Berbicara Poligami Apa Adanya

Moh Hori
Penerjemah, Penulis Artikel, dan Pengelola Hybernasi.com
Konten dari Pengguna
3 Agustus 2022 21:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moh Hori tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Praktik poligami, sebagaimana ajaran agama yang lain, tak bisa lepas motif-motif yang menyimpang, yang umumnya merugikan kaum perempuan. (Sumber foto: Dokumentasi pribadi).
zoom-in-whitePerbesar
Praktik poligami, sebagaimana ajaran agama yang lain, tak bisa lepas motif-motif yang menyimpang, yang umumnya merugikan kaum perempuan. (Sumber foto: Dokumentasi pribadi).
ADVERTISEMENT
Seorang kawan, melalui laman medsosnya, memposting pantun tentang keutamaan poligami. "Lebih baik dimadu daripada diracun", katanya. Perempuan yang secara sukarela menginzinkan kehadiran "madu" dalam biduk rumah tangga bakal mendapatkan payung emas di hari kemudian.
ADVERTISEMENT
Karena pada kolom komentar postingan tersebut dia mendapatkan reaksi yang kurang membahagiakan, dia pun bereaksi dengan komentar kutipan-kutipan ayat, hadis, dan aqwal (pendapat) beragam ulama yang segaris dengan pandangannya. Dia tidak mau menyerah. Agaknya, dia berkeyakinan bahwa tembakannya melalui sumber-sumber utama ajaran pokok agama akan meredam para komentator yang berselisih pandangan dengan dirinya.
Dia, dalam postingan lain, bahkan menuduh para penentang poligami sebagai penentang agama sendiri. Tidak bisa tidak.

Antara Motif Agama dan Berahi

Poligami menjadi wacana yang terus diperdendangkan, baik secara sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan. Porosnya, tentu saja ajaran agama sendiri. Yakni, betapa pun poligami dianggap sebagai wacana rongsokan, dia tetap tak bisa dihindarkan dari palung keyakinan umat Islam. Soalnya, bagaimanakah poligami dijalankan, atau diniatkan? Di sini, poligami bisa menjadi sangat problematik.
ADVERTISEMENT
Di banyak daerah, poligami dijalankan secara lapang oleh tokoh-tokoh agama, orang berduit, dan sebagiannya oleh tokoh adat. Mereka adalah tokoh-tokoh otoritatif (dalam pengertian yang agak dilonggarkan) dalam hal "penggandaan istri," dan itu sebabnya poligami kerap pula dijadikan semacam penanda keabsahan otoritas tersebut.
Di beberapa daerah di mana peran tokoh agama mengatasi peran-peran politis politisi lokal, titah mereka memang tak kalah ampuh dan tajam dibandingkan dengan kalam kitab suci. Sekali mereka bilang bahwa poligami adalah bagian dari ajaran ushuli (pokok), tak akan ditemui pertentangan pendapat yang berarti. Masyarakat akan mengamini pendapat tersebut secara sam'an wa tha'atan (tunduk dan patuh) seraya berharap jika kelak sebagian dari keluarga perempuan mereka akan dipersunting tokoh-tokoh itu sebagai madu. Bahkan, sebagian masyarakat malah dengan mantap menunggu sambaran pinangan, karena hanya atas cara itu perbaikan nasib -juga nasab- dimungkinkan.
ADVERTISEMENT
Namun, tentu saja penerimaan yang lapang itu tidak lalu menutup pintu "Bisik-Bisik Tetangga" -meminjam salah satu judul lagu dangdut yang dipopulerkan oleh Elvy Sukaesih- dengan rapat. Bekalangan, eksklusivitas praktik poligami mulai retak. Ia mulai dipersoalkan, bukan karena ajarannya; melainkan praktiknya.
Kesadaran masyarakat seperti terbelalak seketika saat menyaksikan praktik poligami yang tak ubahnya transaksi di pasar gelap dunia esek-esek: dengan modal yang cukup, seseorang memasuki pasar, membeli barang incaran, lalu membuang barang itu selepas dia sudah dianggap cukup uzur dan aus untuk dipertahankan. Perempuan-perempuan "bekas pakai" itu kemudian dikembalikan lagi ke kampung halaman dengan titel barunya: Janda. Sebagiannya memang meneruskan hidup dengan serba berkecukupan, karena mereka mendapatkan bekal yang cukup dari mantan suami. Namun, sebagian yang lain -yang tampaknya adalah sebagian besar- malah hidup dalam penderitaan yang kian berlipat.
ADVERTISEMENT
Kenyataan ini saya dapati di kampung halaman kawan saya, di sebuah desa yang memandangi tokoh-tokoh poligami itu dari kejauhan, dari sebuah kelas sosial yang tak diperhitungkan. Pelaku poligami, dalam masyarakat ini, adalah stempel penabal strata, dan itu sebabnya ia seperti dirayakan -yang entah merayakan apa.
Jika dalam kenyataan kita dihadapkan pada praktik poligami yang serba berkebalikan, inilah sisi problematiknya. Maka tak mengherankan manakala bersamaan dengan era keterbukaan ia mulai dipersoalkan, diulik, atau diperdebatkan: Layakkah ia dipertahankan, terutama dalam kenyataannya yang terkini?
Praktisi poligami, dari yang sangat puritan hingga yang agak moderat, harus diakui bahwa ia belum memperlihatkan keterpenuhan unsur maqashid al-tasyri' (tujuan pemberlakuan hukum syariat) sebagaimana diteladankan Nabi SAW, misalnya soal apakah praktik poligami dilatari oleh ketundukan-kepatuhan kepada ajaran Islam, atau hanya sekadar pemuas nafsu hewani manusia.
ADVERTISEMENT
Jika mengacu pada aspek luarannya, yang darinya kita dapat mengambil simpulan bahwa nahnu nahkumu bi al dzawahir (keputusan hukum syariat didasarkan pada aspek eksternal obyek hukum), agaknya bukan tanpa alasan jika sementara orang berkesimpulan bahwa poligami sesungguhnya praktik agamis-artifisial yang sengaja dibalut dengan topeng agama.
Dalam perkataan yang lain, poligami tak lebih dari sekadar "urusan selangkangan". Ia hanya tampak suci justru karena balutan luarannya belaka.

Perbincangan tiada Akhir

Poligami menjadi bahan perbincangan yang tak akan usai dalam waktu dekat. Orang-orang yang serba berkecukupan dan hidup dalam kemapanan sosial -termasuk, dan terutama, kalangan agamawan- akan terus mencari celah-celah dalil yang dapat mengamankan tiket poligaminya, tentu dengan dalih agama.