PP No. 78/2021 dan Korelasinya Terhadap ADHA: Ulasan, Kritik, dan Rekomendasi

mikkatorg
Gerakan untuk meningkatkan kesadaran HIV atau AIDS pada anak-anak dan merangkul mereka menggapai mimpi, tanpa sekat, di Indonesia.
Konten dari Pengguna
21 September 2021 21:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari mikkatorg tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto bersama Yayasan Lentera Surakarta. Source: Afra Syamara
zoom-in-whitePerbesar
Foto bersama Yayasan Lentera Surakarta. Source: Afra Syamara
ADVERTISEMENT
Pada 10 Agustus 2021, Presiden Jokowi telah menandatangani Peraturan Pemerintah No. 78/2021 tentang Perlindungan Khusus bagi Anak. Peraturan ini dibentuk untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 71C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Salah satu kategori yang dianggap perlu mendapatkan perlindungan khusus menurut PP No. 78/2021 ini adalah anak dengan HIV dan AIDS (“ADHA”), dengan tujuan untuk memberikan jaminan rasa aman dan layanan yang dibutuhkan bagi ADHA serta mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran hak-hak Anak secara keseluruhan. Upaya yang dilakukan demi terwujudnya tujuan-tujuan tersebut, terkhususnya pada ADHA, dilakukan melalui upaya pengawasan, pengobatan, perawatan, dan rehabilitasi.
ADVERTISEMENT
Hal yang menjadi perhatian bagi MIKKAT pada PP No. 78/2021 ini terdapat dalam Bab VIII mengenai Anak dengan HIV dan AIDS, pada Pasal 37(j), Pasal 37 (k), Pasal 41, dan Pasal 42; mari kita ulas satu persatu.

Pasal 37 (j) PP No. 78/2021: Kritik Ketidakjelasan Konteks Pasal dan Implikasi Mendukung Stigma terhadap ODHA dan ADHA

Pasal ini menyatakan bahwa dalam mengupayakan pencegahan HIV pada anak, dapat dengan “mengubah perilaku Anak untuk menghindari HIV dan AIDS.” Dalam menginterpretasikan sebuah peraturan perundang-undangan, terdapat prinsip interpretasi logis yang berbunyi “Quand elle est obscure, il faut en approfondir les dispositions pour en pénétrer l’esprit” atau bahasa undang-undang yang tidak jelas atau ambigu harus ditafsirkan menurut jiwanya dibandingkan kata-katanya dalam rangka menemukan makna hukumnya. Daripada itu, kami menginterpretasikan pasal ini dalam konteks dan makna bahwa upaya ini dilakukan untuk menghindari penularan HIV dan AIDS.
ADVERTISEMENT
Namun secara susunan kalimat, ayat ini tetap merupakan ayat yang ambigu. Ketika maksud upaya mengubah perilaku anak untuk menghindari HIV dan AIDS adalah dalam konteks penularan virus, maka seharusnya terdapat frasa “penularan” pada ayat tersebut - sebagaimana pada Pasal 37 (i) dan Pasal 38 (1)(a) PP No. 78/2021 yang memang secara eksplisit menulis “penularan.” Ketika memang membuat pasal yang mendukung pencegahan, seharusnya tidak menjadi timpang dengan kalimat yang rancu akan salah tafsir. Maksud salah tafsir disini tidak hanya sekedar misinterpretasi, tetapi dikhawatirkan mendukung perlakuan diskriminatif yang menstigmatisasi.
Komunitas ODHA dan ADHA sendiri sudah acap kali diasosiasikan dengan berbagai stereotip yang kurang baik. Dikhawatirkan salah tafsir ini justru mencerminkan pemerintah mendukung tumbuhnya bibit-bibit perilaku stigmatitatif dan diskriminatif dibandingkan merangkul komunitas ODHA dan ADHA. Sehingga, penggunaan bahasa dan kalimat yang baik serta dibubuhi penjelasan yang sejelas-jelasnya terhadap maksud perilaku untuk menghindari penularan HIV dan AIDS, dapat menjadi jawaban untuk menghindari bahasa yang tidak jelas atau ambigu serta rawan salah tafsir.
ADVERTISEMENT

Pasal 37 (k) PP No. 78/2021: Kritik terhadap Upaya Mencegah Penularan HIV dengan Menjauhkan Anak dari Pembuatan Tato

Upaya pencegahan terjadinya penularan HIV pada anak yang dimaksud pada Pasal 37 (k) PP No. 78/2021 ialah “menjauhkan Anak dari pembuatan tato.” Hal ini menjadi rancu ketika mengasosiasikan pembuatan tato dengan penularan HIV secara gamblang tanpa penjelasan; sedangkan tidak ada penjelasan dalam lampiran pasal tersebut. Apabila yang dimaksudkan ialah menghubungkan antara salah satu sumber penularan HIV dan penggunaan jarum berkali-kali, maka hubungannya dengan pembuatan tato lebih kepada penggunaan jarum yang terkontaminasi dengan darah dari individu yang sebelumnya bertato, atau penggunaan pewarna yang terkontaminasi dengan bahan lain seperti spons atau tisu yang digunakan untuk menyeka darah, dapat meningkatkan resiko penularan HIV. Akan tetapi, pada praktiknya, tidak semua bisnis tato ataupun sejenisnya menggunakan jarum atau alat yang sama berkali-kali. Berdasarkan hasil riset dari OHTN Rapid Response Service Kanada, rata-rata terjadinya penularan HIV melalui pembuatan tato ditemukkan pada pembuatan tato yang tidak aman, salah satunya yang terjadi di penjara. Sehingga, dibandingkan mengedukasi anak untuk tidak membuat tato, seharusnya upaya edukasi yang diberikan kepada anak ialah untuk meningkatkan kehati-hatian dan menanamkan pengetahuan bahwa “jarum yang dimasukkan ataupun digunakan pada tubuh kita harus dipakai satu kali saja dan tidak berkali-kali.” Dalam arti lain, poin yang harus disampaikan ialah perihal kehati-hatian dan kebersihan.
ADVERTISEMENT

Pasal 42 (2) PP No. 78/2021: Rekomendasi terhadap Kementerian Agama dalam membantu Upaya Pencegahan

Indonesia merupakan negara yang kental akan kultur, tradisi, dan pengaruh agama, tidak heran dalam Pancasila pun sila pertama adalah sila ketuhanan. Hal itu yang menyebabkan norma kesusilaan di Indonesia seringkali perlu diatur dalam segi keagamaan. Berdasarkan Laporan Perkembangan HIV AIDS dan Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) Triwulan I Tahun 2021, jumlah kumulatif ODHA sampai Maret 2021 sebanyak 427.201 orang, dengan jumlah anak dibawah 4 tahun sebanyak 1,2%, anak rentang 5-14 tahun sebanyak 0,5%, dan anak rentang 15-19 tahun sebanyak 2,7% dari jumlah kumulatif ODHA.
Pertimbangan tersebut mungkin yang menyebabkan pada Pasal 42 yang secara spesifik tertulis pada ayat (2), dikatakan salah satu badan kementerian yang perlu melakukan upaya pencegahan sebagaimana tertulis pada Pasal 37 adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama atau Kementerian Agama. Mengacu pada Pasal 37 PP No. 78/2021 sendiri, tidak ada satupun hal yang memiliki korelasi dengan bidang agama perihal pencegahan penularan HIV. Apabila maksud dari peran yang tertera pada Pasal 37 ayat (a) dan (j) PP No. 78/2021, maka terdapat beberapa rekomendasi yang dapat MIKKAT berikan kepada menteri yang bergerak pada bidang agama untuk membantu melakukan upaya pencegahan.
ADVERTISEMENT
Pertama, pendekatan untuk memberikan langkah preventif terhadap anak-anak dapat dilakukan dengan pendekatan halus yang berdasarkan pada norma kesusilaan tanpa harus secara keras menyentuh pada interpretasi keagamaan, terlebih yang bertumpu pada satu agama saja. Hal ini didasarkan pada studi dari Peter Mendel et al., yang menyatakan bahwa teologi non-fundamentalis (i.e., ilmu keagamaan yang tidak didasari oleh interpretasi ketat dari kitab keagamaan atau teks keagamaan) lebih penting bagi jemaat untuk terlibat dalam kegiatan pencegahan HIV. Kedua, upaya pencegahan yang dapat diberikan juga dapat dengan ajakan bagi kelompok-kelompok agama maupun tempat ibadah untuk mengadakan acara yang melibatkan orang-orang yang memiliki HIV, seperti mengadakan acara kesadaran dan pendidikan HIV/AIDS, program jemaat untuk Hari AIDS Sedunia, ataupun kegiatan dukungan materi atau sukarela untuk organisasi atau komunitas ODHA dan ADHA. Sehingga pendekatan yang diberikan lebih ke arah yang suportif dan berpartisipasi langsung.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, keterlibatan dalam hal terkait HIV membuat kita sadar akan HIV itu sendiri. Peran dari bidang keagamaan seharusnya bukan sebagai tempat untuk menakut-nakuti penyakit HIV atau ODHA dan ADHA, akan tetapi menjadi jaring aman bagi semua pihak dan kalangan, termasuk ODHA dan ADHA untuk berlindung dan mendapatkan sistem pendukung.

Pasal 40 (1) dan (2) PP No. 78/2021: Kritik terhadap Rehabilitasi yang Hanya Ditunjukkan pada ADHA

Pasal ini dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa program rehabilitasi pada ADHA dilakukan untuk mengembalikan kualitas hidup anak untuk menjadi produktif dengan cara pendampingan, mengkonsumsi obat teratur dan benar, konseling psikologi kesehatan, serta reintegrasi sosial. Namun satu hal yang kurang dari bagian rehabilitasi ini adalah peran masyarakat. Pada Pasal 1 (30) PP No. 78/2021, dikatakan reintegrasi sosial adalah proses penyiapan anak yang memerlukan perlindungan khusus untuk dapat kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat. Akan tetapi, pada kebanyakan kasus, justru yang memerlukan program ini adalah keluarga dan masyarakat. Banyak kasus ADHA yang justru anak-anak tersebut dibuang dan tidak diterima oleh keluarganya maupun masyarakat, bahkan dikeluarkan dari sekolah karena memiliki HIV. Sehingga, justru kesiapan dari masyarakat dan keluargalah yang diperlukan untuk perihal rehabilitasi.
ADVERTISEMENT
ADHA dapat tumbuh dengan baik dan produktif ketika mereka mendapatkan lingkungan yang dapat mendukung, baik dukungan untuk dapat patuh terhadap pengobatan terapi ARV ataupun membantu untuk hidup selayaknya anak pada umumnya. Reintegrasi sosial pada ADHA seakan-akan menggambarkan bahwa mereka merupakan anak yang berdosa sehingga perlu dipersiapkan untuk diterima di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sedangkan seharusnya beban tersebut diberikan kepada masyarakat dan keluarga untuk memberikan dukungan sepenuhnya dan menjaga ADHA untuk terus berkembang serta tidak dianggap berbeda dengan anak lainnya. Saran kami, dalam halnya rehabilitasi, keluarga dan masyarakat sekitarnya yang perlu dipersiapkan untuk dapat membantu program perlindungan kepada ADHA.
Kami percaya bahwa stigma dan diskriminasi terhadap ADHA pun akan turun dengan program reintegrasi sosial pada keluarga dan masyarakat, karena pada hakikatnya pengetahuanlah yang membantu langkah preventif penularan HIV.
ADVERTISEMENT

Penutup

Kehadiran PP 78/2021 ini tentunya merupakan sebuah berita yang baik dan perlu diapresiasi kedudukanya sebagai payung hukum bagi perlindungan kelompok rentan, dalam hal ini ialah anak-anak pada situasi dan kondisi tertentu yang membutuhkan perhatian lebih. Namun, niat dan upaya perubahan baik tersebut tentunya tidak luput dan tidak dapat dikecualikan dari kritik dan saran untuk mencapai pelaksanaan dan pengakomodasian perwujudan perlindungan yang lebih baik lagi. Sehingga harapannya, peraturan pemerintah ini tidak hanya berakhir menjadi sebuah peraturan dengan muatan formalitas belaka, tetapi juga dapat memberi dampak dan pengaruh yang berarti dan bermanfaat yang dapat dirasakan oleh kelompok sasarannya, salah satunya ADHA.
Referensi
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus bagi Anak
ADVERTISEMENT
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Laporan Perkembangan HIV AIDS & Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) Triwulan I Tahun 2021. No. PM.02.02/III/1371/2021, 25 Mei 2021.
Rapid Response Service. Rapid response: HIV risks associated with tattooing, piercing, scarification and acupuncture. Toronto, ON: Ontario HIV Treatment Network; August 2021.
Peter Mendel, et al. Congregational involvement in HIV: A qualitative comparative analysis of factors influencing HIV activity among diverse urban congregations. Social Science & Medicine Vol. 246, February 2021.