Izinkan Anakmu Kembali ke Sekolah

Meirani
Diplomom of two - Full Time Wonder Woman, Halftime Wander Woman - Alumni of University of Indonesia (Political Sciences), and University of Melbourne (IR)
Konten dari Pengguna
17 Mei 2022 17:12 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Meirani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Instruksi pemerintah untuk pelaksanaan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) menuai banyak penolakan dari orang tua yang masih mengkhawatirkan kesehatan anak-anaknya (dokumentasi pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Instruksi pemerintah untuk pelaksanaan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) menuai banyak penolakan dari orang tua yang masih mengkhawatirkan kesehatan anak-anaknya (dokumentasi pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dengan semakin menurunnya angka penambahan kasus infeksi virus COVID-19 merata di seluruh Indonesia, pemerintah telah menginstruksikan agar sekolah kembali dibuka untuk pembelajaran langsung atau yang dikenal dengan Pembelajaran Tatap Muka (PTM). Tidak tanggung-tanggung, PTM diharapkan dapat dilakukan secara penuh atau 100%. Bahkan tidak hanya kelas yang dibuka, aktivitas pendukung kegiatan sekolah seperti kantin dan kegiatan ektrakurikuler pun diijinkan untuk kembali dijalankan.
ADVERTISEMENT
Perkembangan baru terkait PTM ini sontak membuat ramai grup Whatsapp (WAG) orang tua murid. Saya, Ibu dengan dua anak usia sekolah, dibuat kewalahan dengan ramai saling sahut tanggapan di dua WAG yang berbeda. Sekalipun seperti biasa, saya hanya menjadi penghuni gelap tetap di hampir semua WAG yang saya punya, hanya menyimak, jarang sekali turut bersuara. Dari apa yang saya simak, mengerucut pada satu benang merah yakni orang tua yang masih berat melepaskan anaknya untuk PTM di sekolah dengan beragam alasan, mulai dari sudah nyaman dengan kebiasaan sekolah di rumah, atau yang lebih umum karena khawatir akan kesehatan anak-anak.
Munculnya kasus hepatitis akut yang secara misterius menjangkiti anak-anak dalam beberapa waktu belakangan ini membuat orang tua khawatir akan merebaknya wabah baru. Musim pancaroba tahun ini juga membuat anomali kenaikan suhu harian yang cukup tinggi, ditengarai akan memunculkan banyak penyakit musiman seperti batuk, pilek bahkan demam berdarah. Terlebih awam diketahui bahwa pandemi COVID-19 belum sepenuhnya usai. Mana tahu akan muncul lagi gelombang ketiga, empat dan seterusnya. Artinya, mengirim kembali akan ke sekolah, sama artinya mengirim anak ke medan resiko yang mengancam kesehatan bahkan tidak mustahil berakibat fatal yang mengancam jiwa. Sungguh resiko yang tidak satu orang tua pun sanggup menempuhinya.
ADVERTISEMENT
Namun, akan sampai kapan anak-anak kita dibiarkan belajar secara jarak jauh? dibatasi oleh tembok di ruang pikir dan imaginasi sendiri dengan mata terpaku pada layar gawai dan fisik yang minim terolah berjam-jam berhari-hari. Terlebih untuk anak-anak perkotaan yang tidak sedikit sudah melewati pembelajaran jarak jauh lebih dari dua tahun, terhitung sejak awal pandemi pada Maret 2020 silam. Apakah kekhawatiran akan resiko kesehatan pada anak tidak bisa ditawar dengan mempertimbangkan dampak negatif jangka panjang yang akan dialami anak-anak akibat terlalu lama menjalani sekolah secara daring?

Ancaman Unfinished Learning pada Masa Depan Anak

Betul bahwa pandemi secara positif telah mentransformasikan sistem pendidikan dengan mengawinkan teknologi dan pembelajaran secara revolusioner. Masyarakat secara luas, tidak hanya guru dan murid tapi termasuk orang tua dan unsur pendukung pendidikan lainnya, dipaksa untuk melek teknologi dalam waktu singkat. Berbagai inovasi pun bermunculan untuk memastikan transfer pengetahuan dihadapkan menjadi lebih mudah dan tepat sasaran. Namun, perlu diingat bahwa tranformasi pendidikan masa pandemi dibangun diatas penyangga yang rapuh, bahkan bisa dibilang minim pondasi. Perubahan serta merta dalam waktu singkat, membuat nilai manfaat tidak sebanding dengan ‘keterkejutan teknologi’ yang sebagian besar masyarakat belum siap.
ADVERTISEMENT
Hasil studi dari McKinsey & Company mengenai dampak pandemi COVID-19 pada pendidikan anak usia sekolah (hingga SMA) di Amerika Serikat menunjukkan adanya indikasi "pembelajaran yang tidak tuntas" (unfinished learning). Kondisi tersebut memberi dampak jangka panjang yang tidak terbayangkan sebelumnya. Bahwa metode pembelajaran pada periode pandemi ini tidak sesederhana menurunnya kualitas keilmuan yang diperoleh siswa, tapi lebih jauh dapat berdampak buruk pada menurunnya penghasilan yang diperoleh anak setelah nanti mereka memasuki usia bekerja, bahkan pada akhirnya berdampak buruk pada ekonomi nasional. Analisa McKinsey & Company mengindikasikan bahwa akibat unfinished learning ini, siswa dengan metode sekolah masa pandemi akan mendapatkan penghasilan USD 49,000 sampai USD 61,000 lebih sedikit. Dampak pada ekonomi AS dapat mencapai penurunan total USD 128 miliar sampai dengan USD 188 miliar setiap tahun akibat para siswa tersebut memasuki pasar tenaga kerja.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut dijelaskan bahwa metode pendidikan daring selama pandemi, secara umum telah mengakibatkan para siswa tidak berkesempatan untuk menyelesaikan pembelajaran yang harusnya dituntaskan pada metode pembelajaran konvensional sebelum pandemi. Terlebih pada siswa yang terkendala sama sekali untuk mengikuti pembelajaran secara penuh akibat fasilitas gawai dan jaringan internet yang kurang mendukung. Pada kondisi terakhir ini, siswa tidak hanya tertinggal pelajaran, namun lebih dari itu kehilangan pengetahuan dan keterampilan. Secara umum, para siswa mendapatkan pelajaran jauh lebih sedikit ketimbang tahun pembelajaran normal biasanya. Siswa yang dinyatakan naik kelas tanpa mendapatkan kesiapan pengetahuan dan keterampilan yang memadai sesuai dengan level kompetensi yang seharusnya akan menghadapi hambatan kunci pengetahuan (key blocks of knowledge) yang diperlukan mereka untuk berhasil. Kondisi akan lebih buruk dialami oleh mereka yang lulus sekolah tanpa pengetahuan, keterampilan, sikap, dan pola pikir yang memadai untuk ke jenjang yang lebih tinggi, terlebih untuk menjadi seorang pekerja dikemudian hari.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang Ibu, tentu saya mengkhawatirkan kesehatan anak-anak saya saat mengirim kembali mereka ke sekolah. Namun, kekhawatiran itu tidak sebanding dengan was-was saya akan anak-anak yang berpotensi menjadi generasi yang tidak siap secara keilmuan, keterampilan, sikap dan pola pikir untuk menyongsong masa depan jika terlalu lama bersekolah secara daring. Kekhawatiran yang baru muncul ketika kami kembali ke Indonesia yang ternyata memberlakukan pembatasan sosial yang terbilang sangat ketat dibandingkan dengan kota tempat kami tinggal sebelumnya.
Sebelumnya kami bermukim di Kyiv, ibu kota Ukraina. Negara yang saat ini dikecamuk perang dengan Rusia. Tapi saya tidak akan bicara ke arah sana. Di Kyiv, selama periode pandemi, hanya 3 (tiga) bulan pertama saja (Maret-Mei 2020) sekolah memberlakukan metode daring penuh (full online). Selanjutnya, sejak dimulainya tahun ajaran baru (September 2020) sampai pada akhirnya kami kembali ke Indonesia (Juli 2021), sekolah-sekolah sudah dilakukan secara tatap muka. Pertimbangan pemerintah ketika itu salah satunya bahwa pendidikan tatap muka lebih efektif untuk proses pembelajaran dan anak-anak tergolong kelompok beresiko rendah. Sekalipun tentu saja pada kondisi-kondisi tertentu pelaksanaan sekolah daring terpaksa kembali dilakukan. Terutama apabila terdapat anak yang dinyatakan terjangkit virus COVID-19, sehingga seluruh kelas yang bersangkutan kembali ke metode daring untuk beberapa waktu, untuk kemudian kembali tatap muka. Ketika itu, anak-anak hampir menjalani rutinitas normal dan mereka berkembang wajar seperti sebelum pandemi.
ADVERTISEMENT
Setelah kami kembali ke Indonesia, dan selama menjalani work from home (WFH) saya banyak mengamati perkembangan anak-anak saya yang selama kurang lebih 9 (sembilan) bulan terakhir hampir sepenuhnya mengikuti pembelajaran dengan metode daring. Sekalipun tidak dapat menjadi contoh yang sempurna, karena mereka terhitung sebagai murid baru di sekolah, namun satu hal menonjol yang kiranya dapat saya catat adalah bahwa indikasi unfinished learning yang disebutkan di atas tadi sungguh benar adanya. Anak-anak memiliki pemahaman yang tidak utuh atas materi pelajaran yang disampaikan. Para murid cepat diasumsikan telah memahami pelajaran dengan ukuran telah mampu menyelesaikan tugas dan pekerjaan rumah dengan benar, atau hasil ujian yang memuaskan. Padahal selesainya tugas dan nilai yang bagus dapat saja atas bantuan orang tua, atau semudah mencari solusi dan jawaban yang tersedia di mesin pencari. Entah di sekolah lain, namun di sekolah anak-anak saya, para gurunya sendiri mengakui bahwa dengan metode pembelajaran yang berlaku saat ini, pihak sekolah harus menurunkan standar penilaian karena diakui kualitas penerimaan pembelajaran oleh anak tidak sama dengan metode konvensional sebelumnya.
ADVERTISEMENT

