Catatan Bagi ASN: Reformasi Birokrasi Adalah Suatu Kemestian

Media Center Kementerian Hukum dan HAM
Kanal Resmi Pemberitaan Unit Kerja di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dikelola oleh tim Media Center Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Konten dari Pengguna
13 Februari 2021 17:14 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Media Center Kementerian Hukum dan HAM tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Catatan Bagi ASN: Reformasi Birokrasi Adalah Suatu Kemestian
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh : Andi E. Sutrisno, A.Md.P., S.H.
Constitutional falsehoods, sebuah istilah yang diutarakan Richard Albert (2018) mengenai kesalahan konstitusi suatu negara akibat keengganan pemerintah untuk mengubah kebijakan negara atas dasar tuntutan perubahan dan kebutuhan masyarakat (social needs).
ADVERTISEMENT
Paradoks ini lahir atas paradigma klasik pemerintah yang berpegang pada konsep konstitusional yang tidak dapat diubah. Rhenald Kasali (2014) menyampaikan bahwa keengganan terjadi karena ketidakmampuan birokrat (aktor) dalam merespons perubahan dan kebutuhan negara serta ketidakteraturan pikiran dan keyakinan (core beliefs) antar aktor (aparatur sipil negara yang selanjutnya disebut ASN).
Pelbagai kecacatan pelayanan publik dalam rupa mal administrasi, budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (selanjutnya disebut KKN), dan tidak dipahaminya “arah reformasi baru” seolah-olah menegasikan istilah negara Indonesia sebagai entitas bangsa, yang telah mereformasi dirinya pasca tuntutan perubahan pada 1998.
Salah satu dampak kronis dari permasalahan tersebut yakni malapetaka korupsi yang menggerogoti sendi-sendi pemerintahan. Masifnya korupsi, seolah mengindikasikan bahwa korupsi telah menjadi organ vital dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dilansir pada situs resmi Transparency International – The Global Coalition Against Corruption, Indonesia menempati peringkat ke-102 dari 180 negara terkorup dengan mendapatkan nilai hanya 37 dari 100 angka sempurna pada 2020.
Selanjutnya, lembaga survei internasional tersebut melaporkan sejumlah 92% masyarakat menyatakan bahwa pelaku korupsi adalah pemerintah, 30% layanan publik yang disediakan harus didapat melalui mekanisme “suap” dalam kurun waktu 12 bulan terakhir.
Asumsi masyarakat adalah hampir ‘tidak ada’ unsur birokrasi di negara ini yang steril dari penyelewengan dan penyalahgunaan. Delegitimasi terhadap aktor pemerintahan ini pun meningkatkan status korupsi menjadi suatu budaya organisasi (cultural organization).
Budaya organisasi koruptif cenderung menitikberatkan pada aspek perilaku aktor (pegawai) pemerintahan. Pertanyaannya adalah apakah perilaku tersebut merupakan faktor genetik? Atau justru terbentuk saat aktor tersebut terjun dalam pusaran klasik klan pemerintahan?
ADVERTISEMENT
Mengenal Arah Baru Reformasi
Gambaran eksplisit mengenai arah baru reformasi sebenarnya sudah tergambarkan secara konkrit pada kebijakan pemerintah (PermenpanRB Nomor 52 Tahun 2014) melalui program kolektif Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) & Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM).
Sebuah inisiasi yang berani telah diambil oleh pemerintah melalui kebijakan yang menyusun konfigurasi mengenai: perubahan mindset dan culture set pemerintah, akuntabilitas dan transparansi publik, pemberdayaan masyarakat (public empowerment), dan pemberdayaan layanan pengaduan.
Tujuannya tak lain untuk menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari KKN dan meningkatkan kualitas pelayanan publik. Membedah kebijakan ini, Dernhardt & Dernhardt (2007) dalam The New Public Service: Serving, Not Steering, memunculkan paradigma administrasi baru yang dikenal sebagai New Public Service (selanjutnya disingkat NPS) menggantikan New Public Management dan Old Public Administration.
