Dibalik Proses Revisi RUU Antiterorisme

Media Center Kementerian Hukum dan HAM
Kanal Resmi Pemberitaan Unit Kerja di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dikelola oleh tim Media Center Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Konten dari Pengguna
18 Mei 2018 18:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Media Center Kementerian Hukum dan HAM tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional  Enny Nurbaningsih. (Foto: Repro Metro TV)
zoom-in-whitePerbesar
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Enny Nurbaningsih. (Foto: Repro Metro TV)
ADVERTISEMENT
Oleh: Yos
Ketua Tim Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang (RUU) Antiterorisme dari Pemerintah sekaligus Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Enny Nurbaningsih, membahas perkembangan pembahasan revisi RUU Antiterorisme bersama Ketua Panitia Kerja Tim Perumus RUU Antiterorisme sekaligus Anggota Komisi I DPR Supiadin Aries Saputra, dan Juru Bicara Polri Kombes Pol Slamet Pribadi, pada Kamis 17 Mei 2018 di studio televisi swasta Metro TV.
ADVERTISEMENT
Berikut petikannya, dipandu presenter Andini Effendi:
-Bagaimana soal pembahasan RUU Terorisme sudah solid dengan DPR? Termasuk soal definisi dan keterlibatan TNI?
Anggota Komisi I DPR Supiadin Aries Saputra:
Posisi terakhir kita (DPR-red) sudah clear dan enggak ada masalah. Soal definisi tinggal penghalusan dan pemerintah sudah sepakat, pada tanggal 23-24 Mei 2018 atau pada Rabu dan Kamis. Karena Panitia Khusus dan Panitia Kerja hanya diberikan waktu kerja hanya pada Rabu dan Kamis.
Kita sudah sepakat kalau pada tanggal 23 clear. Baru kita raker dengan pemerintah membahas konsep Revisi Undang-Undang Terorisme. Bagaimana dengan pemerintah kalau setuju, kita ketok palu. Dan kita kirim ke pimpinan DPR untuk dibahas dalam rapat bamus. Kalau di rapat bamus dihadiri seluruh fraksi setuju. Maka tinggal masuk di rapat paripurna untuk setuju disahkan menjadi undang-undang. Setelah itu, semua ada di tangan pemerintah.
ADVERTISEMENT
-Di pemerintah sendiri apa alasannya kenapa terkatung-katung begitu? Apa yang tidak disetujui?
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham Enny Nurbaningsih:
Sebetulnya tidak ada yang terkatung-katung. Saya dapat mengatakan sangat confidence sekali ini sudah 99% selesai.
-Jadi 1% nya apa?
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham Enny Nurbaningsih:
1% nya hanya definisi. Definisi itu pun tidak semuanya, hanya dua kata saja. Yaitu mengenai tujuan politik atau tujuan ideologi. Itu apakah dimasukan ke dalamnya atau harus ditempatkan ke tempat yang lain secara proposional.
Karena apa? Karena problemnya kita ini menyusun satu rumusan yang terkait dengan delik. Yaitu pemberantasan tindak pidana terorisme. Ketika kita merumuskan sebuah tindak pidana. Itu memang azas yang harus kita pegang teguh adalah azas lex praevia, azas lex certa, azas lex scripta, dan azas lex stricta. Kalau azas legalitas tidak kita pegang teguh dalam perumusan, bahaya sekali.
ADVERTISEMENT
Sehingga kita merumuskannya dengan saat hati-hati. Tiga komponen penting kita rumuskan, yaitu soal pencegahan, soal penindakan, dan soal perlindungan terhadap korban tindak pidana terorisme. Itu sudah utuh semua kita bahas, tinggal kemudian kita menengok terhadap definisi. Sebetulnya definisi pernah kita bahas pada tahap awal. Tapi pada tahap awal pembahasan itu, kami mengatakan kalau kita berkutat definisi tidak akan menyelesaikan persoalan besar kita kenapa perlu merevisi UU Terorisme.
