Mempelajari Agama dan Budaya di Kelas Multikultural di Pangandaran

27 Maret 2018 12:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pendiri Kelas Multikultural, Ai Nurhidayat (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pendiri Kelas Multikultural, Ai Nurhidayat (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Pendidikan itu bukan sekadar memperoleh nilai akademis. Pendidikan butuh pengalaman tentang toleransi. Untuk apa nilaimu bagus tapi hatimu kosong?” kata Ai Nurhidayat, pendiri kelas multikultural di Jakarta, Sabtu (24/3) sore.
ADVERTISEMENT
Begitulah cara Ai merayakan keberagaman Indonesia. Pria kelahiran Ciamis, 22 Juni 1989 ini memilih untuk kembali dan membangun kampung halamannya di Desa Cintakarya, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Baginya, urbanisasi hanya akan membuat ketimpangan desa dan kota semakin jelas.
Kisah perjalanan karier Ai dimulai saat dia bersama teman-teman yang tergabung dalam komunitas Sabalad memegang yayasan sekolah yang hampir bangkrut. Sekolah ini diakuisisi dan mengganti manajemennya, lalu diserahkan untuk dikelola oleh komunitas Sabalad yang didirikan oleh Ai.
“Komunitas Sabalad ini berdiri tahun 2013 dan bergerak di bidang pendidikan. Motto kami adalah mencari ilmu selama-lamanya, mencari kawan sebanyak-banyaknya. Karena itu, kami aktif mengajar ke sekolah-sekolah dan memiliki jaringan, sampai pada akhirnya mengajar di sekolah yang hampir bangkrut tadi,” tambahnya.
Siswa SMK Karya Bhakti (Foto: Nugrho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Siswa SMK Karya Bhakti (Foto: Nugrho Sejati/kumparan)
Ai dan teman-teman pun mendatangkan sejumlah remaja dari 11 provinsi di Indonesia berlatar belakang budaya dan agama berbeda-beda ke sekolah yang mereka namai SMK Bakti Karya Parigi, Jawa Barat. Sejumlah pelajar ini disekolahkan dalam kelas multikultural dengan beasiswa penuh selama tiga tahun. Asrama, makan, serta biaya tiket pergi pulang gratis.
ADVERTISEMENT
“Sejak tahun 2016, saya ditunjuk jadi ketua yayasan. Sejak saat itu, saya bersama teman-teman merancang sebuah program agar sekolah ini bisa menjadi tempat pertemuan para pelajar dari berbagai daerah secara gratis. Akhirnya, tercetuslah program kelas multikultural ini,” tuturnya.
Lebih lanjut, dia menambahkan bahwa kelas multikultural diharapkan bisa memecah berbagai persoalan bangsa yang terjadi di kalangan masyarakat, salah satunya adalah prasangka buruk kesukuan yang sering terjadi.
Menurut Ai, masalah prasangka sering terjadi di kalangan anak bangsa sekarang ini. Dia mencontohkan bagaimana orang Jawa memandang orang Papua. Karena itu, Ai ingin membawa para siswa dari berbagai latar belakang yang berbeda untuk saling memahami satu sama lain.
Selain bisa saling mengenal dan memahami, mereka juga diajarkan untuk bisa bergaul dengan para pelajar dari luar daerahnya. Sehingga, penerimaan perbedaan ini enggak hanya sekedar imajinasi, tetapi bisa terwujud.
ADVERTISEMENT
“Imajinasi tentang kebangsaan dan ke-Indonesia-an ini sebenarnya mereka sudah tahu. Dari peta, dari buku, dan dari pelajaran di sekolah. Tapi, kadang begitu mereka lihat perbedaannya secara nyata, kaget,” ucapnya.
Hal ini senada dengan yang diucapkan oleh Hosea, salah seorang siswa SMK Karya Bakti asal Jayawijaya, Papua, saat berlajar bersama teman-teman dari latar belakang suku dan agama lain. Hosea sempat merasa kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Dia bahkan bercerita tentang lingkungan kehidupan keras yang dia jalani sempat terbawa.
“Di sini saya bisa belajar banyak hal. Tentang perdamaian, tentang saling menghargai dan bertoleransi,” katanya kepada kumparan (kumparan.com).
Implementasi di dunia nyata
Enggak hanya menyediakan fasilitas hidup dan pendidikan bagi para muridnya, Ai dan teman-teman juga berusaha untuk memajukan pemikiran siswa dalam hal teknologi. Meski masih tergolong langka, Ai berusaha agar para siswanya bisa terkoneksi dengan dunia lewat teknologi.
ADVERTISEMENT
Terbukti, pada 18 November lalu, SMK Bakti Karya Parigi menandatangani MOU dengan Scola.id, sebuah start up di bidang IT bagi sekolah-sekolah di Indonesia.
“Dengan adanya kerja sama ini, SMK Bakti Karya dapat menjadi salah satu sekolah yang unggul, tidak hanya karena konsep multikulturalnya, tapi juga dengan IT support system yang mumpuni,” ucap Ai.
Kepala sekolah SMK Bakti Karya Parigi, Irpan Ilmi, mengatakan bahwa ada 60 materi multikulturalisme yang tergabung dalam setiap mata pelajaran yang sudah ada. Ke-60 materi ini dirumuskan dalam lima konsep dasar, yakni sikap toleransi, perdamaian, aktif dalam berinteraksi, terkoneksi, dan eksplorasi budaya.
Kepala SMK Karya Bhakti, Irpan (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kepala SMK Karya Bhakti, Irpan (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
“Untuk merayakan perbedaan dan merumuskan perbedaan itu bukan hal yang sebatas teori, tapi bisa diwujudkan. Dan ketika ada satu konflik, setiap individu tidak menjadi problem maker, tetapi problem solver,” kata Irpan.
ADVERTISEMENT
Menurut Irpan salah satu contoh implementasi dari kelas multikultural di dunia nyata adalah saat para murid di sekolahnya mencoba ‘menyembuhkan’ seorang siswa yang kesurupan.
“Murid yang kesurupan ini beragama Islam, tapi yang mengobati justru temannya yang beragama Kristen,” tuturnya sambil tertawa.
Enggak kalah menarik, Ai juga menceritakan pengalaman yang pernah dia lihat sepanjang memimpin Yayasan Darma Bakti Karya ini. Salah satunya adalah saat Ai melihat siswanya yang beragama Kristen ikut hadir dalam perayaan ritual budaya Maulid Nabi.
“Kelas multikultural ini menghadirkan pengalaman, menyempurnakan imajinasi-imajinasi tentang kebangsaan. Sehingga para siswa kita itu kaya, enggak hanya teori tetapi juga pengalaman kebangsaan yang beragam” tutup Ai.