Psikologi di Balik Rivalitas: Fans Bola, Bubur Ayam, dan Pendukung Capres, Sama!

Mely Santoso
Savvy science reader.
Konten dari Pengguna
21 Februari 2020 6:37 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mely Santoso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Photo by who?du!nelson on Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Photo by who?du!nelson on Unsplash
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ada fenomena yang terus berulang dan sepertinya tidak akan pernah hilang; Fans olah raga (sepak bola khususnya) yang rusuh.
ADVERTISEMENT
Blitar menjadi kota biru hijau beberapa hari yang lalu. Seperti yang telah banyak diberitakan, bentrok antara fans dua klub besar di Jawa Timur tak bisa dihindarkan dan merugikan banyak orang. Aremania dan Bonek, yang masing-masing adalah sebutan untuk fans Arema dan Persebaya, sudah terkenal selalu “siaga senjata” saat kedua tim tersebut bertemu.
Dari insiden tersebut setidaknya dilaporkan bahwa beberapa kendaraan roda dua dan satu unit mobil dirusak, bahkan beberapa dibakar oleh massa. Berita terakhir menyebutkan ada tujuh kendaraan roda dua yang dibakar. Sampai hari Rabu (19/02/2020), pihak berwenang belum bisa memastikan seberapa banyak korban terluka dan kerugian yang disebabkan peristiwa tersebut karena masih dilakukan pendataan.
Menurut sejarah, bukan hanya Blitar yang jadi keganasan suporter Arema dan Persebaya. Sederet peristiwa bentrok antar dua fans fanatik ini setidaknya telah beberapa kali terjadi di luar kota masing-masing klub berasal. Sragen dan Gresik adalah dua kota yang menjadi saksi ricuh dua suporter yang bahkan menelan korban nyawa.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya Bonek dan Aremania sebenarnya, fenomena serupa juga terjadi pada fans Persib Bandung dengan Persija Jakarta. Bukan fakta baru jika Bobotoh dan The Jak merupakan seteru abadi. Setidaknya, masing-masing fans dari empat klub sepak bola yang telah disebutkan, adalah yang paling ramai dibicarakan ketika menyangkut rivalitas di luar lapangan.
Bentrok antara suporter seperti ini tentu tidak hanya terjadi di dalam negeri. Di luar negeri, sejarah kelam ricuh antar suporter sepak bola pernah terjadi pada tahun 1985, tepatnya pada tanggal 19 Mei. Saat itu, Liverpool bertemu dengan Juventus di final Piala Champions (Sekarang Liga Champions) yang diselenggarakan di stadion Heysel, Brussels, Belgia. Fans kedua belah tim sudah dalam keadaan panas bahkan sebelum pertandingan dimulai. Tidak hanya saling lempar cacian, para pendukung kedua tim juga dikabarkan melemparkan batu. Suporter Juventus kalah jumlah dalam kejadian tersebut dan terdorong oleh fans Liverpool yang menggila. Namun sayang, fans Juventus terhalang tembok yang telah rapuh dimakan usia. Tembok rapuh itu roboh dan 39 orang dikabarkan meninggal dunia dari kejadian kelam tersebut.
ADVERTISEMENT
Banyak teori di luar sana yang mengulas tentang sejarah rivalitas fans tim sepak bola Indonesia (Baik Persebaya dan Arema atau Persija dengan Persib).
Namun dalam kasus ini, Aremania dan Persebaya hanyalah pengantar. Yang menjadi pertanyaan utama adalah, bagaimana para fans ini lahir? Maksudnya, mengapa bahkan fans-fans sampai bertindak agresif dan melakukan kekerasan? Mengapa para orang-orang ini menyebut diri mereka “Aremania”, atau “Bonek” dan berpegang teguh dengan itu? Mengapa orang berkonflik?
Jawaban dari pertanyaan ini juga semoga akan memudahkan kita memahami dalam hal lain seperti politik, agama, bahkan musik, tentang bagaimana manusia terpolarisasi.
Tidak ada cara yang lebih baik untuk memahami sesuatu selain dengan bercerita. Jadi, jangan berpaling ke Instagram atau Twitter dulu, karena kita akan kembali ke masa lalu.
ADVERTISEMENT
Hal-hal receh pun dapat menjadikan manusia tergabung dalam sebuah kelompok
Pada tahun 1930 atau 1940an, pemuda bernama Henri Tajfel, seorang Yahudi Polandia, pindah dari Polandia ke Prancis. Alasan Tajfel pindah adalah karena identitasnya yang merupakan seorang Yahudi. Di Polandia pada saat itu, seorang Yahudi tidak dapat meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena satu dan lain alasan.
Di Prancis, Tajfel awalnya mempelajari kimia. Ketika Perang Dunia Dua meletus, Tajfel terdaftar menjadi seorang tentara Prancis dan tertangkap sebagai seorang tahanan perang.
