Transisi Mental dalam Masa Pandemi:Bagaimana Agar Kita Produktif?

Meicky Shoreamanis Panggabean
Penulis biografi Munir dan Basuki Tjahaja Purnama.
Konten dari Pengguna
22 Maret 2020 11:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Meicky Shoreamanis Panggabean tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Transisi Mental dalam Masa Pandemi:Bagaimana Agar Kita  Produktif?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
World Health Organization (WHO) pada 13 Maret 2020 menyatakan Coronavirus sebagai pandemi. Ilmuwan Inggris, Dr. Robin Shattock, dan koleganya pada Februari 2020 sudah melakukan tes pada hewan. Diperkirakan dalam beberapa bulan ke depan vaksin sudah bisa ditemukan. Adapun Moderna, perusahaan bioteknologi di Amerika, sesegara mungkin akan melakukan uji coba langsung kepada manusia.
ADVERTISEMENT
Usaha untuk menemukan vaksin beriringan dengan upaya memperlambat penyebaran virus. Cara dengan dampak buruk paling sedikit terhadap ekonomi global adalah melakukan social distancing dan melakukan lockdown di tataran pribadi: Hanya berkegiatan di luar rumah saat terpaksa.
Efeknya, perusahaan dan lembaga pendidikan jadi mewajibkan kita untuk bekerja dari rumah dan murid-murid melakukan online learning.
Biasanya, bekerja dari rumah dilakukan secara paruh waktu dan relasi yang terjalin berbasis sementara seperti guru les dengan murid. Karyawan penuh waktu yang bekerja dengan ekspektasi yang relatif baku, sebagian besar baru kali ini mengalami kerja (hampir) 100% dari rumah.
Pertanyaannya, bagaimana agar karyawan, selanjutnya akan disebut ‘kita’, bisa produktif saat bekerja dikelilingi keluarga, dekat dengan tempat tidur serta meja makan?
ADVERTISEMENT
Bagi kita yang punya kecenderungan depresi namun bekerja di lingkungan yang suportif, bekerja dari rumah bisa memperparah kondisi. Sedangkan jika kita terbiasa ke kantor, bepergian, dan bersifat ekstrovert, kerja di rumah berpotensi melahirkan stress.
Maka, moda kerja sebaiknya tak hanya menggunakan email atau platform semacam WhatsApp. Tatap muka lewat video-conferencing sebaiknya juga dilakukan karena bisa mengurangi rasa terisolasi. Ini terutama penting untuk orang ekstrovert karena mereka memperoleh tenaga dari berinteraksi dengan sesama.
Tetap berkomunikasi akan menjauhkan kita dari rasa terasing. Buffer adalah nama tim yang membantu berbagai perusahaan membangun brand image. Tahun 2019, Buffer mengadakan riset yang melibatkan 2500 responden pekerja online. Hasilnya, 19% responden merasa terisolasi dan ini menurunkan produktivitas kerja.
ADVERTISEMENT
Jadi, stres dan perasaan terisolasi sangat mungkin akan kita hadapi setelah beberapa waktu bekerja dari rumah sudah. Persiapkanlah mental dan strategi dari sekarang.
Problem lain adalah bekerja dari rumah akan membuat situasi jadi cair, kita bisa mengetik dan berhenti untuk masak, misalnya. Oleh karena itu diperlukan tempat kerja permanen untuk memudahkan kita melakukan transisi mental dari rumah ke kantor.
Tempat ini bisa saja hanya sebuah sudut dengan meja dan kursi. Jika kita duduk di situ berarti kita sedang bekerja. Sudut ini menciptakan batasan mental antara wilayah profesional dan pribadi.
Riset Cardiff University dengan 15 ribu responden pada 2017 menunjukkan bahwa karyawan yang bekerja di dari rumah cenderung bekerja lebih lama dibandingkan ketika di kantor. Ini terjadi karena mereka gagal melakukan transisi mental dari kantor ke ke rumah.
ADVERTISEMENT
Masalah lain adalah kecenderungan kita untuk mengonsumsi banyak karbohidrat dan gula. Kita akan menghampiri teman waktu bosan di kantor namun di rumah yang kita hampiri adalah kulkas. Naluri ini perlu dikelola karena konsumsi berlebih akan dua hal di atas membuat kita mengantuk.
Efek lain dari bekerja dari rumah adalah kita merasa harus tampil ‘seolah-olah’ produktif. Kita jadi ingin cepat-cepat membalas pesan yang masuk agar terkesan rajin. Padahal, sering mencek email serta WhatsApp, selain terus terhubung dengan akun pribadi di sosial media, membuat kita jadi kurang fokus saat bekerja.
Teknik Pomodoro bisa dilakukan untuk mempermudah kita fokus kerja. Silahkan googling sendiri dan gunakan juga Tomato Timer. Adapun tips lain untuk bisa produktif, yang mungkin terkesan naif karena para pekerja sudah dewasa, adalah menyusun jadwal dengan ketat. Penulis menyusunnya dengan cukup detil yaitu jam demi jam.
ADVERTISEMENT
Pada praktiknya, penulis tidak mengikuti jadwal itu secara kaku namun berhasil menyelesaikan minimal 80% yang sudah ditulis walau pada jam yang berbeda. Membuat jadwal adalah mekanisme kontrol internal. Katanya sudah gede, masa’ mengikuti jadwal aja gagal, sih?
Jika pembaca sudah punya anak, kita bisa menunjukkan jadwal itu kepada mereka. Kalau kita malas-malasan, kita jadi sulit menyuruh mereka belajar karena pasti akan ditanggapi,”Papa/Mama memangnya kerja???” Ini termasuk mekanisme kontrol internal juga.
Lepas dari beberapa masalah yang potensial timbul dari implementasi kerja di rumah, metode ini mendatangkan banyak benefit. Laju penyebaran virus relatif jadi lebih lambat. Hidup bisa lebih seimbang, terhindar dari kemacetan, frekwensi mengalami politik kantor berkurang, dan uang transport bisa dihemat. Bekerja sendirian juga kerap membuat tugas lebih cepat selesai.
ADVERTISEMENT
Sebagian ada yang berpikir untuk sesekali bekerja di kafe. Ini tentu tak disarankan karena kita diwajibkan bekerja dari rumah untuk memperlambat laju penularan Coronavirus, bukan karena perusahaan ingin menghemat biaya operasional.
*www.gurupenulis.weebly.com