ADVERTISEMENT
Dernhardt sendiri lebih senang menyebut NPS sebagai good governance sebagaimana tidak asing lagi ditelinga para administrator Indonesia. Ia menyentuh dimensi Citizen-Centered Governance, memainkan peranan penting masyarakat dalam penyelenggaraan kepemerintahan yang merupakan penentu strategi dari kebijakan publik. Serta penyelenggaraan kepemerintahan yang dilakukan dengan mengoptimalkan jejaring dan kemitraan.
Karenanya, seiring dengan pergeseran paradigma dari birokrasi klasik tersebut. Pemerintahan di Indonesia (khususnya ASN) dituntut untuk dapat mentransformasikan dirinya menjadi sebuah institusi yang mampu. Dan dapat melibatkan, mengoptimalkan peran dari masyarakat sipil dalam menjalankan roda kepemerintahan, yang berorientasi terhadap pelayanan publik yang berkualitas.
Eksistensi good governance sebagai arah baru pemerintahan harus diakui dan menjadi suatu keniscayaan bagi paradigma birokrasi modern (sebagaimana amanat dalam UU. Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik).
ADVERTISEMENT
Mengutamakan Perencanaan Kinerja
Adagium klasik bertitah, "Tidak usah banyak teori, yang penting praktik saja." Pernyataan tersebut seolah-olah meminggirkan kedudukan administrasi yang seharusnya menjadi supremasi birokrasi modern.
Tidak optimalnya kinerja dan penyalahgunaan kekuasaan kerap kali terjadi akibat aktor pemerintahan yang tidak memahami rencana dan sasaran kinerjanya.
Mengurai kebijakan nasional, Rencana Pemerintah Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025 (diatur dalam UU. Nomor 17 Tahun 2007) sejatinya juga telah mengunci sebuah perencanaan arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang dilakukan secara bertahap oleh seluruh elemen bangsa Indonesia.
Artinya, sejak 2005 Indonesia sudah memulai reformasi tertata dalam dirinya. Sayangnya permasalahan klasik akibat ketidaktahuan administrator. Akan arah baru reformasi dan pentingnya kedudukan perencanaan, mengakibatkan lambannya pelaksanaan reformasi birokrasi dan pencapaian tujuan birokrasi sampai saat ini.
ADVERTISEMENT
J. B. Whittaker (1993) dalam The Government Performance Result Act of 1993, mengemukakan bahwa pengukuran kinerja merupakan alat manajemen yang dipergunakan untuk menguji & meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas.Serta sebagai parameter untuk menilai pencapaian tujuan dan sasaran (goal and objectives). 
Bagaimana mencapainya? Tentunya dengan menyusun perencanaan kinerja yang dipahami oleh seluruh aktor pemerintahan dari top level sampai low level management. Sejalan dengan pemikiran Ali Farazmand (1997) dalam bukunya yang berjudul Modern System of Governments, perencanaan diibaratkan sebagai aspek fundamental awal pelaksanaan reformasi birokrasi berjalannya tata kelola pemerintahan modern.
Suka tidak suka, mau tidak mau, untuk mencapai tujuan dan sasaran birokrasi modern, perencanaan menjadi suatu keharusan agar penyelenggaraan birokrasi menjadi cepat, mudah, terjangkau, dan terukur.
ADVERTISEMENT
Kajian ilmiah terhadap reformasi birokrasi banyak sekali tersuguhkan. Namun ketertarikan terhadapnya sangat rendah. Perlu disadari bahwa ASN harus merevolusi pandangannya, melakukan mindset-shifting dari paradigma birokrasi klasik ke arah good governance.
Konstruksi semantis mengenai ‘mengenal arah baru reformasi birokrasi dan pengutamaan kedudukan perencanaan’ diharapkan menjadi tinta putih bagi para ASN dalam memperbaiki catatan hitam sejarah reformasi birokrasi di Indonesia.
(Kepala Subsi Bimkeswat Lapas IIA Sidoarjo)
(Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya)