news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Rizieq Shihab, SP3, dan Akuntabilitas Penyidikan

Miko Ginting
Pengajar Hukum Pidana STH Indonesia Jentera
Konten dari Pengguna
28 Mei 2018 8:43 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Miko Ginting tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rizieq Syihab. (Foto: Reuters/Beawiharta)
zoom-in-whitePerbesar
Rizieq Syihab. (Foto: Reuters/Beawiharta)
ADVERTISEMENT
Kepolisian Daerah Jawa Barat menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap Rizieq Shihab pada kasus dugaan penghinaan Pancasila. Sebelumnya, ia ditetapkan sebagai tersangka pada 30 Januari 2017. Rizieq disangkakan melanggar Pasal 154 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait penodaan lambang negara dan Pasal 320 KUHP terkait penghinaan terhadap orang yang sudah meninggal (dalam hal ini Soekarno).
ADVERTISEMENT
Ketika ditetapkan sebagai tersangka, Kepolisian menyatakan sudah melakukan 3 (tiga) kali gelar perkara. Dengan mengundang 18 saksi dan ahli, penyidik akhirnya menyatakan perbuatan Rizieq Shihab sudah memenuhi unsur delik dan terdapat bukti yang cukup.
Dengan rangkaian perjalanan kasus demikian, maka menjadi aneh ketika lebih satu tahun berikutnya, penyidik menghentikan penyidikan perkara itu dengan alasan kurang bukti. Dari sudut pandang hukum acara pidana, muncul pertanyaan apakah bukti yang satu tahun lalu digunakan menetapkan yang bersangkutan menjadi tersangka berkurang atau tidak lagi menjadi bukti?
Berbeda halnya apabila penyidik menghentikan penyidikan dengan alasan bahwa perbuatan tersebut bukan tindak pidana. Meskipun untuk alasan ini tetap menjadi persoalan, mengapa tahun lalu tindak pidana dan tahun berikutnya bukan tindak pidana? Lain persoalan apabila penyidik menghentikan penyidikan dengan alasan tersangka meninggal dunia. Dalam konteks lain, secara hukum, penghentian penyidikan perkara ini hanya berlaku untuk kasus ini (penodaan Pancasila).
ADVERTISEMENT
Delik penodaan Pancasila: tidak ada
Monumen Garuda Pancasila. (Foto: Aprilandika Pratama/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Monumen Garuda Pancasila. (Foto: Aprilandika Pratama/kumparan)
Kurang lebih satu dasawarsa belakangan terdapat beberapa peristiwa dimana delik penodaan Pancasila coba digunakan. Pada 2011, dua orang pengurus serikat buruh metal, Erwin Agustian dan Eko Santoso, ditetapkan sebagai tersangka penghinaan Pancasila karena menggunakan lambang garuda pancasila pada stempel kepanitiaan pemilihan ketua serikat pekerja. Kedua orang itu lalu diputus hukuman percobaan selama 3 (tiga) bulan.
Selanjutnya, persoalan penghinaan Pancasila sempat menghangat pada 2016, ketika pedangdut Zaskia Gotik dilaporkan oleh anggota DPD, Fahira Idris, dan lembaga swadaya masyarakat, dengan sangkaan menghina Pancasila. Pelaporan ini tidak berujung pada penganugerahan gelar tersangka kepada Zaskia. Sebaliknya, ia dijadikan Duta Pancasila oleh Kementerian Pertahanan.
Isu penghinaan terhadap Pancasila juga sempat menjadi isu yang hangat akibat kurikulum Australian Defence Force diduga memasukkan muatan penghinaan terhadap Pancasila. Tindakan itu sempat menegangkan tensi hubungan antara Indonesia dengan Australia.
ADVERTISEMENT
Beda lagi halnya dengan kasus Sahat Gurning. Ia diduga menghina Garuda Pancasila sebagai lambang negara dengan menendang gambar yang menyerupai Garuda Pancasila. Ia juga menyatakan bahwa Pancasila menjadi "Pancagila". Pada April 2017, ia dibebaskan oleh Majelis Hakim dengan pertimbangan unsur lambang negara dan unsur niat jahat (mens rea) tidak terbukti.
Tak bisa disingkirkan bahwa terdapat perbedaan fakta dan perbuatan (feit) dari masing-masing kasus di atas. Namun, sama halnya dengan terdapat perbedaan penerapan hukum terhadapnya. Pada satu kasus, pelakunya ditetapkan sebagai tersangka. Pada kasus lainnya, pelakunya tidak ditetapkan sebagai tersangka.
Penerapan hukum yang berbeda-beda ini menjadi basis untuk kita mengajukan pertanyaan: apakah memang ada delik penodaan terhadap Pancasila? Secara hukum, tidak ada delik yang dinamakan dengan delik penodaan Pancasila. Hukum positif Indonesia hanya mengatur delik penghinaan/penodaan terhadap bendera dan lambang negara.
ADVERTISEMENT
Perbuatan menghina bendera dan lambang negara diatur pada Pasal 154 a KUHP dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Menurut Pasal 1 angka 3 UU tersebut, lambang negara adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Ketentuan ini diturunkan dari pengaturan Pasal 36 A Undang-Undang Dasar 1945.
Apabila dilihat lebih lanjut, menurut Penjelasan Pasal 46 UU tersebut, yang dimaksud dengan “Garuda Pancasila” adalah lambang berupa burung garuda yang sudah dikenal melalui mitologi kuno yaitu burung yang menyerupai burung elang rajawali. Ketentuan ini sama sekali berbeda dengan posisi Pancasila sebagai dasar negara bukan lambang negara.
Jelas sekali bahwa hukum positif Indonesia hanya "melindungi" Garuda Pancasila dari penodaan. Tidak ada ketentuan hukum pidana yang berlaku untuk penodaan Pancasila sebagai dasar negara. Dengan demikian, tidak ada perbuatan pidana (delik) soal penghinaan/penodaan Pancasila. Berbeda halnya, jika seseorang melakukan penodaan terhadap Garuda Pancasila. Setuju atau tidak setuju, hukum pidana Indonesia bisa menjerat perbuatan demikian.
ADVERTISEMENT
Standar akuntabilitas penyidikan
Rizieq Syihab. (Foto: AFP/Muhammad Azka)
zoom-in-whitePerbesar
Rizieq Syihab. (Foto: AFP/Muhammad Azka)
Penghentian penyidikan kasus Rizieq Shihab menunjukkan problem serius dalam hukum acara pidana Indonesia, yang penyidikan (termasuk tindakan penetapan tersangka) dan penghentiannya disandarkan pada diskresi penyidik. Diskresi berarti terdapat pilihan untuk mengambil atau tidak mengambil pilihan hukum tertentu.
Problem serius mengenai standar akuntabilitas penyidikan terlihat dari kewenangan penyidik yang dapat menetapkan tersangka dengan bukti permulaan yang cukup. Namun, dapat pula menghentikan penyidikannya dengan alasan kurang bukti atau bukan tindak pidana. Ini belum termasuk penundaan penyidikan tanpa alasan yang jelas (undue delay) sehingga hak tersangka menjadi terkatung-katung.
Secara hukum, penghentian penyidikan merupakan kewenangan yang dimiliki oleh penyidik sebagaimana diatur Pasal 7 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan, penyidik memberitahukan kepada penuntut umum bahwa penyidikan dihentikan secara hukum.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya Pasal 109 ayat (2) KUHAP sudah memberikan 3 (tiga) syarat dimana penyidikan suatu perkara dapat dihentikan, yaitu 1)tidak terdapat cukup bukti, 2)perkara tersebut bukan tindak pidana, dan 3)penyidikan dihentikan demi hukum. Namun, penentuan terpenuhi ketiga syarat itu diserahkan kepada penyidik. Penyerahan ini yang kemudian dieksekusi penyidik dengan balutan kewenangan diskresionalnya.
Terdapat sedikit ruang uji melalui mekanisme Praperadilan sesuai Pasal 77 KUHAP. Namun, mekanisme itu tidak efektif karena sifatnya yang post factum (sesudah peristiwa terjadi), tidak compulsory melainkan harus dimohonkan, dan pemeriksannya pro forma (menguji surat dan aspek administratif) belaka.
Situasi bahwa terdapat kewenangan penyidik yang besar ditambah dengan diskresi yang juga besar memunculkan celah penyalahgunaan kewenangan. Kondisi ini diperparah jika ruang uji dan akuntabilitasnya tidak sama besarnya dengan kewenangan dan diskresi itu.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, perlu diambil langkah serius untuk pembenahan hukum acara pidana Indonesia. Salah satunya adalah melalui perubahan terhadap KUHAP. Apapun pilihan mekanismenya, perlu ditimbang dengan perspektif memberikan ruang uji dan akuntabilitas terhadap kewenangan penyidik. Dalam hal ini, prinsip two eyes is better than one eye berlaku untuk membuka standar akuntabilitas penyidikan menjadi lebih lebar.
Miko Ginting Pengajar Hukum Pidana STH Indonesia Jentera Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)