Pengusaha Energi Terbarukan Protes Mekanisme Pemilihan Langsung di PLN

3 November 2017 14:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Produsen listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) yang mengembangkan energi terbarukan keberatan dengan mekanisme 'pemilihan langsung' dalam proses pengadaan yang dilakukan oleh PT PLN (Persero).
ADVERTISEMENT
Pengadaan dengan mekanisme pemilihan langsung ditetapkan oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017.
Sebelumnya, proses pengadaan dilakukan dengan mekanisme 'penunjukkan langsung' yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik.
Proses penunjukkan langsung diawali dengan pengajuan proposal dari IPP energi terbarukan ke PLN. Setelah itu PLN melakukan evaluasi, dan dapat menunjuk langsung IPP tersebut untuk membangun pembangkit listrik.
Pemilihan langsung juga diawali dengan pengajuan proposal dari IPP. Bedanya, kemudian PLN mengundang IPP-IPP lain untuk ikut pemilihan.
IPP yang ikut pemilihan harus mendaftar dan dievaluasi dulu oleh PLN. Perusahaan yang tak lolos verifikasi tak boleh ikut pemilihan. Perusahaan yang mengajukan proposal bisa saja tak lolos verifikasi dan tak boleh ikut pemilihan.
ADVERTISEMENT
Ketua Asosiasi Pengembang PLTA, Riza Husni, menuturkan bahwa aturan ini dapat merugikan IPP yang sudah mengajukan proporsal. Sebab, IPP tersebut sudah mengeluarkan banyak biaya untuk melakukan studi awal, studi kelayakan, membebaskan lahan, hingga membuat desain pembangkit listrik.
Studi, pembebasan lahan, dan pembuatan desain memakan biaya hingga miliaran rupiah. Uang yang sudah dikeluarkan itu bisa hilang begitu saja ketika PLN malah menunjuk IPP lain untuk mengembangkan energi terbarukan di lokasi yang sama.
Selain sudah menghabiskan banyak uang, IPP yang mengajukan proposal juga sudah memegang Izin Prinsip dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan pemerintah daerah (pemda) setempat.
"Kita sudah keluar duit, kita yang minta izin ke pemerintah setempat dan BKPM untuk dapat Izin Prinsip. Bagaimana kalau tender dilakukan untuk lokasi yang izin dan lahannya sudah dipegang 1 perusahaan?" kata Riza saat ditemui di Kantor Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Jakarta, Jumat (3/11).
ADVERTISEMENT
Apalagi Izin Prinsip hanya berlaku selama 2 tahun. Kalau pengembang tak segera menggarap potensi energi terbarukan, Izin Prinsip dapat diberikan ke pihak lain.
Jadi kalau IPP yang sudah melakukan studi dan membebaskan lahan kalah, pemenang di proses pemilihan langsung tinggal menunggu sekitar 2 tahun saja sampai Izin Prinsip IPP yang kalah habis masa berlakunya.
"Kalau dinyatakan tidak lolos oleh PLN, tinggal tunggu 2 tahun saja," ucapnya.
Masalah lain yang timbul adalah persoalan lahan. IPP pemenang proses pemilihan langsung tak bisa langsung membangun pembangkit listrik karena lahannya dikuasai oleh IPP lain yang kalah.
"Kan lahannya sudah ada yang punya, bagaimana kalau IPP pemilik lahan tak mau melepas lahan? Bagaimana bisa dibangun?" ujar Riza.
ADVERTISEMENT
Ketua Asosiasi Energi Angin Indonesia, Soeripno Martosaputro, mengungkapkan bahwa pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) pun terganjal ketentuan pemilihan langsung itu. Bisa jadi pengembang PLTB sudah studi dan membebaskan lahan, lalu dirugikan karena PLN malah menunjuk pengembang lain di lokasi yang sama.
"Kan yang punya lahan dan data hasil studi adalah pengembang yang mengajukan proposal, bagaimana mau dilelang?" tanyanya.
Ketua Asosiasi Listrik Bioenergi Indonesia, Duncan Kuncara, mengeluhkan hal serupa. Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg) biasanya dibangun di lahan yang HGU-nya (Hak Guna Usaha) dipegang pabrik kelapa sawit.
Tentu tak masuk akal kalau lokasi tersebut dilelang PLN dan dikembangkan oleh IPP lain yang tak punya hubungan dengan pemilik HGU. Wajarnya, pemilik HGU sendiri yang mengembangkan dan menjual listriknya ke PLN.
ADVERTISEMENT