Investasi Energi Terbarukan di RI Jeblok, Ini Datanya

9 November 2017 18:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Investasi di bidang energi terbarukan Indonesia anjlok. Berdasarkan data Kementerian ESDM, pada 2016 nilai investasi di bisnis energi terbarukan mencapai Rp 21,25 triliun. Sementara hingga akhir Oktober tahun ini, realisasi investasi energi terbarukan baru Rp 11,74 triliun.
ADVERTISEMENT
Masih menurut data Kementerian ESDM, investasi di sektor energi terbarukan pada 2014 sebesar Rp 8,63 triliun. Lalu pada 2015 tumbuh menjadi Rp 13,96 triliun. Melonjak pada 2016 dan merosot lagi di 2017.
Direktur Eksekutif Institute for Essensial Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menuturkan bahwa besarnya minat investor pada 2015-2016 itu merupakan buah dari kebijakan Menteri ESDM kala itu, Sudirman Said, yang sangat mendukung pengembangan energi terbarukan.
Bisnis energi terbarukan di Indonesia pernah menjadi salah satu yang paling menarik di dunia. Renewable Energy Country Attractiveness Index (RECAI) yang dipublikasikan Ernst & Young pada Maret 2015 menempatkan Indonesia di peringkat 38 dunia.
Kebijakan-kebijakan Feed in Tariff yang dibuat oleh Menteri ESDM waktu itu, Sudirman Said, sangat menarik bagi investor.
ADVERTISEMENT
"Sampai April 2016, Indonesia masih masuk 50 besar karena adanya komitmen mengembangkan energi terbarukan. Ketika era Menteri ESDM Sudirman Said, kebijakan energi terbarukan dikebut, orang melihat regulasinya progresif," kata Fabby kepada kumparan (kumparan.com), Kamis (9/11).
Namun, begitu Sudirman Said terkena reshuffle dan terlempar dari Kabinet Kerja, terjadi perubahan kebijakan. Regulasi-regulasi buatan Sudirman dirombak oleh penggantinya, Ignasius Jonan.
"Pada tahun 2017 di bawah Pak Jonan, dengan aturan yang tidak konsisten serta keengganan mendengar atau berkomunikasi 2 arah antara kementerian dengan investor, Indonesia sudah tidak masuk dalam daftar negara yang atraktif untuk investasi energi terbarukan lagi," ujarnya.
Patokan harga listrik dari energi terbarukan tak lagi menggunakan Feed in Tariff, tapi ditetapkan berdasarkan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) setempat. Indonesia pun terlempar dari daftar 50 negara paling atraktif untuk investasi energi terbarukan.
ADVERTISEMENT
"Banyak investor jadi menahan diri, bahkan pull out. Beberapa pengembang listrik tenaga surya pindah ke Vietnam yang sudah punya target lebih jelas dan menyiapkan lahan," papar Fabby.
Menurutnya, aturan buatan Jonan tidak memberikan kepastian dan tingkat pengembalian investasi yang menarik. "Kita jadi kehilangan kesempatan menarik investasi karena regulasi tidak mendukung," ucapnya.
Fabby berpendapat bahwa tarif energi terbarukan memang relatif mahal pada tahap awal pengembangan, tidak bisa langsung murah seperti keinginan Jonan. Harusnya pemerintah lebih sabar dalam membuat kebijakan.
Pemerintah harus membantu menciptakan pasar untuk energi terbarukan. Risiko bisnis energi terbarukan pun masih tinggi pada awal pengembangan. Maka harganya tak bisa murah.
"Kalau pemerintah ingin harga energi surya dan angin turun memang harus agak sabar sampai kurang lebih 3 tahun ke depan ketika risiko usaha sudah turun dan pasarnya sudah tumbuh," katanya.
ADVERTISEMENT
"Menurunkan harga energi terbarukan sampai terlalu murah pada hari ini akan berakibat hilangnya minat investasi dan ketergantungan pada energi fosil yang mahal serta fluktuatif pada jangka panjang," tutupnya.