Pentingnya Keterampilan Sosial

Belum lagi jika bicara soal keterampilan, baik fisik, mental dan sosial. Keterampilan yang seharusnya berkembang melalui proses latihan terus menerus, bermain, komunikasi, dan interaksi yang berkurang drastis selama metode daring. Menurut Dr. Deborah Philips, seorang Psikolog Pertumbuhan Anak dari Georgetown University mengatakan bahwa kemampuan sosial pada anak akan membentuk pondasi untuk semua jenis pembelajaran. Beberapa keterampilan penting antara lain kemmpuan untuk memahami emosi diri, berempati dengan orang lain, mengambil keputusan, mengatasi tantangan, mengembangkan hubungan, dan bertanggung jawab atas kesalahan. Menghabiskan waktu dengan teman-teman merupakan cara anak untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan tersebut. Hal ini akan berdampak pada kesehatan fisik dan mental sepanjang hidupnya. Sekalipun interaksi tetap dapat dilakukan secara daring namun interaksi fisik secara langsung tentu memiliki keunggulan manfaat yang lebih. Saya ingin juga berbicara soal dampak kesehatan pada anak. Persoalan mata lelah, postur tubuh yang terganggu karena terlalu lama berhadapan dengan layar gawai dan pada posisi duduk yang sama berjam-jam. Sedikit dari banyak persoalan kesehatan yang umum dihadapi anak-anak saat ini.
Dengan mengikuti anjuran pemerintah, PTM dapat membantu mengembalikan kualitas pembelajaran anak (doc. pribadi)
Untuk itulah, anjuran pemerintah untuk kembali membuka sekolah untuk PTM kiranya mendapatkan dukungan orang tua dengan mengizinkan anak-anak kembali ke sekolah. Tentu kita tidak abai dengan kenyataan bahwa ancaman pandemi dan persoalan kesehatan lainnya masih di depan mata. Namun, dengan mengikuti arahan pemerintah, dimana semua unsur sekolah sudah divaksinasi, memperhatikan protokol kesehatan, dan menyediakan fasilitas penunjang kesehatan yang memadai, kiranya kekhawatiran akan resiko kesehatan anak dapat diredakan. Pengecualian tentu saja pada mereka yang memang memiliki resiko kesehatan yang lebih tinggi, seperti anak atau anggota keluarga dengan komorbid dapat melanjutkan pembelajaran jarak jauh. Situasi saat ini memang memberikan pilihan yang sulit untuk banyak pihak di banyak lini, namun memastikan ketercukupan bekal anak-anak untuk masa depan mereka yang panjang adalah langkah sulit yang harus diambil untuk kita menjadi semakin kuat dan tidak tunduk pada pandemi.
ADVERTISEMENT