Untungnya para tentara Jerman pada saat itu mengenali Tajfel sebagai seorang prajurit Prancis. Ia selamat dari peperangan. Ketika ia dibebaskan, semua keluarganya telah terbunuh dalam peristiwa Holocaust. Tajfel juga agaknya akan terbunuh jika seandainya dikenali sebagai seorang Yahudi Polandia alih-alih sebagai prajurit perang Prancis.
ADVERTISEMENT
Setelah perang usai, Tajfel menikah dan pindah ke Britania. Ia mulai fokus mempelajari psikologi di Birkbeck College, University of London. Tajfel mulai memikirkan dan mempertanyakan tentang apa yang membuat manusia saling membedakan antara kelompok; mengapa manusia saling menyortir diri mereka ke dalam kelompok sehingga sangat mudah untuk melakukan kekerasan; dan apa yang menjadikan manusia berkelompok.
Tak hanya bergeming ketika dihadapkan dengan pertanyaan seperti itu, Tajfel pun melakukan eksperimen.
Singkatnya, dalam eksperimen yang dilaporkan dengan judul “Experiments in Intergroup Discrimination” (PDF), Tajfel membawa 64 orang remaja berusia 14 dan 15 tahun dari sekolah yang sama dan memasukkan mereka ke dalam ruang kuliah. Ia memberikan instruksi untuk melihat sebuah layar dan memperkirakan berapa banyak titik pada gambar yang ada di layar secara cepat.
ADVERTISEMENT
Setelah selesai memperkirakan, partisipan diberitahu bahwa dalam penilaian semacam ini beberapa orang secara konsisten berlebihan memperkirakan (overestimated) jumlah titik dan beberapa secara konsisten terlalu sedikit (underestimated) jumlah angka tersebut. Tetapi kecenderungan ini sama sekali tidak terkait dengan akurasi.
Selanjutnya peneliti memberikan penilaian pada hasil kerja partisipan dan menentukan apakah seseorang berlebihan (overestimated) atau terlalu sedikit (underestimated) dalam memperkirakan jumlah titik.
Uniknya, sebelum eksperimen ini berakhir, peneliti mengajukan pada anak-anak (atau partisipan studi) untuk melakukan satu eksperimen lagi. Para partisipan studi dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah orang yang berlebihan memperkirakan (overestimated) jumlah titik dan kelompok kedua orang yang terlalu sedikit memperkirakan (underestimated) jumlah titik.
Sebenarnya, para peneliti membagi kelompok ini secara acak dan tidak memperhatikan apakah seseorang itu benar-benar berlebihan atau terlalu sedikit dalam memperkirakan jumlah titik. Para peneliti tidak peduli dengan siapa yang underestimated atau overestimated. Dan pembagian ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan titik pada eksperimen pertama. Benar-benar pembagian secara acak.
ADVERTISEMENT
Dalam eksperimen kedua ini, yang mana salah satu prosedurnya adalah menggunakan alokasi uang, para partisipan mulai mengalokasikan lebih banyak uang kepada orang-orang dalam kelompok mereka, yang mana bahkan mereka tidak tahu kalau pembagian kelompok itu adalah benar-benar acak tanpa memperhatikan latar belakang mereka (overestimated atau underestimated).
Terlalu sulit memahami? Gampangnya seperti ini; ada 64 orang di ruangan. Setengah dari mereka diberikan kaos biru dan setengah lagi diberikan kaos hijau. Secara acak dan tanpa perlu benar-benar mengetahui latar belakang mereka, orang yang diberikan kaos biru akan mengidentifikasi orang lain yang juga diberikan kaos biru.
Mereka, baik orang yang diberi kaos hijau atau biru, secara sadar ataupun tidak, jika diminta untuk mengalokasikan sumber daya (uang contohnya), akan cenderung mengalokasikan pada orang-orang di kelompok mereka. Meskipun mereka tidak punya latar belakang atau kesamaan sama sekali.
ADVERTISEMENT
Secara pelan tapi pasti, kedua kelompok ini (baik kaos biru dan hijau atau overestimated dan underestimated) akan mulai menunjukkan perasaan tidak suka pada kelompok lainnya. Dan beginilah awal dari konflik intergrup itu dimulai.
Eksperimen yang Tajfel lakukan ini dikenal sebagai minimum group paradigm. Berkat eksperimennya pula berkembang salah satu teori dalam ilmu sosial yang disebut teori identitas sosial (social identity theory).
