Warga Usia di Bawah 45 Tahun Boleh Beraktivitas, Sudah Siapkah Indonesia?

Mentary Sonaya
Apoteker, Public Health Project Coordinator Desa Bebas Stunting dan Desa Ramah Lansia
Konten dari Pengguna
17 Mei 2020 1:59 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mentary Sonaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Edukasi COVID-19 door-to-door ke rumah keluarga lansia
zoom-in-whitePerbesar
Edukasi COVID-19 door-to-door ke rumah keluarga lansia
ADVERTISEMENT
Senin (11/05) lalu, Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Doni Monardo, mengizinkan warga berusia di bawah 45 tahun untuk bekerja atau beraktivitas normal demi meredam ancaman badai PHK yang lebih hebat lagi.
ADVERTISEMENT
Selain PHK, banyak juga pekerja yang dirumahkan atau dicutikan tidak ditanggung oleh perusahaan (unpaid leave). Hingga 12 Mei, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat tenaga kerja yang dirumahkan dan juga terkena PHK mencapai 1.722.958 orang.
Angka kematian akibat COVID-19 juga menjadi salah satu pertimbangan dikeluarkannya kebijakan ini, di mana 84,6% kasus meninggal merupakan kelompok umur di atas 45 tahun, yaitu 30,6% pada kelompok usia 46-59 tahun dan 45% pada kelompok usia lebih dari 60 tahun.
Meskipun begitu, kasus positif COVID-19 pada populasi usia di atas 45 tahun tidak lebih tinggi dari populasi usia di bawah 45 tahun yaitu sebesar 46,2%. Angka kematian yang cukup besar pada populasi lanjut usia (lansia) disebabkan karena karakter populasi tersebut telah mengalami penurunan fungsi fisologis, termasuk imunitas tubuhnya yang semakin melemah. Hal itulah yang menyebabkan risiko kematian-pun menjadi lebih besar jika lansia terinfeksi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya kebijakan membebaskan warga usia di bawah 45 tahun untuk bekerja, menjadi tantangan baru bagi pemerintah dan juga masyarakat untuk memperkuat protokol kesehatan usia produktif agar kelompok rentan tetap terlindungi. Konsep dari kebijakan pemerintah ini, agaknya menuju herd immunity yaitu akan ada di mana banyak orang dalam suatu komunitas yang memiliki kekebalan terhadap penyakit tersebut karena sudah pernah terinfeksi COVID-19 sebelumnya.
Para ahli menyebutkan bahwa herd immunity dapat terbentuk jika setidaknya 60-70 persen orang terinfeksi. Maka jika kebijakan pemerintah ini disimulasikan, dibutuhkan sekitar 65-90 juta penduduk usia produktif (15-44 tahun) terinfeksi virus untuk membentuk kekebalan komunitas ini. Dan angka ini pun baru melindungi kelompok usia produktif saja.
ADVERTISEMENT
Sudah siapkah sistem kesehatan di Indonesia menghadapi lonjakan ini? Karena hingga saat ini pun Indonesia belum terlihat sudah mencapai puncak pandeminya, setiap hari jumlah kasus positif semakin bertambah. Per 9 Mei, persentase kematian per kasus terkonfirmasi (Case Fatality Rate) Indonesia menempati ranking 25 di dunia dengan 7,03%. Inikah kebijakan yang paling tepat bagi Indonesia?
Sudah banyak negara yang menolak konsep ini, bahkan beberapa negara yang menerapkan herd immunity ini sudah terbukti gagal, seperti pada kasus Swedia dan Inggris. Negara tersebut memiliki karakteristik di mana banyak keluarga usia produktif dan lansia hidup terpisah mandiri. Bagaimana dengan Indonesia?
Ilustrasi lansia - potrait Foto: Shutterstock
Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik Tahun 2017, lansia yang hidup bersama dengan keluarga bahkan tiga generasi jumlahnya lebih banyak dibandingkan lansia yang hidup sendiri. Data ini menunjukkan bahwa masih banyaknya lansia yang berinteraksi harian dengan kelompok usia muda sehingga risiko tertular dari kelompok usia muda pun menjadi lebih besar. Kelompok usia muda ini memiliki potensi besar untuk menjadi carrier atau pembawa virus COVID-19 dan sangat mungkin bisa terinfeksi tanpa menunjukkan gejala penyakit.
ADVERTISEMENT
Jika memang ini merupakan satu-satunya kebijakan yang dipilih Indonesia. Pemerintah perlu membuat strategi untuk mengatasi dampak-dampak lainnya, seperti memperkuat sistem kesehatan, memperbanyak jumlah tes, dan memperkuat protokol kesehatan dengan peraturan yang ketat.
Rumah Zakat sejak awal pandemi sudah berkomitmen untuk berkontribusi dalam melindungi kelompok rentan (lansia), melalui program “Jaga Simbah dari Wabah”. Program ini membutuhkan peran aktif dari relawan desa, keluarga lansia dan juga masyarakat untuk bersama-sama menjaga lansia di desa, memperkuat protokol kesehatan.
Relawan desa akan membuat grup keluarga lansia untuk melakukan edukasi dan monitoring kesehatan secara rutin. Kemudian Rumah Zakat memberikan support kebutuhan fisik dan juga psikis lansia, berupa fasilitasi medis (telemedicine, homecare), fasilitasi akses obat rutin lansia, support sarana aktivitas fisik lansia (seperti ternak lele, ecobrick, kebun gizi), serta memberikan bantuan kebutuhan harian bagi lansia yang hidup sendiri atau masih menjadi sumber nafkah keluarga. Pesan utama dari “Jaga Simbah dari Wabah” adalah memastikan lansia untuk tetap di rumah dan dalam kondisi yang sehat baik jasmani dan rohaninya.
Ilustrasi pemutusan hubungan kerja (PHK). Foto: pixabay
ADVERTISEMENT