Mengurai Benang Kusut Divestasi 51% Saham Freeport

11 Oktober 2017 17:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Richard Adkerson, Sri Mulyani, dan Ignasius Jonan (Foto: REUTERS/Darren Whiteside)
zoom-in-whitePerbesar
Richard Adkerson, Sri Mulyani, dan Ignasius Jonan (Foto: REUTERS/Darren Whiteside)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perundingan antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia yang dijadwalkan selesai pada 10 Oktober 2017 akhirnya diperpanjang selama 3 bulan hingga 10 Januari 2018.
ADVERTISEMENT
Meski Freeport sudah sepakat mau melepas 51% sahamnya ke pemerintah, masih banyak hal teknis yang harus dibicarakan dengan perusahaan tambang yang berbasis di Arizona, Amerika Serikat tersebut. Misalnya jaminan stabilitas investasi untuk Freeport dan skema divestasi saham.
Dua pekan lalu, beredar bocoran surat dari CEO Freeport McMoRan Inc, Richard Adkerson, soal penolakan skema divestasi yang ditawarkan pemerintah. Kini, perdebatan dengan bergeser ke persoalan harga saham Freeport yang rencananya akan dibeli Holding BUMN Pertambangan.
Pasca tercapainya kesepakatan divestasi saham, pemerintah memang masih punya pekerjaan rumah yang tak kalah rumit, yaitu penilaian harga saham Freeport yang akan dibeli dan mekanisme pembeliannya.
Contohnya yang sekarang harus dirundingkan pemerintah dengan Freeport, apakah harga saham akan dihitung berdasarkan manfaat kegiatan usaha pertambangan yang diperoleh Freeport sampai 2021 atau hingga 2041.
ADVERTISEMENT
Kemudian apakah valuasi harga saham menghitung cadangan mineral yang ada di dalam tanah atau tidak.
"Ada beberapa prinsip yang berbeda. Freeport ingin penilaian harga saham menyertakan aset cadangan di dalam tanah sampai 2041. Sementara pemerintah tak mau cadangan di bawah tanah dihitung dan hanya menghitung proyeksi sampai 2021," kata Mantan Staf Khusus Menteri ESDM, Said Didu, kepada kumparan (kumparan.com), Rabu (11/10).
Ada perbedaan prinsip antara pemerintah dan Freeport dalam persoalan skema divestasi. Jika tak mencapai titik temu, divestasi saham tak akan pernah terlaksana.
"Sebenarnya Freeport mau saja melepas sahamnya kepada pemerintah, hanya prinsipnya soal kalkulasi harga dan kapan divestasi akan dilaksanakan," tuturnya.
Pendirian Freeport maupun pemerintah sama-sama memiliki dasar yang kuat. Keinginan Freeport agar cadangan mineral di wilayah pertambangan dihitung sebenarnya masuk akal, itu adalah hal yang berlaku umum di dunia pertambangan.
ADVERTISEMENT
Tapi wajar juga pemerintah meminta agar cadangan di bawah tanah tak dihitung, sebab itu adalah aset negara. "Semua punya dasar, termasuk Freeport yang meminta cadangan dihitung, itu berlaku umum di dunia karena dia punya hak untuk menambang," paparnya.
Said pesimistis negosiasi antara pemerintah dan Freeport bisa selesai dalam waktu dekat, kemungkinan masih panjang. Tapi sesulit apapun situasinya, pemerintah harus menjaga agar kegiatan operasi tambang Grasberg di Papua tetap berjalan.
Penyelesaian sengketa di arbitrase sebisa mungkin harus dihindari karena akan merugikan semua pihak, termasuk Freeport dan pemerintah. Jangan sampai tambang Grasberg berhenti beroperasi dan menimbulkan gejolak sosial di Papua.
"Saya belum yakin ini (perbedaan prinsip antara pemerintah dan Freeport) bisa ketemu. Pesan saya operasi tambang di Papua harus dijaga, jangan sampai timbul gejolak," tutupnya.
ADVERTISEMENT