Dari hal yang benar-benar receh
Di Twitter bahkan fenomena identitas seperti ini telah banyak terjadi. Sebagai contoh, beberapa warga net memperdebatkan apakah seseorang harusnya memakan bubur ayam dengan cara diaduk atau tidak. Bahkan tanpa harus kenal satu sama lain pun, mereka akan mengelompok dengan sesama penyuka bubur ayam diaduk (atau tidak). Jika ada satu orang saja dari kelompok bubur ayam tidak diaduk mengolok salah satu anggota kelompok bubur ayam diaduk, para fanatik dari bubur ayam diaduk lainnya akan membantu untuk melawan dengan argumen mereka.
ADVERTISEMENT
Anda mungkin berpikir, “Halah! Itu kan cuma bercandaan, sih.” Iya, semua orang sepertinya setuju bahwa hal itu adalah sebuah lelucon. Tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah hal inilah, contoh bubur ayam diaduk atau tidak inilah, yang menjawab pertanyaan kita tentang bagaimana para fans sepak bola seperti Aremania dan Bonek lahir.
Bisa jadi, tanpa perlu mengetahui latar belakang klub, peristiwa apa yang memicu ketegangan setiap pertemuan, dan alasan lain, seseorang bisa menjadi fanatik terhadap sesuatu tanpa alasan yang jelas atau memiliki latar belakang yang sama. Cukup punya kaos biru atau hijau dan menonton pertandingan sepak bola.
“Masa iya seperti itu?” Jika belum juga teryakinkan, ambillah contoh fans sepak bola luar negeri sebagai sebuah kasus. Bagaimana seseorang yang tidak lahir di London bisa menjadi suporter Arsenal dan bukan Tottenham? Tak perlu alasan yang jelas untuk menjadi seorang pendukung klub sepak bola. Dan hal ini juga memungkinkan, seseorang mendukung suatu klub karena berbagai alasan; entah itu adalah tim yang pertama kali mereka tonton, pemain terkenal ada di klub, atau sekedar karena jersey mereka bagus.
ADVERTISEMENT
Eksperimen yang dilakukan Tejfel di atas pun ia replikasi lagi di kemudian hari dengan cara yang berbeda. Hasilnya menunjukkan bahwa orang-orang tidak hanya akan menyukai kelompok mereka tetapi mereka akan mulai untuk mendiskriminasi kelompok luar. Itulah mengapa para suporter bola selain sangat mencintai klub mereka, juga akan membenci suporter dari klub lain.
Para fans bahkan rela mengeluarkan uang untuk keterhubungan identitas dengan klub sepak bola yang seringkali, tak punya atau tak bisa memberikan loyalitas balik pada mereka (Seperti para pemain yang pindah karena tawaran kontrak yang lebih mahal).
Dari sini kita dapat simpulkan bahwa identitas, apapun bentuknya, apakah itu fans klub, agama, bahkan pilihan politik, selain berpotensi mempererat jalinan orang-orang dalam grup, juga berpotensi mendiskriminasi orang-orang yang berada di luar lingkaran mereka. Hal inilah yang mendasari kenapa diskriminasi terhadap sebuah kelompok minoritas misalnya, bisa terjadi. Muslim di Indonesia bisa jadi aman terhadap kasus diskriminasi. Namun, di luar negeri, di suatu negara mayoritas non-muslim, bisa jadi mereka mendapatkan diskriminasi yang parah.
ADVERTISEMENT
Siapa yang seharusnya salah?
Pertanyaan selanjutnya yang muncul setelah kita membahas identitas sosial adalah jika terdapat sebuah kericuhan misalnya, siapa yang patut disalahkan? Apakah Aremania atau Bonek yang salah pada bentrok di Blitar beberapa hari lalu?
Tentu saja jika Anda menanyakan pertanyaan tersebut pada Bonek, secara langsung mereka akan menyalahkan Aremania. Begitu juga sebaliknya. Hal seperti itu telah terbukti bahkan tanpa harus merujuk satu hasil penelitian pun.
Namun demikian, mari kita tetap kembali ke masa lalu untuk memahami fenomena ini. Sebuah penelitian terkenal dilakukan oleh ilmuan dari Princeton dan Darthmouth tentang sebuah analisa mengapa sebuah pertandingan bisa berakhir ricuh.
Penelitian tersebut didasari oleh pertandingan sepak bola Amerika (American Football) antara Princeton melawan Darthmouth pada November tahun 1951 yang berakhir brutal. Seorang pemain Princeton hancur hidungnya. Dan seorang pemain Darthmouth patah kaki.
ADVERTISEMENT
Setelahnya, masing-masing pihak menyalahkan tim lain dalam majalah kampus masing-masing tentang siapa yang telah memicu kekerasan. Majalah dari Princeton menyalahkan Darthmouth. Begitu juga sebaliknya. Dengan datangnya banyak perdebatan dari tulisan majalah tentang siapa yang memulai pertikaian, dua psikolog, Albert Hastorf dari Darthmouth dan Hadley Cantril dari Princeton, bersatu untuk mmenjadwab pertanyaan: Mengapa setiap sekolah memiliki pemahaman yang begitu berbeda tentang apa yang terjadi. Video pertikaian antara Princeton dan Darthmouth ini banyak diunggah di kanal YouTube.
