Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
ADVERTISEMENT
Angkot itu mendekat, Amprung bangkit lalu lari sekuat tenaga. Sesekali ia menoleh ke belakang, angkot itu terus mengejarnya. Ada sebuah jalan kecil di sebelah kanan, Amprung berbelok ke jalan tersebut agar angkot tidak bisa mengikutinya lagi.
ADVERTISEMENT
Setelah berusaha mencari jalan pulang dengan menyusuri perkampungan, Amprung akhirnya berhasil sampai di rumah. Ia menggedor pintu dengan sangat keras, napasnya tersengal-sengal, sesekali ia menoleh ke belakang karena takut ada pocong yang mengikutinya.
“Tika! Buka pintunya!”
Tidak lama kemudian, pintu bersuara pertanda ada seseorang yang membukakannya.
“Ke mana aja sih, Pak?” Tika masih mengucek matanya yang kantuk. Ia geram dengan kelakuan suaminya itu.
Tanpa menjawab, Amprung menerobos masuk. Tika heran dengan tingkah suaminya itu, jangan-jangan ia dikejar-kejar warga lagi lantaran maling.
“Kamu kenapa, Pak? Maling lagi?!” Tika menghampiri suaminya.
“Udah jangan banyak omong. Tutup pintunya!” Amprung malah balik marah.
Tika menggelengkan kepala sabil berdecak kesal. Rasanya ia tidak sanggup lagi hidup bersama lelaki itu. Dari dulu tabiat Amprung tidak pernah berubah, senang maling dan berjudi. Selama ini yang menghidupi keluarga malah Tika, ia berjualan uduk di SDN Sukaresmi, tempat anaknya sekolah.
ADVERTISEMENT
“Pak, itu siapa di luar?” Tika mengintip dari balik jendela.
“Tik...! jangan diintip!” desis Amprung.
Tika beranjak menghapiri suaminya yang sedang terbaring ketakutan di atas sofa butut.
“Dia ngeliatin rumah kita terus, Pak. Aku nggak bisa lihat wajahnya samar gitu,” kata Tika.
Amprung menarik lengan istrinya ke kamar. Di sana ada anak perempuan mereka yang sedang tidur pulas. Pintu kamar itu lalu dikuci rapat.
“Uangku...,” seseorang mengetuk jendela kamar, diikuti dengan rintihan minta uang.
“Pak, kamu maling uang siapa?”
“Setan, Mah. Uang setan!” Amprung mengerutkan dahi, tubuhnya bergetar.
“Hah setan? Kok bisa?” Tika heran. Kaca pintu kamar mereka masih diketuk.
“Aku mencuri uang sedekah orang yang meninggal,” bisik Amprung.
ADVERTISEMENT
“Bajingan kamu Pak. Jangan-jangan itu uangnya Pak Rusdi!” Tika terkejut, ia benar-benar marah.
“Maksud kamu?”
“Pak makanya kalau udah punya anak istri jangan keluyuran nggak jelas! Itu tetangga kita Pak Rusdi meninggal tadi pagi. Jenazahnya dibawa ke kampung tempat kelahiran dia. Pas selesai dishalatkan, uang sedekahnya hilang ada yang curi. Ternyata kamu Pak pencurinya.”
“Ssssttt..., jangan berisik,” Amprung menutup mulut istrinya.
Tika menyingkirkan lengan suaminya, ia lalu mendekat ke jendela, pocong itu masih di luar. Ia mengetuk kaca jendela kamar dengan cara membentur-benturkan kepala.
“Ampun, Pak Rusdi. Jangan ganggu kami,” Tika mengeraskan suaranya.
“Uangku.... kembalikan uangku,” kata pocong itu dari luar.
“Pak, berapa uang yang kamu curi?”
ADVERTISEMENT
Amprung menggelengkan kepala, “Aku tidak tahu. Itu banyak sekali, segepok,” jawab Amprung.
“Kamu pakai judi uangnya?”
Amprung mengangguk, refleks saja tangan Tika menampar wajah suaminya.
“Bodoh kamu, Pak!”
Jendela semakin keras digedor.
“Ampun Pak Rusdi. Saya janji besok akan kembalikan uangnya,” kata Amprung.
Tika menoleh ke suaminya dengan ekspresi wajah kesal, “Uang dari mana?” bisik Tika.
“Pokoknya aku akan usahakan,” jawab Amprung.
Suara ketukan perlahan hilang. Tika membuka sedikit tirai jendela, ternyata pocong itu sudah pergi.
***
Keesokan paginya, saat Tika melintas di depan rumah tetangganya, ia melihat Jubaidah menangis di teras rumah. Suami dan kedua anaknya mencoba menenangkan Jubaidah, wanita itu masih belum ikhlas uang sedekah bapaknya dicuri orang. Padahal itu uang tabungannya selama bertahun-tahun.
ADVERTISEMENT
“Ibu kenapa?” tanya Amila, ia menengadah ke Tika yang tiba-tiba mempercepat langkah.
“Nggak apa-apa, Nak. Ayo nanti kamu terlambat masuk kelas,” Tika menarik lengan anaknya, memintanya untuk mempercepat langkah.
Amila menoleh ke arah pohon jambu, “Bu ada yang ngeliatin kita,” katanya sambil menunjuk.
Tika memperhatikan pohon jambu di pinggir jalan, tapi tidak ada siapa-siapa di sana.
“Udah ayo cepat pergi,” Tika tahu itu pasti pocong semalam yang masih mengikutinya.
Nantikan cerita Pocong Tetangga selanjutnya. Agar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini: