5 Stereotip Mahasiswa Jurusan Aristek

11 September 2019 16:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Arsitek sedang menggambar. Foto: Pixabay/Andreas
zoom-in-whitePerbesar
Arsitek sedang menggambar. Foto: Pixabay/Andreas
ADVERTISEMENT
Mempelajari bidang Arsitektur, enggak kalah kerennya dari jurusan yang lain, seorang Arsitektur akan mempertimbangkan banyak hal untuk membangun sebuah bangunan. Makanya, enggak heran kalau anak yang masuk jurusan Arsitek ini, kerap kali dicap sebagai tukang bangunan.
ADVERTISEMENT
Seiring waktu, stereotip-stereotip tentang jurusan Arsitek ini terus bermunculan, mulai dari tukang bangunan sampai penghuni kampus sangat jelas diperuntukkan buat anak arsitek ini. Terus, apa aja, sih stereotip yang biasa didengar oleh mereka? Simak penjelasannya dari beberapa mahasiswa jurusan Arsitek di bawah ini, ya.
Tukang bangunan, terkadang menjadi gurauan untuk mahasiswa jurusan Arsitek ini, karena materi yang dipelajari adalah seputar bangunan. Padahal, menurut salah satu mahasiswa jurusan Arsitek, Universitas Gunadarma, mengatakan Arsitektur dan tukang bangunan tentu berbeda.
“Ya beda, orang lapangan pasti tahu bedanya pengelola (arsitektur) sama tukang bangunan, kita bedain dari warna helm. Nah, apalagi tugasnya, kalau seorang arsitektur itu terlibat dalam perencanaan, merancang, terus mengambil peran untuk memandu keputusan yang mempengaruhi aspek bangunan,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Sudah jelas, bukan? Jadi, teruntuk kamu yang suka menyamakan tukang bangunan dengan arsitektur, dua bidang tersebut adalah hal yang berbeda, ya.
Sebagai mahasiswa jurusan Arsitek, kamu akan pusing tujuh keliling dan rela enggak tidur, bahkan sampai harus menginap di kampus. Makanya, enggak heran kalau anak jurusan Arsitek mendapat julukan sebagai penghuni kampus.
“Ya, emang begitu kenyataannya, sih, kayak ngerjain project yang mepet deadline sampai malam, terus mau enggak mau harus selesain di kampus. Karena, dulu menurut gue, enggak kondusif kerjain di rumah dan apalagi kelompokkan juga,” ujar Jihan mahasiswi Arsitek, Universitas Pancasila.
Walaupun dulu harus begadang di kampus, tapi, zaman sekarang sudah dipermudah dengan serba digital kok. Kamu bisa mengerjakannya di rumah dan enggak perlu begadang di kampus lagi, palingan kamu jadi begadang di rumah?
ADVERTISEMENT
“Tapi sekarang setelah semester 4, gue pribadi lebih sering kerjain di rumah, sih, karena udah pake digital juga,” tambahnya.
Tahukah kalian, kalau masuk jurusan Arsitek akan mendapat proyek rancangan bangunan dan hal tersebut akan dinilai oleh dosen. Jika, dosen sudah berkata enggak, kita yang cuma butiran debu, mau gimana lagi?
Revisi-begadang-revisi-begadang, kegiatan yang terus-menerus terulang sampai dosen berkata “bagus”, hal ini merupakan alasan mahasiswa jurusan Arsitek mendapat julukan mental baja.
“Ya jelas aja sih, secara enggak langsung jadi anak Arsitek itu harus siap mental, siap uang juga buat ngulang tugas akhir sebanyak empat kali (mungkin), belum lagi dapat revisian mulu dari dosen” jelas Ryoichi Watanabe, mahasiswa Arsitek, Universitas Bina Nusantara
ADVERTISEMENT
Tapi menurut Ghibran sebagai mahasiswa jurusan Arsitek dan Desain Interior, Universitas Telkom menempa mental seperti baja bukan hanya dilakukan karena dosen saja, kok. Kemungkinan juga karena client yang membuat julukan mental baja ini semakin melekat.
“Terlebih lagi, bidang gue ini memfasilitasi orang-orang yang punya masalah dengan desain interior gitu, kayak, ada yang mau buat dapur gede atau punya kamar tidur gede tapi dapur kecil. Jadi, hal-hal yang kayak gitu, mendasari stereotip bermental baja karena permintaan si client,” tambah Ghibran.
Normalnya, mungkin tas mahasiswa jurusan lain berisi buku, pulpen, atau alat make up untuk sekadar untuk touch up. Hal ini tentu berbeda dengan mahasiswa jurusan arsitek, ya. Isi tasnya lebih mirip etalase toko alat tulis dengan berbagai macam ukuran pulpen dan pensil mulai dari pensil H, pensil B, 2B sampai pensil 8B tentu ada.
ADVERTISEMENT
Namun, menurut Nabila mahasiswi jurusan Arsitek, Universitas Gunadarma ini, julukan tersebut sudah enggak berlaku, karena serba digital, jadi tergantung kamu mau pakai cara manual atau digital?
“Kalau sekarang sih gue udah enggak gitu, pas tingkat satu gue pakenya manual jadi masih bawa-bawa alat tulis yang lengkap banget. Mungkin dijulukin kaya gitu karena, anak Arsitek punya beragam jenis alat tulis, jadi tas gue kaya lemari pensil. Tapi sekarang kan udah ada komputer, ya, meringankan lah,” jelasnya.
Kamu mungkin pernah lihat, mahasiswa arsitek yang selalu bawa benda hitam di punggungnya? Buat kamu yang belum tahu, pasti menebak-nebak atau berkelakar dengan berkata “kira-kira isinya apa, ya? pedang atau panah buat tawuran atau apa?”.
ADVERTISEMENT
Faktanya, itu cuma tabung gambar, kok, salah satu benda yang paling berharga bagi mahasiswa arsitek. Kalau seorang dokter, stetoskop diibaratkan sebagai jantung yang harus dijaga baik-baik, maka tabung gambar pun sama nilainya dengan jantung tersebut.
“Gampang aja tiap mahasiswa punya tablet buat tampilin hasil gambar. Tapi gimana sama kepuasan client? Ya, itu alasannya kita buat hard copy dan tabung, itu cara kita untuk jaga selembar ataupun berlembar, mulai dari kertas ukuran normal sampai upnormal. Kertas hasil gambar itu kayak anak kita sendiri, woi, segitu berharganya karena kita buat dengan perasaan, waktu, dan pemikiran yang matang,” jelas Fafa, mahasiswa jurusan Arsitek UNIKA.
Penulis: Aulania Silviananda