Orang Kristen dan Pekerja Rumah Tangga

Meicky Shoreamanis Panggabean
Teacher-educator, penulis biografi Munir dan Basuki Tjahaja Purnama.
Konten dari Pengguna
28 Juni 2020 19:25 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Meicky Shoreamanis Panggabean tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Memasak Jamur Foto: Shutterstock/Prarinya
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Memasak Jamur Foto: Shutterstock/Prarinya
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebagian orang Kristen, untuk menghemat kata selanjutnya akan disebut ‘kita’, memiliki pembantu dan atau sopir. Mari kita telusuri bagaimana sebagian dari kita biasanya memperlakukan ‘Pekerja Rumah Tangga’ (PRT).
ADVERTISEMENT
Mungkin kita familiar dengan kalimat sejenis ini,“Pembantu saya gajinya setengah gaji pembantumu, itu aja dia sudah betah kok” atau ”PRT saya sudah kerja dengan saya 20 tahun lho, anaknya sekarang jadi baby sitter-nya cucu saya.”
Kejadian 1:27 mengungkapkan bahwa kita adalah Imago Dei. Kita diciptakan segambar dan serupa dengan Allah. Dalam Perjanjian Baru, bertebaran cerita bahwa Yesus membuat murid-Nya dari takut jadi berani dan dari tak sanggup menjadi mampu.
Kesimpulannya, jika kita segambar dan serupa dengan Dia maka kita adalah juga sosok seperti Dia, gemar menguatkan dan memampukan sesama. Aplikasinya terhadap PRT bagaimana?
Jika punya rezeki lebih, kita akan biayai sekolah PRT atau anak PRT kita sehingga siklus kemiskinan suatu saat terputus.
ADVERTISEMENT
Jika punya restoran, kita akan minta koki kita mengajarkan si PRT memasak makanan enak sehingga dia bisa merintis usaha kuliner.
Jika sopir kita jago mekanik, kita bisa bantu dia buat video tutorial dan ajarkan cara menaruhnya di Youtube. Siapa tahu kelak dia dapat uang dari Ad Sense.
Kita seharusnya punya naluri untuk memberdayakan, bukan memperdaya. Namun, banyak dari kita yang bangga saat PRT kita rela digaji rendah atau jika mereka turun-temurun kerja dengan kita.
Biasanya mereka loyal karena stagnan, keterampilannya tidak bertambah, jadi mereka kesulitan cari penghidupan yang lebih baik.
Kalau kita telah menguatkan, memampukan, atau memberdayakan mereka, lalu mereka sudah maju tapi tetap setia jadi PRT, itu tentu lain cerita.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun, ada dari kita yang kondisi ekonominya agak pas-pasan tapi punya PRT. Kita belum mampu mengangkat perekonomian mereka. Solusinya adalah Ora et Labora.
Berdoa dan berusahalah agar suatu saat kita dapat menolong. Mungkin sekarang kita belum sanggup tapi pasti tetap ada celah bagi kita untuk menjadi majikan dengan kualitas di atas rata-rata.
***
Mari kembali kepada Kejadian 1:27. Hal yang mungkin kita sering lupa adalah ayat ini tidak membuat pengecualian. Artinya PRT kita pun Imago Dei, apa pun agama mereka.
Kesadaran bahwa mereka adalah Imago Dei akan membuat kita memperlakukan mereka dengan baik. Secara naluri kita akan memberi mereka obat ketika mereka sakit, resah saat melihat kamar mereka pengap, dan memberi mereka waktu istirahat bahkan hari libur.
ADVERTISEMENT
Yesus adalah Sosok yang holistik: Ia mengasihi jiwa yang terhilang dan juga memperhatikan tubuh. Buktinya, Dia memanggil seorang anak untuk membagikan roti dan ikannya kepada mereka yang kelaparan.
Bagaimana jika naluri kita macet? Kita bukan hanya orang Kristen melainkan juga warga negara Indonesia. Pembantu presiden sudah memiliki regulasi tentang hal ini.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga menyatakan bahwa PRT punya hak untuk:
a. memperoleh informasi mengenai Pengguna;
b. mendapatkan perlakuan yang baik dari Pengguna dan anggota keluarganya;
c. mendapatkan upah sesuai Perjanjian Kerja;
d. mendapatkan makanan dan minuman yang sehat;
e. mendapatkan waktu istirahat yang cukup;
f. mendapatkan hak cuti sesuai dengan kesepakatan;
ADVERTISEMENT
g. mendapatkan kesempatan melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;
h. mendapatkan tunjangan hari raya (THR) dan
i. berkomunikasi dengan keluarganya.
Menarik bukan peraturan di atas? Semoga kita tak lupa membelikan sajadah dan mukena untuk PRT kita jika agama mereka Islam.
Mudah-mudahan jika mereka Hindu, kita tak melarang mereka untuk menyendiri di kamar saat Nyepi.
Semoga saat di restoran, kita juga menawari mereka makanan. Jadi, mereka tidak melamun merenungi nasib ketika kita asyik mengunyah. Pasti pernah ‘kan lihat pemandangan menyedihkan seperti ini?
Rangkuman dan substansi Peraturan Menteri tersebut bisa ditemukan dalam Kolose 4:1,”Tuan-tuan, perlakukanlah budak-budakmu dengan benar dan adil karena kamu tahu bahwa kamu juga mempunyai Tuan di surga.”
ADVERTISEMENT
Cara memperlakukan PRT seperti yang digariskan Alkitab dan Peraturan Menteri di atas jika dilakukan beramai-ramai secara kontinu akan membawa perubahan signifikan yang positif.
Sayang, hal semacam ini nyaris tak pernah disampaikan dari mimbar.
Gereja biasanya fokus pada Pekabaran Injil. Amanat Agung tentu lebih besar daripada program sosial. Bagaimanapun, Kejadian 1:28 mengajak kita untuk memenuhi Mandat Budaya: Kita harus secara maksimal mengelola, bukan mengeksploitasi, bumi beserta isinya.
Mandat ini membuat orang Kristen jadi tak asing dari masalah yang ada di ruang publik.
Rick Warren, penulis best-seller New York Times dan pendeta lulusan program doktoral Fuller Theological Seminary, mengatakan bahwa kita sebaiknya tidak memisahkan urusan keselamatan pribadi dari Mandat Budaya karena Injil mencakup keduanya.
ADVERTISEMENT
Kita diperintahkan untuk membuat kota tempat kita tinggal menjadi sejahtera (Yeremia 29:7). Mengentaskan kemiskinan di lingkup terkecil sepertinya adalah cara efektif bagi kita untuk menjadi solusi atas masalah makro yang ada di sekitar kita.
Sebagai warga negara, kita bisa mendesak pemerintah untuk menjabarkan solusi mereka terkait beberapa masalah negara, termasuk kemiskinan. Kita juga berhak meminta mereka mengeksekusi program-program itu.
Bagaimanapun, melakukan pengentasan kemiskinan di tataran personal menunjukkan bahwa kita bukan hanya sibuk meminta jalan keluar. Kita menunjukkan bahwa kita juga berupaya menjadi jalan keluar itu sendiri walau, tentu saja, dalam skala yang amat berbeda.
Hmmm…Mungkin ini yang disebut dengan ‘menjadi garam dunia’ ?
*www.gurupenulis.weebly.com
ADVERTISEMENT