Dua peneliti tersebut memutuskan untuk melakukan tes yang sangat sederhana. Mereka meminta mahasiswa dari setiap universitas untuk menonton cuplikan pertandingan. Selama menonton, para mahasiswa diminta untuk berpura-pura menjadi wasit.
Hasilnya dalam artikel berjudul “They saw a game; a case study” menunjukkan bahwa kedua tim tidak ada yang dapat melihat sesuatu dengan akurat. Mereka tetap tidak bisa menentukan siapa yang benar-benar memulai pertikaian dan tetap mempertahankan kepercayaan mereka. Fans Princeton tetap ingin Princeton terlihat bagus dan baik. Begitu juga fans Darthmouth. Hasil itu mengisyaratkan bahwa manusia ingin melihat apa yang ia yakini dan apa yang ia ingin.
ADVERTISEMENT
Fenomena di atas (kita melihat apa yang ingin kita lihat) disebut sebagai persepsi termotivasi (motivated perception). Hal ini serupa dengan konsep lainnya-motivated reasoning, di mana seseorang menyimpulkan sebuah peristiwa dengan apa yang ingin mereka percayai.
Motivated perception tidak hanya berlaku dalam kasus olah raga. Teori tersebut juga dapat dijadikan fondasi untuk memahami mengapa seorang pendukung capres tertentu cenderung untuk tidak mempercayai berita-berita negatif atau kabar miring tentang kandidat kesayangan mereka. Mereka, dengan suatu alasan subjektif tentunya, telah yakin bahwa jagoannya lebih baik dari kandidat lain. Walau bahkan alasan mereka kadang tidak rasional.
Tentu saja hal seperti ini berpotensi melahirkan bias. Seseorang yang jelas-jelas memulai pertikaian harusnya diadili secara tepat walaupun itu memang satu grup suporter klub tertentu. Seorang kandidat presiden yang terbukti melakukan skandal harus diusut. Dan pendukungnya pun, jika memang kandidat tersebut punya skandal, harus terima diusut dan menerima bahwa kandidat kesayangan mereka tidak sebagus yang mereka yakini.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dari sisi kognitif, sebuah informasi yang telah tertanam dalam kepala memang cenderung akan dipercayai bahkan jika informasi itu palsu. Peringatan apapun yang diberikan setelah sebuah informasi masuk ke dalam kepala terbukti tidak efektif dari beberapa hasil penelitian. Hal tersebut berhubungan erat dengan masalah memori manusia yang sangat rentan terhadap perubahan dan kelupaan.
Apa yang dapat disimpulkan?
Kejadian bentrok antar suporter bola, atau ricuh antar pendukung capres, atau perseteruan agama, atau konflik-konflik lainnya, secara teori tidak bisa dihindari karena manusia cenderung mengelompokkan diri mereka sesuai identitas sosial yang melekat pada diri mereka. Seseorang cenderung menyukai berada dalam kelompok mereka dan mengembangkan kebencian terhadap kelompok lainnya.
Berkembangnya diskriminasi bisa jadi didasari oleh prasangka dan stereotip negatif tentang sebuah kelompok tertentu. Dan, walaupun tanpa memiliki latar belakang yang sama, manusia bisa menggolongkan diri mereka ke dalam kelompok jika ada satu tujuan sama yang ingin mereka raih.
ADVERTISEMENT
Kalimat di atas terbukti dari eksperimen yang disebut Robbers Cave Experiment tentang konflik. Orang-orang yang berkumpul dalam suatu kelompok, cenderung akan bersaing dengan kelompok lain untuk menunjukkan siapa yang paling hebat. Namun, saat mereka diberikan satu tujuan yang sama dan itu menyangkut kebutuhan primer mereka, dua kelompok yang berseteru tersebut akan bersatu dan berkolaborasi saling tolong menolong untuk mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut terbukti, atau setidaknya secara simplifikasi, dalam kemerdekaan Indonesia.
Masalahnya, pada jaman di mana manusia sudah terpolarisasi dalam Mega Identity seperti hari ini, apakah bisa menemukan satu tujuan bersama?
Kembalilah ke rutinitas Anda sehari-hari. Kembalilah belajar. Dengarkan musik, baca buku, tonton film, dan lakukan apapun yang Anda suka. Kita hanya bisa menjawab pertanyaan itu saat Bonek dan Aremania sudah benar-benar bersatu untuk satu tujuan. Kembalilah ke artikel ini dan berikan komentar jika Anda suatu saat menemukan persatuan Aremania dan Bonek. Itu juga jika umur Anda lebih panjang dari pada perseteruan dua fans tersebut.
ADVERTISEMENT