5 Alasan Sekolah Homogen Enggak Kalah Keren

11 Oktober 2018 17:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Siswa SMA Kolese De Britto boleh berambut gondrong, Jumat (31/8/18). (Foto: Greg Adiloka)
zoom-in-whitePerbesar
Siswa SMA Kolese De Britto boleh berambut gondrong, Jumat (31/8/18). (Foto: Greg Adiloka)
ADVERTISEMENT
Enggak salah kalau sebagian besar dari kita bakal memicingkan mata saat dengar kata sekolah homogen. Maklum, di saat teman-teman SMA kebanyakan akrab dan berteman dengan lawan jenis di lingkungan sekolah, para murid di sekolah homogen justru sebaliknya. Temannya itu-itu saja, kalau enggak cewek semua, ya cowok semua.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan kemudian muncul, ‘Kira-kira, bagaimana rasanya belajar di sekolah yang satu gender semua? Bakal ngebosenin enggak, ya?’. Nah, daripada penasaran, mending kita tanya langsung orang-orang yang berkecimpung di sekolah homogen. Yuk!
1. Yang penting prestasinya
“Enggak masalah soal homogennya sih, yang penting prestasinya,” kata Christian Sandjaja, alumni SMA Kolese Kanisius Jakarta. Ia mengaku alasan masuk sekolah homogen karena sekolah tersebut memacu siswanya untuk berprestasi.
Sampai sekarang Christian enggak melihat ada hubungan antara sosialisasi di sekolah homogen dengan prestasi belajarnya. “Sampai sekarang pun ngelihatnya enggak masalah (sekolah homogen),” katanya.
2. Pergaulan lebih cair
Christian mengaku pergaulan di sekolah homogen lebih cair karena memang mereka akan lebih mengerti batasan satu sama lain. Para siswa juga jadi enggak canggung kalau bercanda.
ADVERTISEMENT
“Bercandaan jadi lebih cair karena cowok sama cowok, mungkin bakal beda cerita kalau cowok sama cewek. Misalkan, (bercandaaan) kayak dorongan kecil atau sentuhan,” kata Christian.
3. Lebih solid
Guru BK SMA Stella Duce 1 Yogyakarta, Alexandra Eko Suspriyatiningsih melihat bahwa para perempuan yang bergaul dengan perempuan lagi itu jadi lebih solid. Apalagi jika mereka sudah berada dalam komunitas tersendiri dalam sekolah homogen.
Soliditas laki-laki tampaknya berbeda lagi bagi Christian, katanya, “Mungkin (pergaulan) lebih lepas, karena kalau misalkan ada asumsi cowok enggak gampang ambil hati itu mungkin bisa dibilang benar juga.”
4. Bebas mengekspresikan diri
Siswa SMA Kolese De Britto boleh berambut gondrong, Jumat (31/8/18). (Foto: Greg Adiloka)
zoom-in-whitePerbesar
Siswa SMA Kolese De Britto boleh berambut gondrong, Jumat (31/8/18). (Foto: Greg Adiloka)
Di SMA Kanisius, Christian memaparkan hari Senin sampai Jumat para siswa dibolehkan memakai batik dan celana panjang bebas. Sedangkan di SMA De Britto, menurut Widi Nugroho selaku humas SMA tersebut, pakaian boleh bebas asal sopan, bahkan ramput pun diperbolehkan gondrong.
ADVERTISEMENT
5. Ada Semi Magang
Widi menjelaskan di SMA De Britto ada saatnya di mana para siswa harus belajar langsung dengan ikut bekerja di basis usaha yang ada di masyarakat. Misalnya mereka ditempatkan di sentra pembuatan batik, pembuatan mainan atau payung selama 4-5 hari.
“Jadi bukan soal membuat payungnya, tapi (belajar) menghargai kerja, lalu menghargai uang, menghargai ketekunan, jadi yang dilihat itunya,” kata Widi. Dari setiap kegiatan itu, maka para siswa akan diberikan refleksi apa yang bisa diambil hikmahnya dari sana.