengembalikan uang hasil curian adalah aib. Ia tidak sanggup menanggung malu, apalagi yang ia curi adalah tetangganya sendiri. Lebih baik Amprung melakukan apa yang disarankan Mbah Goto saja.
Ia tergeragap bangun, nafasnya terengah-engah lalu menoleh ke arah jendela. Bayangan pocong masih berdiri di sana. Buru-buru Amprung mebangunkan istri dan anaknya. Mereka berteriak panik membuat dokter dan perawat berdatangan.
ADVERTISEMENT
“Pocong, Dok! Ada pocong!” Amprung menunjuk ke arah jendala, tapi tidak ada apa-apa di sana.
“Tenang, Pak. Bapak pasti berhalusinasi,” kata dokter sambil membaringkan kembali tubuh Amprung.
Besoknya, Amprung minta pulang. Ia merasa sudah tidak perlu lagi dirawat. Sebenarnya dokter menyarankannya agar tetap melakukan rawat inap untuk dua hari lagi, tapi Amprung bersikeras ingin pulang. Ia tidak sabar ingin segera melakukan apa yang disarankan Mbah Goto di dalam mimpinya.
***
Semua sudah Amprung persiapkan. Dia akan melakukan aksinya seorang diri. Sebenarnya Tika melarang suaminya untuk melakukan hal aneh itu dan menyarankannya agar mengembalikan uang jenazah itu, tapi Amprung tetap tidak mau.
Maka malam itu, saat orang-orang sedang tidur pulas, Amprung berangkat menuju kuburan Pak Rusdi dengan mengendarai motor barunya. Siang tadi ia sudah pergi ke sana, untuk memastikan lokasi kuburan Pak Rusdi.
ADVERTISEMENT
Tidak sampai dua puluh menit, ia tiba di pemakaman. Amprung menoleh ke sekeliling, memastikan kalau tidak ada siapa pun yang melihat aksinya. Amprung tersenyum, ia sudah menemukan kuburan Pak Rusdi. Sebuah cangkul dikeluarkan dari dalam karung.
“Pocong bangsat,” gumam Amprung.
Saat cangkul itu ditancapkan di atas tanah kuburan, tiba-tiba permukaan tanah itu bergetar. Amprung panik, tapi ia tetap melakukan aksinya. Tanah itu berhasil ia gali. Bau musuk menguar menusuk hidung. Mayat itu sudah penuh dengan belatung, wajahnya membusuk bahkan terlihat tulang tengkoraknya.
Tangan Amprung bergetar saat mengambil tali kain kafan di bagian pergelangan kaki. Ia meraih sebotol air dari permukaan makam yang sengaja ia bawa. Ia menggulung tali tersebut lalu menelannya sambil meneguk air.
ADVERTISEMENT
___
Nantikan cerita Pocong Tetangga selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini:
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten