hand-984170_1920.jpg

Sehidup Semati: Pertemuan dengan Jamal

15 Agustus 2019 20:30 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ilustrasi
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi
ADVERTISEMENT
Di suatu siang yang terik, di tengah makan siangku dengan kedua orang tuaku, Bu Komariah lewat. Ia tidak hanya mampir tapi juga memberikan sebuah kabar yang membawa senyum lebar di wajah Bapak.
ADVERTISEMENT
“Iya, anaknya Pak Jaya udah balik dari kota,” kata Bu Komariah berapi-api.
“Si Jamal itu, bukan?” tanya ibuku.
“Iya, si Jamal yang dulu masih kecil itu. Denger-denger dia abis ditinggal sama istrinya ketiganya, makanya dia pulang ke kampung.”
Emang kenapa istrinya?” Bapak bersuara.
“Meninggal kecelakaan di kota, badanya kegencet di dalem mobil,” jawab Bu Komariah.
Innalilahi wainnailahi rojiun,” sontak ibuku berkata.
“Kasiah si Jamal, padahal anaknya kasep, terus mapan lagi. Di kota punya perusahaan sendiri, tapi kenapa jodohnya pendek terus ya,” Bu Komariah menyesali nasib Jamal seakan-akan anaknya sendiri.
“Yah, namanya jodoh sama kematian itu udah takdir Tuhan, Bu,” kata ibuku.
Bu Komariah mengangguk, “Iya, bener. Tapi kayaknya Pak Jaya gak terima tuh, dia kepengen banget punya cucu jadi si Jamal disuruh nyari jodoh lagi.”
ADVERTISEMENT
Saat Bu Komariah mengatakan itu mata Bapak berbinar, serangkaian rencana tersusun rapi di kepalanya dan aku berada di dalamnya. ini adalah kesempatan untuk Bapak mewujudkan rencananya semenjak aku kecil, mengawinkan aku dengan pria tampan yang mapan, dan Jamal adalah jawabannya.
Sesungguhnya aku mengenal Jamal, kami berteman ketika kecil, sebelum ia pindah ke kota. Seingatku Jamal orangnya pendiam, dan sering sekali menyendiri. Ia punya dunianya sendiri, sekali dua kali aku pernah mengajaknya ngobrol tapi ia tidak tertarik kepadaku jadi kutinggalkan saja. Sikapnya memang sedikit misterius, aku pernah memergokonya berbicara sendirian, tapi sesungguhnya ia adalah anak yang baik.
Setelah pertemuan dengan Bu Komariah, Bapak mulai menyusun rencana untuk mempertemukan kami berdua. Laporan tentang panen yang biasanya diserahkan langsung kepada Pak Jaya kini enggan ia lakukan, sebagai gantinya ia menyuruhku mengantarkannya kepada Pak Jaya. Tidak lupa Bapak menyuruhkan memakan pakaian yang bagus, dan sedikit berhias. Selepas matahari tenggelam aku berangkat ke rumah Pak Jaya.
ADVERTISEMENT
ilustrasi
Kuketuk pintu rumahnya yang bergagang besar dari luar, tidak lama Pak Jaya membukakan pintu. Pembantu yang kerja di rumahnya memang pulang di sore hari, jadi ia sendiri yang membuka pintu.
“Eh, Sari. Ada apa? Tumben malam-malam ke sini,” Pak Jaya berkata padaku.
“Masuk.”
Aku mengekori Pak Jaya dari belakang.
“Ini, Pak. Saya mau ngasih laporan panen dari Bapak,” kataku.
Pak Jaya berbalik kepadaku di ruang tamu, ia mengangkat tangannya seraya mempersilakanku untuk duduk. Aku mengikuti perintahnya. “Loh, Bapak kamu ke mana? Kenapa gak nganter sendiri?”
“Bapak kurang enak badan Pak, jadi saya yang disuruh ke sini.”
“Sakit apa Bapakmu?”
“Biasa, Pak. Masuk angin.”
Pak Jaya menarik napas panjang lalu mengangguk, “Boleh saya liat laporannya?”
ADVERTISEMENT
Aku memberikan buku laporan yang kubawa dari rumah kepada Pak Jaya, ia membacanya sejenak. Tidak lama kemudian Jamal keluar dari dalam rumah, sepertinya ia ingin keluar. Pakaiannya necis, dan wangi parfum menguar dari tubuhnya.
“Keluarnya nanti dulu, temenin Sari dulu, Bapak mau nyatet laporan panen di kamar.” Kata Pak Jaya kepada anak sematawayangnya.
Tanpa mengeluh, Jamal menyanggupinya. Pak Jaya meninggalkan kami berdua di ruang tamu, sepeninggal Pak Jaya, Jaman duduk di tempat Pak Jaya tadi duduk, tepat di depanku.
“Kamu Sari anaknya Pak Hidayat, kan?” ujar Jamal.
“Iya,” kataku.
“Gak nyangka ya kamu jadi cantik begini.” Perkataan Jamal membuat jantungku berdegup kencang, bagaimana bisa ia memujiku di momen pertama kami bertemu kembali. Hatiku lumer rasanya.
ADVERTISEMENT
“Biasa aja, kok.”
“Kamu masih inget gak sama aku?” kata Jamal lagi.
“Masih kok, kamu sekarang agak gemukan terus rambutnya gak awut-awutan lagi.”
Jamal malu, ia memegang rambutnya yang kini rapi seperti seorang anak bangsawan. “Aku jadi aneh, ya?”
“Enggak, kok.” Aku menjawab cepat, “Malah jadi ganteng.”
Aku benar-benar tidak menyangka kata-kata itu akan keluar dari mulutku, jika saja Jamal tahu betapa malunya aku mengatakan itu kepadanya. Namun sejauh ini raut wajahnya masih terlihat serius, tidak ada tanda-tanda jijik.
“Makasih, pujiannya.”
Jauh di dalam hatiku, aku merasa iba kepada Jamal. Mengapa nasib buruk harus menimpa pria setampan itu, seharusnya jalan hidupnya serba sempurna. Kami berbincang sedikit tentang masa kecil kami di desa ini, dan bagaimana hidupnya di kota. Di luar dugaanku, ternyata perjuangannya di kota sangatlah besar. Ia bersusah payah membangun bisnisnya hingga besar sampai saat ini, tidak sekali pun ia membahas ketiga istrinya yang telah tiada. Aku pun tidak berani mengungkitnya, takut menyakiti hatinya.
ADVERTISEMENT
Pak Jaya keluar, ia memberikan kembali buku laporan yang sudah ia catat.
“Jamal, tolong anterin Sari pulang. Kasian kalo perempuan jalan malem-malem kayak gini.”
Jamal menuruti perintah bapaknya, dan mengantarkanku sampai ke rumah. Perbicangan kami berlanjut di perjalanan menuju rumah, Jamal yang kini kulihat sangat berbeda dengan Jamal yang kukenal dulu. Tidak hanya fisiknya saja yang berubah, namun kepribadiannya. Kini Jamal merupakan seseorang yang ceria dan serba terbuka, mulutnya tidak berhenti mengoceh namun tidak membuatku terganggu. Malahan aku senang mendengar dia terus berbicara, suaranya menenangkanku.
Senang membaca kisah horor seperti ini, klik tombol subscribe di bawah untuk mendapatkan notifikasi setiap ada kisah horor terbaru dari Mbah Ngesot.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten