Tahun Baru di Hutan Terlarang: Ika (Part 15)

Konten dari Pengguna
11 Januari 2020 18:20 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mbah Ngesot tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi cerita horor. (Foto: Masayu Antarnusa/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi cerita horor. (Foto: Masayu Antarnusa/kumparan)
ADVERTISEMENT
Keringat mengucur dari kening Kim. Ia tidak pernah merasa sesakit ini. Paku yang dicabut paksa oleh Wisnu seperti mencerabut semua urat-urat nadinya, sangat perih dan sangat sakit.
ADVERTISEMENT
Wisnu mengikat betis Kim dengan perban. Sesekali Kim meringis kesakitan. Namun, kali ini ia menangis. Wisnu mengangkat tubuh Kim. Dengan tertatih-tatih, Kim memaksakan kakinya untuk melangkah.
Sementara di belakang mereka, Jumadi semakin dekat. Ia membawa obor. Wisnu terus menyemangati Kim agar terus berjalan. Dari kejauhan, sudah terlihat cahaya obor Jumadi semakin dekat. Lelaki itu berteriak, mengancam akan membunuh mereka.
Kim menghentikan langkahnya. “Lu lari duluan! Gua mau mengalihkan perhatiannya biar lu bisa kabur,” kata Kim. Ia menyeka air matanya.
“Lu ngomong apa sih? Enggak bisa, Kim. Kita harus ke luar dari hutan ini bareng-bareng."
Kim merogoh smartphone-nya. “Gua udah enggak punya siapa-siapa lagi, Nu. Ibu sama bapak gua udah meninggal. Ini pegang hp gua. Password-nya 008, ada nomor Ardiansyah. Itu cowok gua. Kalau lu udah keluar dari hutan ini, tolong bilang ke dia kalau gua kangen banget. Gua pengin nyusul orang tua gua di surga.”
ADVERTISEMENT
“Nggak, Kim! Ayo cepat lari!”
"Iya, Mbak. Jangan lakuin itu!" ucap Safirah, parau.
Kim malah berbalik arah. Ia berjalan tertatih mendekati sumber cahaya obor Jumadi. Wisnu berdecak kesal sambil berteriak memanggil Kim yang terus menjauh darinya.
Dengan berat hati Wisnu melangkahkan kakinya. Air matanya jatuh perlahan membasahi pipi. Ia terus mempercepat langkahnya. Semakin lama ia menggendong Safirah malah terasa semakin berat saja. Sesekali Safirah menengok ke belakang, memastikan kalau Jumadi belum muncul.
Tiba-tiba sebuah anak panah melesat dari arah belakang. Nyaris saja mengenai kepala Safirah. Anak panah itu menancap di atas tanah, disusul lima anak panah sekaligus dari belakang mereka. Empat di antaranya meleset, namun satunya lagi tepat menancap punggung Safirah. Darah mengucur dari punggungnya. Napasnya tersengal-sengal, ia sekarat.
ADVERTISEMENT
Wisnu membaringkan wanita itu. Segera ia memeriksa denyut nadinya dari pergelangan tangan. Ia menangis. Safirah sudah tidak lagi bernyawa.
Sementara Wisnu masih menangis, sebuah anak panah melesat kembali. Anak panah itu menancap di sebatang pohon. Buru-buru Wisnu lari terbirit-birit. Ia tidak mungkin bisa melawan Jumadi tanpa senjata apa pun.
Sementara itu, Jumadi terlihat berlari dari belakangnya. Salah satu tangannya sambil menjinjing kepala Kim, sementara busur panah ia selempangkan.
Jumadi berhenti. Ia tancapkan obornya ke tanah dan meletakkan kepala Kim. Lelaki itu kemudian meraih busur panahnya, membidik Wisnu dari kejauhan. Dengan satu anak panah saja, Wisnu tumbang.
Anak panah itu mengenai paha kiri Wisnu. Ia kemudian merangkak sekuat tenaga untuk terus melarikan diri. Jumadi tertawa lepas saat melihat mangsanya tumbang. Ia kembali meraih obornya lalu berlari mendekati Wisnu.
ADVERTISEMENT
Setelah berhasil mendekati buruannya, Jumadi mengeluarkan sebilah parang yang ia ikat di pinggangnya. Wajah Wisnu berkeringat dingin. Ia ketakutan. Jumadi langsung menyabetkan parang itu ke dada Wisnu. Darah mengucur hingga tubuhnya mulai melemah. Wajahnya dan bibirnya terlihat sangat pucat.
Sebuah smartphone jatuh dari dalam tas Wisnu. Smartphone itu menangkap sinyal. Pesan singkat mulai masuk bertubi-tubi. Hampir semua pesan itu dari Ika: wanita yang tengah dekat dengannya. Tepat jam dua belas lewat satu menit, sebuah pesan baru masuk.
'Hai, Wisnu! Selamat tahun baru. Aku tahu kayaknya di hutan enggak ada sinyal. Tapi, aku tetap mau kirim pesan ini buat kamu. Cepat pulang ya! Aku mau ajak kamu makan Mie Ramen.
Ika'
ADVERTISEMENT
Smartphone itu tergeletak begitu saja di atas semak-semak yang basah oleh darah. Jumadi menyeret tubuh Wisnu yang sudah tak bernyawa. Ia pulang sambil menyanyikan sebuah lagu favoritnya.
“Naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali. Kiri kanan kulihat saja banyak pohon cemara," suaranya parau dan mengerikan.
SELESAI
Nantikan cerita terbaru dari Mbah Ngesot. Biar tidak ketinggalan, klik subscribe di bawah ini: