Konten dari Pengguna

Konsumerisme: Pengurasan Kantong yang Sia-Sia

Michelle Aiko Wang
Siswa kelas 12 di PENABUR Secondary Kelapa Gading.
30 November 2024 18:56 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Michelle Aiko Wang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Namun pembelian barang secara berlebihan, terutama barang mewah banyak dijumpai di kalangan keluarga atas di Indonesia. Kebiasaan konsumtif seperti ini sering kali berujung pada kecanduan, menciptakan kehausan yang tak ada habisnya akan barang-barang materialistik atau disebut juga sebagai konsumerisme.
ADVERTISEMENT
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konsumerisme memiliki makna gaya hidup yang menganggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan dan kesuksesan. Dalam masyarakat konsumeristik, pola konsumsi yang berlebihan termasuk pembelian barang dan jasa yang tidak memiliki fungsi praktis, terjadi secara terus-menerus untuk mendapatkan kepuasan pribadi. Individu dengan gaya hidup konsumtif seringkali terjebak dalam siklus pembelian yang tidak berujung.
Pembelian massal di kalangan keluarga atas. Sumber foto: iStock images.
zoom-in-whitePerbesar
Pembelian massal di kalangan keluarga atas. Sumber foto: iStock images.
Sebagai contoh, kasus konsumerisme di Indonesia sering terjadi di kalangan ‘influencer’ media sosial. Publik figur tersebut sering memamerkan barang-barang ‘branded’ dan mobil mewah di berbagai platform media sosial seperti Instagram dan TikTok yang dapat mempengaruhi pengikut mereka untuk mengadopsi gaya hidup konsumtif serupa. Penulis sering menyaksikan fenomena konsumerisme, terutama di mal-mal mewah Jakarta, di mana orang-orang keluar dengan membawa empat hingga lima tas belanjaan sekaligus, seolah-olah menunjukkan kepuasan dari konsumsi berlebihan.
ADVERTISEMENT
Terdapat berbagai faktor yang mendorong munculnya konsumerisme. Salah satu penyebab utamanya adalah dampak globalisasi yang memperluas akses terhadap barang dan budaya dari seluruh dunia. Melalui perdagangan internasional, produk baru dari luar negeri dapat diperkenalkan ke pasar Indonesia yang mengakibatkan penyebaran gaya hidup konsumtif. Contoh globalisasi di Indonesia adalah terapan K-pop dari budaya Korea dan anime dari budaya Jepang. Kutipan dari CNN Indonesia mengatakan seorang penggemar berat K-pop bernama Alika, telah menghabiskan uang lebih dari Rp 15 juta per bulan untuk membeli suvenir, album, dan tiket konser idolanya. Memang wajar jika setiap orang ingin sesekali mengeluarkan uang demi kepuasan pribadi. Namun, pengeluaran yang berlebihan apalagi untuk barang-barang yang mudah kehilangan relevansi atau hanya berdasar pada tren justru menjadi pemborosan yang sia-sia.
ADVERTISEMENT
Selain globalisasi, iklan dan media sosial juga turut berperan mempercepat laju konsumerisme. Melalui berbagai saluran media seperti televisi dan internet, banyak ‘influencer’ yang memamerkan gaya hidup konsumtif. Iklan-iklan tersebut tidak hanya sekadar mempromosikan produk, tetapi juga menjual citra seperti kebahagiaan dan kesuksesan yang hanya dapat dirasakan dengan memiliki produk tertentu. Hal ini memicu masyarakat untuk mengikuti pola tersebut, seolah-olah ada tekanan untuk tidak ketinggalan zaman. Salah satu contoh nyata dari fenomena konsumerisme adalah perilaku FOMO (Fear of Missing Out) yang semakin marak di masyarakat. Tren saat ini yang viral setelah dipopulerkan oleh Lisa, anggota Blackpink, adalah boneka Labubu. Secara pribadi, penulis merasa tren ini tidak rasional, mengingat betapa banyak orang yang rela menghabiskan uang demi sebuah boneka yang pada dasarnya tidak memiliki kegunaan fungsional selain nilai estetika.
