Investasi Energi Terbarukan RI Pernah Atraktif di Era Sudirman Said

3 November 2017 15:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sudirman Said (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sudirman Said (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
ADVERTISEMENT
Bisnis energi terbarukan di Indonesia pernah menjadi salah satu yang paling menarik di dunia. Renewable Energy Country Attractiveness Index (RECAI) yang dipublikasikan Ernst & Young pada Maret 2015 menempatkan Indonesia di peringkat 38 dunia.
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif Institute for Essensial Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengungkapkan bahwa kebijakan-kebijakan Feed in Tariff yang dibuat oleh Menteri ESDM waktu itu, Sudirman Said, sangat menarik bagi investor.
"Sampai April 2016, Indonesia masih masuk 50 besar karena adanya komitmen yang besar untuk mengembangkan energi terbarukan pada saat itu. Ketika era Menteri ESDM Sudirman Said, kebijakan energi terbarukan dikebut, orang melihat regulasinya progresif," kata Fabby saat ditemui di Kantor Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Jakarta, Jumat (3/11).
Namun, begitu Sudirman Said terkena reshuffle dan terlempar dari Kabinet Kerja, terjadi perubahan kebijakan. Regulasi-regulasi buatan Sudirman dirombak oleh penggantinya, Ignasius Jonan.
"Pada tahun 2017 di bawah Pak Jonan, dengan aturan yang tidak konsisten serta keengganan mendengar atau berkomunikasi 2 arah antara kementerian dengan investor, Indonesia sudah tidak masuk dalam daftar negara yang atraktif untuk investasi energi terbarukan lagi," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Patokan harga listrik dari energi terbarukan tak lagi menggunakan Feed in Tariff, tapi ditetapkan berdasarkan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) setempat. Indonesia pun terlempar dari daftar 50 negara paling atraktif untuk investasi energi terbarukan.
"Banyak investor jadi menahan diri, bahkan pull out. Beberapa pengembang listrik tenaga surya pindah ke Vietnam yang sudah punya target lebih jelas dan menyiapkan lahan," papar Fabby.
Menurutnya, aturan buatan Jonan tidak memberikan kepastian dan tingkat pengembalian investasi yang menarik. "Kita jadi kehilangan kesempatan menarik investasi karena regulasi tidak mendukung," ucapnya.
Fabby berpendapat bahwa tarif energi terbarukan memang relatif mahal pada tahap awal pengembangan, tidak bisa langsung murah seperti keinginan Jonan. Harusnya pemerintah lebih sabar dalam membuat kebijakan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah harus membantu menciptakan pasar untuk energi terbarukan. Risiko bisnis energi terbarukan pun masih tinggi pada awal pengembangan. Maka harganya tak bisa murah.
"Kalau pemerintah ingin harga energi surya dan angin turun memang harus agak sabar sampai kurang lebih 3 tahun ke depan ketika risiko usaha sudah turun dan pasarnya sudah tumbuh," katanya.
"Menurunkan harga energi terbarukan sampai terlalu murah pada hari ini akan berakibat hilangnya minat investasi dan ketergantungan pada energi fosil yang mahal serta fluktuatif pada jangka panjang," tutupnya.