-Sementara dari tim Panja Pemerintah inginnya soal definisi terorisme lebih general ? Atau bagaimana?
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham Enny Nurbaningsih:
Jadi definisi (Terorisme-red) itu kan harus kita pikirkan. Karena ini bukan definisi stipulatif sekedar mencari padanan kata baru. Ini definisi ilmiah yang sifatnya formal. Definisi ilmiah formal itu, kita harus menentukan apa itu definisi terorisme. Karena kita sudah mencoba melihat ada 212 definisi terorisme yang ada. Belum lagi definisi yang dibuat oleh sekian banyak ahli. Apa sih sebetulnya yang tepat definsinya terorisme yang dapat meng-cover semuanya.
ADVERTISEMENT
Problemnya adalah ini yang menggunakan bukanlah kami (Kemenkumham-red). Tetapi usernya adalah aparat penegak hukum. Kalau aparat penegak hukumnya merasa kesulitan dalam mengimplementasikan UU Terorisme ini. Kita yang akan repot. Jadi gunanya Undang-Undang ini yang pasal-pasal lainnya sudah bagus tidak bisa digunakan.
-Jadi bisa lebih sempit?
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham Enny Nurbaningsih:
Jadi bisa mempersempit, juga bisa tidak mengefektifkan.
Anggota Komisi I DPR Supiadin Aries Saputra:
Di samping itu jangan sampai definisi terorisme itu mengarah kepada sekelompok orang. Ini penting. Jadi siapa pun nanti yang masuk dalam kriteria definisi terorisme. Dia adalah teroris. Jadi bukan semua orang masuk definisme terorisme itu ditangkap. Itu tidak bisa. Ini yang kita jaga. Jadi penting definisi terorisme itu.
ADVERTISEMENT
-Jadi seberapa penting definis terorisme dijabarkan dalam UU Terorisme bagi Polri yang bekerja di lapangan?
Kombes Pol Slamet Pribadi:
Selama ini perbuatan perencanaan dan perbuatan persiapan (Tindak Pidana Terorisme-red) itu tidak dinilai sebagai sebuah delik. Kita berharap bahwa perencanaan dan persiapan itu menjadi delik atau perbuatan pidana yang sempurna. Karena apa? Karena ketika dianggap sebagai perbuatan yang sempurna sebagai perbuatan pidana, ada kesengajaan di situ sebagaimana dimaksud, kesengajaan sebagaimana kemungkinan, maupun kesengajaan sebagai kepastian.
Selama ini perencanaan persiapan belum masuk ke dalam delik kejahatan terorisme. Sehingga ketika kita melihat seseorang orang yang sedang merencanakan dan ketika kita melihat orang sedang latihan. Itu kita bisa melihat itu latihan teroris, pramuka, atau oh ini TNI yang sedang latihan.
ADVERTISEMENT
-Di dalam RUU Terorisme apakah jelas pembagian tugas aparat hukum?
Anggota Komisi I DPR Supiadin Aries Saputra:
Keterlibatan semua pihak itu sangat jelas dan terukur, tidak asal terlibat. Contoh, misalnya kita akan melibatkan TNI. Itu tidak secara teknis diatur di undang-undang ini. Itu hanya disebutkan umum, bahwa TNI dilibatkan. Lalu bagaimana bentuk-bentuk dilibatkannya? Nanti dikeluarkan dalam keputusan politik dalam bentuk Perpres, di situlah diatur mengacu kepada pasal 7 ayat 2 b Undang-Undang TNI Nomor 34 tahun 2004.
Jadi di situlah keluar Perpres TNI itu terlibatnya apa saja. Tidak diatur di sini (UU Terorisme-red). Sama dengan nanti hal-hal teknis secara umum misalnya tentang Polri. Itu kalau diperlukan Pemerintah akan mengeluarkan PP. PP itulah yang mengatur hal-hal teknis rinci yang tidak diatur dalam Undang-Undang secara general. Jadi tidak akan ada tumpang tindih.
ADVERTISEMENT
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham Enny Nurbaningsih:
Saya menambahkan, ini perlu diluruskan juga. Karena orang akan khawatir sekali akan ada pencampur adukan atau kemudian akan ada tumpang tindih TNI dilibatkan. Padahal sama sekali tidak ada tumpang tindih. Karena di dalam Undang-Undang TNI sendiri tanpa ada UU Terorisme ini pun, sudah ada yang namanya operasi militer selain perang di pasal 7 ayat 2 huruf b. Dan itu salah satunya adalah mengatasi aksi terorisme.
Kemudian bagaimana melaksanankan mengatasi aksi terorisme itu? Diatur lebih lanjut dalam ayat 3, dengan keputusan kebijakan politik negara. Problem dihadapi rekan-rekan TNI bagaimana mengejewantahkan itu? Karena tidak jelas bentuk hukumnya apa.
Nah, disinilah kemudian membutuhkan sebenarnya bridging-nya. Karena tidak mungkin mengubah Undang-Undang TNI. Kecuali ada kemauan untuk mengubah Undang-Undang itu. Dan itu lain cerita. Tidak mungkin mengubah itu.
ADVERTISEMENT
Sehingga diberikan bridging-nya, toh sama-sama ini ada aspek terorisme yang perlu dipikirkan bersama. Bridging ini kemudian diputuskan secara politik dalam wadah Perpres. Hanya Perpres ini adalah Perpres yang spesial. Artinya dalam proses pembentukannya juga dibahas bersama DPR. Dan karena itu kebijakan politiknya.
-Ada hal yang perlu dijelaskan dengan Kepolisian pembagian tugas dengan BNPT?
Kombes Pol Slamet Pribadi:
Perlu disampaikan kepada masyarakat, bahwa Polisi dan TNI itu memiliki kemampuan teknis dan taktis yang luar biasa. Jangan sampai energi keduanya ini tidak disatukan untukmenghadapi bahaya negara. Tapi ada hal lain soal strategis, teroris ini ada hal yang bersifat internasional, bersifat global.
Tapi dibalik itu semua ada hal-hal yang bersifat yuridis menyangkut dengan pembuktian. Maka perlu ada payung hukum bagaimana keterlibatan TNI, ketika mem-back up Polri menghadapi teroris yang ujungnya adalah pengadilan.
ADVERTISEMENT
Ada taktis teknis diatur, yuridis sudah ada diatur. Semuanya harus masuk kedalam Rancangan Undang-Undang Terorisme yang baru itu.
Anggota Komisi I DPR Supiadin Aries Saputra:
Dan catatannya adalah keterlibatan TNI hanya dalam konteks pencegahan dan penindakan. Tidak masuk ke dalam ranah hukum. Jadi begini, sebagai contoh kasus Santoso. Densus menangkap Santoso dan dapat. Santoso mati dan istrinya hidup. Setelah itu yang memeriksa siapa Santoso dan istrinya bukan lagi tugas densus.
Kombes Pol Slamet Pribadi:
Betul, ada taktis, teknis, dan yuridis ada aturannya.
-Kemudian penguatan peran BNPT dalam Undang-Undang Terorisme ini nanti bagaimana?
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham Enny Nurbaningsih:
Jadi begini, selama ini dengan Perpres BNPT. Problemnya adalah kita ingin menciptakan satu sistem pencegahan yang bagus. Mulai dari kontra Deradikalisasi, termasuk Deradikalisasi.
ADVERTISEMENT
Deradikalisasi jangan diujung sekarang setelah tersangka teroris keluar. Sekarang kita buat dalam satu konsep yang utuh mulai dari menjadi tersangka, kemudian assesment, jelas ini leveling terpapar sebagai apa, kemudian diberikan program Deradikalisasi yang continuing-nya tinggi sekali.
Kemudian ini memerlukan satu koordinasi yang sangat kuat. Oleh karena itulah dibutuhkan BNPT di dalamnya, yang melibatkan mulai dari Kepolisian,TNI, Kementerian/Lembaga, termasuk dari pendidikan agama dan semuanya ada di situ, dan tokoh masyarakat.