ADVERTISEMENT
Konsumerisme produk Pop Mart seperti Labubu. Foto dari penulis.
Faktor penting lainnya yang memicu konsumerisme adalah ketersediaan pembayaran cicilan. Masyarakat cenderung membeli lebih banyak barang daripada yang mereka mampu bayar secara tunai dengan adanya kartu kredit, pinjaman online dan cicilan tanpa bunga. Hal ini dapat menimbulkan masalah keuangan di masa depan.
Dalam jangka panjang, gaya hidup konsumtif tidak hanya menguras kantong, tetapi juga membentuk pola pikir bahwa membeli barang-barang ‘high-end’ menjaminkan kepuasan pribadi. Salah satu dampak utama dari konsumerisme adalah pemborosan yang berujung pada penumpukan barang yang berlebihan. Orang-orang yang membeli produk hanya untuk mengikuti tren cenderung mengabaikan pertimbangan nilai produk tersebut di jangka panjang. Banyak sekali produk yang hanya tersimpan, terlupakan dan tidak digunakan ketika sudah kehilangan relevansi dan ketinggalan zaman. Seiring waktu, barang tersebut pun akan dibuang untuk memberi ruang bagi barang-barang baru yang lebih trendi. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan pembelian yang sia-sia, tetapi juga menyebabkan penumpukan limbah yang terus bertambah, memberikan dampak buruk yang signifikan bagi lingkungan di sekitar kita.
Penyimpanan produk Jellycat yang berlebihan. Foto dari penulis.
Di samping pembelian yang boros, konsumerisme juga berkontribusi pada ketimpangan sosial. Fenomena ini menciptakan celah yang semakin lebar di antara orang kaya dan miskin, di mana yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Sementara kalangan kelas atas di Indonesia sering kali menghabiskan uang mereka untuk kebahagiaan sesaat, individu yang hidup di jalanan atau pedesaan harus berjuang keras untuk sekadar bertahan hidup dan mencukupi kebutuhan dasar seperti sewa dan makanan. Sebuah tas tangan termurah di butik mewah bisa saja setara dengan sewa tahunan bagi yang kurang beruntung. Ketimpangan sosial tersebut tidak hanya memicu perpecahan sosial, tetapi juga meningkatkan angka kriminalitas di masyarakat. Tindakan memamerkan kekayaan, apalagi di media sosial, dapat menimbulkan rasa cemburu, ketidakpuasan dan kebencian terhadap orang-orang kaya. Hal ini dapat memicu tindakan kriminal seperti pencurian.
ADVERTISEMENT
Dampak terakhir konsumerisme adalah kecenderungan untuk mengutamakan produk-produk internasional dibanding produk lokal. Dikarenakan oleh tren global dan popularitas, banyak orang lebih memilih barang impor yang pada umumnya lebih mahal meskipun produk lokal Indonesia sebenarnya memiliki kualitas dan daya tahan yang setara dengan harga yang jauh lebih terjangkau. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup lambat. Sedikitnya konsumsi barang lokal dapat menghambat pengembangan industri di Indonesia dan mengurangi daya saing produk-produk dalam negeri.
Konsumerisme yang berlebihan bukanlah budaya yang baik dinormalisasikan. Penulis berharap masyarakat Indonesia dapat berhenti memamerkan popularitas dan barang-barang materialistik, dan lebih memilih untuk menggunakan uang mereka demi kebaikan orang lain. Melalui kegiatan sosial dan donasi, kita bisa berkontribusi pada perbaikan kesenjangan sosial yang ada di Indonesia serta mendorong kemajuan ekonomi untuk mencapai kesejahteraan bersama.
ADVERTISEMENT