iStock-689681306.jpg

Santet Kolong Wewe di Karawang: Berburu Wewe Gombel

23 Oktober 2019 19:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ilustrasi
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi
ADVERTISEMENT
Suara benda jatuh mengejutkan kami. Benda itu berasal dari arah belakang, yang sepertinya dari arah dapur. Aku dan Rudi menghampiri sumber suara, Ahmad dan Yogi tidak menghentikan lantunan ayatnya. Benar saja, panci kecil, beberapa sendok makan sudah tergeletak di lantai dan.
ADVERTISEMENT
“Rumah ini banyak tikus ternyata ya,” Rudi berdecak kesal dan berusaha menjernihkan pikiran nya dengan hal yang lebih logis.
Aku tertawa kecil, “Yakin, ada tikus sebesar balita?” bukan untuk menakut-nakuti Rudi, aku memang melihat ada sekelebat bayangan seperti anak kecil yang melintas dan kabur sesaat kami aku dan Rudi masuk ke dapur.
“Oh yaudah berarti bukan tikus ya yang jatohin tadi, tapi setan untung aku selow orangnya,” Rudi membalikkan tubuhnya dan berusaha sesantai mungkin, padahal aku tahu percis, keringat di dahi nya sudah sebesar biji jagung.
“Ada apa disini, Giya?” tiba-tiba saja Yogi sudah di belakang kami. “Penampakan anak kecil, hanya bayangan tipis saja, tidak berbahaya.”
“Tapi harus tetap di usir. Ini Giya, tolong percikkan air ini ke sekitar dapur sambil bacakan ayat seperti biasanya. Rudi, bantu aku untuk membatasi sekitaran dapur dengan garam hitam ini,” Yogi memberikan air putih dengan mulut botol semprot berukuran sedang dan aku menjalankan sesuai instruksinya.
ADVERTISEMENT
Kami semua bekerja sama dengan sangat baik, disini kami meminimalisir gangguan-gangguan ghaib yang hadir sekecil apapun itu, di ruangan tengah suara lantang Ahmad yang sedang mengaji dapat menenangkan kami semua.
“Semakin malam, mahluk apapun akan banyak hadir di sini untuk mengganggu prosesnya. Dan kalau kita beruntung, wewe gombel yang dimaksud oleh Pak Buana juga akan menampakkan dirinya. Persiapkan dirinya, terutama Giya, kalau lelah atau merasa pusing tolong kasih tau aku,” Yogi menjelaskan dengan telapak tangan yang menghitam karena garam – yang katanya, garam itu didapatkan dari Guru Besar Ahmad dan Yogi di pesantren, berfungsi untuk mengusir energi jahat.
“Yog, aku laper. Masak mie dulu gimana? Ngusir setan kayaknya gak baik kalo perut keroncongan. Kita terakhir makan siang tadi lho pas sampe,” Rudi sekarang menggeratak lemari kecil yang depannya tadi habis ia batasi dengan garam, dan menemukan beberapa bungkus mie instan.
ADVERTISEMENT
“Ide bagus Rud, aku yang masakin ya. Kalian lanjutin aja dulu,” aku meletakkan botol air tadi di dekat lemari piring. Kemudian mencuci panci kecil yang terjatuh tadi, mengisinya dengan air mentah, dan menyalakan kompor.
Tepat pukul 11 malam, udara semakin dingin. Tidak ada penerangan apapun lagi kecuali lilin kecil di depan kami masing-masing. Perut yang tadi sudah terisi lumayan memberikan kami sedikit energi lebih untuk melanjutkan ritual pengusiran.
ilustrasi
Kali ini kami berempat sudah terpencar, kecuali aku dan Rudi. Ahmad dan Yogi sudah melanjutkan pembacaan ayat pengusir jin di masing-masing ruangan; Ahmad masih bertahan di ruang tengah, Yogi di kamar Pak Buana dan istrinya, aku dan Rudi di perbatasan menuju ruangan belakang dekat dengan dapur dan kamar mandi.
ADVERTISEMENT
Kami semua diserang oleh keheningan, tidak ada yang bersuara dan terdengar kecuali lantunan ayat khusus pengusiran jin.
Aku memang tidak hafal dengan ayat-ayat yang dibaca oleh mereka, begitu juga dengan Rudi, tapi aku salut dengan kegigihannya yang berusaha berkonsentrasi meskipun dengan rasa takut yang terasa jelas dan terus berkomat-kamit membaca buku catatan kecilnya sambil membaca ayat tersebut berulang-ulang. Aku memejamkan mata, dan mengerjapkannya berkali-kali.
***
Senang membaca kisah horor seperti ini, klik tombol subscribe di bawah untuk mendapat notifikasi setiap ada cerita horor terbaru dari Mbah Ngesot.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten