Fathia Izzati, Menemukan Jati Diri Lewat Perjalanan

28 Januari 2019 14:50 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Fathia Izzati berpose untuk kumparan (kumparan.com) di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta pada Senin, 14 Januari 2019. (Foto: M. Rezky Agustyananto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Fathia Izzati berpose untuk kumparan (kumparan.com) di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta pada Senin, 14 Januari 2019. (Foto: M. Rezky Agustyananto/kumparan)
ADVERTISEMENT
Fathia Izzati sangat suka bepergian.
Dia, boleh dibilang, terlahir untuk selalu traveling. Sebagai putri seorang diplomat, Fathia tidak asing dengan keharusan bepergian ke banyak negara. Dan sebagai seorang dewasa muda yang tak lagi bergantung kepada orang tua, jarak tempuh perjalanan Fathia semakin jauh — juga semakin tinggi.
ADVERTISEMENT
Namun bukan berarti kehidupan Chia, begitu ia lebih suka dipanggil — bahkan dengan mereka yang baru dikenalnya sekalipun — melulu tentang bepergian. Komitmen kepada Reality Club, grup band di mana ia tergabung sebagai vokalis, dan kanal YouTube-nya, yang kini sudah memiliki lebih dari 500 ribu pengikut, walau tak membatasi ruang gerak Chia, membuatnya tak bisa menjadi traveler spontan.
“[I’m] not that spontaneous,” aku Chia saat mengobrol panjang dengan kumparan (kumparan.com) di sebuah restoran di Jakarta pada Senin (14/1) lalu.
I wish I was. Sebenarnya [persiapan traveling] enggak detail banget. Tapi yang pasti masalah jadwal. Enggak bisa dadakan. Harus dipikirin. At least seminggu atau dua minggu sebelumnya.”
Agenda traveling Chia, sedetail-detailnya, hanya berisi daftar lokasi yang ingin dia kunjungi di tempat tujuan. Tidak mengikat dan tidak rumit dalam penentuannya. Namun soal berkemas, lain cerita.
com-Fathia Izzati bergaya untuk kumparan (kumparan.com) di sebuah restoran di Jakarta pada 14 Januari 2019 (Foto: M. Rezky Agustyananto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
com-Fathia Izzati bergaya untuk kumparan (kumparan.com) di sebuah restoran di Jakarta pada 14 Januari 2019 (Foto: M. Rezky Agustyananto/kumparan)
Chia seringkali bergulat dengan diri sendiri saat berkemas. Keinginannya: tak membawa banyak barang agar bisa bepergian dengan beban yang ringan; Kebutuhannya: berlembar-lembar pakaian demi terlihat mantap di setiap jepretan kamera.
ADVERTISEMENT
Untungnya, kini ia tidak begitu lagi.
“Sekarang gue udah tahu tipe yang mana,” ujar Chia. “Sekarang gue tipe yang enggak apa-apa bajunya itu-itu aja. It’s all about what you wear: kemeja putih atau kaus hitam, sama jeans atau rok, itu kan sebenernya bisa dijadiin delapan outfit berbeda. Tergantung dipadunya kayak gimana. Sekarang udah bisa light [packing].”
Alas kaki yang dibawa pun tak banyak. Selain sepasang sepatu, Fathia hanya membawa sepasang sandal jepit demi keleluasaan bergerak.
“Gue tipe orang yang bawa sepatu biasanya cuma satu [pasang]. Sama sandal jepit, biar kalau mau ngapa-ngapain gampang,” kata Chia.
“Gue selalu pakai Converse. Kalau enggak yang item — yang high tops — yang putih.”
ADVERTISEMENT
I think it’s really, really timeless,” ujar Fathia ketika ditanya kenapa dirinya begitu menggemari sneaker ini. “It’s so timeless, it’s so classic. Yang item apa lagi, the one that I always wear. Dan yang paling bagusnya kalau ngomongin Converse adalah: mau sekotor apa pun it still looks cool. Makin kotor makin keren kan. Makanya kalau gue lagi traveling atau apa, walaupun udah buluk dan segala macem, gue masih ngerasa tetep oke gitu.”
com-Fathia Izzati bergaya untuk kumparan (kumparan.com) di sebuah restoran di Jakarta pada 14 Januari 2019 (Foto: M. Rezky Agustyananto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
com-Fathia Izzati bergaya untuk kumparan (kumparan.com) di sebuah restoran di Jakarta pada 14 Januari 2019 (Foto: M. Rezky Agustyananto/kumparan)
“Dan masih nyambung banget,” lanjutnya. “Misalnya gue pake suit gitu, terus pakai Converse, it’s formal tapi jadi kayak, Oh, it has an edge. Pakai dress, Converse. Pakai jeans, Converse. So, masih masuk.”
Mendaki Kerinci
“Tapi naik gunung enggak pakai Converse,” aku Chia. “Kemarin itu naik gunung pertama jadi gue enggak pengen salah. Tapi ada lho temen gue pernah naik gunung pakai Converse, dan aman-aman aja.”
ADVERTISEMENT
Rekam jejak perjalanan Fathia menunjukkan bahwa sebanyak apa pun lokasi yang dia kunjungi, Fathia selalu bepergian ke kota atau pantai. Tetapi akhir tahun lalu Fathia melakukan hal yang belum pernah dia lakukan: mendaki gunung.
“Sebenarnya dari dulu emang pengen. Karena itu sesuatu yang very, very out of my element. Belum pernah. Biasanya kan anak pantai. Terus pengen aja nyoba,” cerita Chia tentang tujuan traveling terakhirnya yang sangat berbeda dari destinasi yang biasa ia kunjungi.
Fathia Izzati saat diwawancarai kumparan (kumparan.com) di sebuah restoran di Jakarta pada Senin, 14 Januari 2019. (Foto: M. Rezky Agustyananto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Fathia Izzati saat diwawancarai kumparan (kumparan.com) di sebuah restoran di Jakarta pada Senin, 14 Januari 2019. (Foto: M. Rezky Agustyananto/kumparan)
“Temen gue ada yang anak gunung banget. Terus gue cuman nyeletuk waktu itu, ‘Eh kalau naik gunung ajak-ajak dong’. Terus beneran diajak. Nama gue ditulis di itinerary. Jadi ya udah, why not.”
Untuk seorang pemula, Fathia mengambil langkah yang sangat berani. Gunung pertamanya adalah Gunung Kerinci, gunung tertinggi di Sumatra sekaligus gunung berapi tertinggi di Indonesia — dengan titik tertingginya mencapai 3.805 mdpl. Selama dua pekan sebelum pendakian, Chia rutin lari pagi. “Karena kemarin pertama kali gue naik gunung gue pengen semuanya ready. Gue enggak pengen sakit kaki atau apa pun kan,” ujar Chia.
ADVERTISEMENT
Segala persiapannya berbuah manis. Chia menginjakkan kaki di puncak Gunung Kerinci dan pulang membawa pemahaman yang lebih baik tentang diri sendiri.
“Yang banyak gue pelajari dari diri gue [selama mendaki] adalah gue enggak banyak ngeluh,” ujar Fathia. “I know that I will be tired, tapi ternyata tingkat capek gue tuh lebih dari yang gue kira. Dan itu baru tahu pas ngeliat temen-temen yang udah kecapekan.
So that’s what I learned about myselfbut what I learned about other people is that semua orang itu gengsian banget. Misalnya kaki lo sakit tapi lo enggak mau bilang. Ya, enggak apa-apa, itu juga bisa jadi dorongan diri sendiri kan. Gue tahu ada satu orang yang udah sakit banget tapi dia tetep push, so, ya, gengsi can be a good thing untuk naik gunung. Asal enggak ngerepotin temen-temen.”
Fathia Izzati berpose untuk kumparan (kumparan.com) di sebuah restoran di Jakarta pada Senin, 14 Januari 2019. (Foto: M. Rezky Agustyananto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Fathia Izzati berpose untuk kumparan (kumparan.com) di sebuah restoran di Jakarta pada Senin, 14 Januari 2019. (Foto: M. Rezky Agustyananto/kumparan)
Dengan selesainya pendakian Kerinci, lengkaplah perjalanan Fathia: kota, pantai, gunung. Namun tak berarti Fathia akan berhenti di sini. Pendakian pertama begitu berkesan hingga Fathia sudah merencanakan pendakian berikutnya.
ADVERTISEMENT
“Temen gue ngajakin ke Everest, sih,” ujar Fathia tentang rencana pendakian berikutnya. “Tapi ke base camp doang.”
Sebuah rencana yang begitu ambisius, meski bukan sesuatu yang mengejutkan. Fathia memang hidup dari perjalanan ke perjalanan.
I feel like traveling is a way to get lost but also find yourself,” ujarnya. “It’s contradicting but it makes sense. You get lost, but you find new part of yourself that you didn’t realise before.”
Artikel ini merupakan hasil kerja sama dengan Converse.