"Ode Tusuk Konde", Kisah Penyintas Kekerasan Seksual

11 Desember 2017 10:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ode Tusuk Konde (Foto:  Dok. TW.Utomo)
zoom-in-whitePerbesar
Ode Tusuk Konde (Foto: Dok. TW.Utomo)
ADVERTISEMENT
Kecanggihan teknologi tidak melulu dimaknai negatif. Lewat berbagai media, kini para penyintas kekerasan seksual mencoba angkat suara menentang ketidakadilan yang menimpa kalangan perempuan.
ADVERTISEMENT
Langkah itu dibuktikan lewat pementasan teater bertajuk “Ode Tusuk Konde” yang digelar pada Minggu (10/12) malam di Goethe Institut Jakarta, Pementasan drama musikal ini diadakan dalam rangka memperingati 16 Hari antikekerasan terhadap perempuan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta bersama Forum Suara Penyintas.
Cerita berdurasi 100 menit itu dibuka lewat penampilan Angie “Virgin” yang berperan sebagai Mak Ecih. Dikisahkan dalam cerita ini, Mak Ecih merupakan sosok penari ronggeng yang diperkosa secara bergilir oleh para serdadu Jepang hingga hamil. Tidak ada satu pun dari antara serdadu tersebut yang mau bertanggung jawab atas kehamilan Mak Ecih.
“Aku sudah kotor! Tidak ada satu pun yang bertanggung jawab. Mereka menggilirku dan menyuruhku menari di hadapan mereka. Kata mereka, “Sudahlah Yakunka. Nikmati saja.” teriaknya dari bawah lampu sorot kuning malam itu (10/12).
ADVERTISEMENT
Mak Ecih kemudian memutuskan untuk kembali ke kampung dan menceritakan kejadianyang menimpanya pada keluarga. Alih mendapat dukungan, Mak Ecih justru diusir dan dipandang jijik oleh seluruh warga kampung. Ia pergi dengan rasa bingung dan panik, keluarga sebagai satu-satunya tempat yang ia harapkan, kini juga turut menyudutkannya.
Hingga Mak Ecih membuat sebuah kampung bernama Kampung Jugun yang kemudian dipimpin oleh anaknya, Nyi Keshi. Kampung Jugun menjadi kampung yang ramah bagi para penyintas. Di sini, perempuan korban kekerasan dappat menjalani hidup dengan rasa aman dan tanpa stigma.
Penonton tak bergeming. Semua mata tertuju pada sosok tubuh kurus yang sibuk berorasi selama hampir 20 menit itu. Tak jarang, Angie juga meraung dan terisak. Seolah ia larut dalam peran yang ia bawakan. Ode Tusuk Konde merupakan sebuah pementasan panggung teater yang sarat akan banyak makna. Salah satunya menentang stigma negatif masyarakat terhadap korban kekerasan seksual.
Ode Tusuk Konde (Foto:  Dok. TW.Utomo)
zoom-in-whitePerbesar
Ode Tusuk Konde (Foto: Dok. TW.Utomo)
Kisah Mak Ecih tadi barangkali bukan hal yang satu atau dua kali terjadi, tetapi berkali-kali. Hingga dunia pun menyorot ketidakadilan pada korban kekerasan seksual lewat berbagai hal, salah satunya tagar #MeToo yang sempat populer. Bahkan sampul Majalah Times di pengujung tahun ini menampilkan gambar para wanita, korban kekerasan seksual, yang berani angkat suara lewat “The Silence Breaker”.
ADVERTISEMENT
Langkah-langkah gerakan ini diambil untuk menyuarakan bahwa menjadi seorang penyintas, bukan perkara kamu melapor bahwa telah dilecehkan saja. Ada trauma psikis dan stigma masyarakat yang harus dilawan. Tidak heran kalau diam justru menjadi satu-satunya jalan yang dilakukan oleh perempuan penyintas.
Catatan tahunan penanganan kasus LBH APIK Jakarta selama 5 tahun terakhir menyebut bahwa terdapat 3.792 kasus di wilayah DKI Jakarta yang ditangani oleh lembaga tersebut. Pengalaman LBH APIK Jakarta dalam melakukan pendampingan juga masih menemukan bahwa korban kekerasan seksual masih dipersalahkan dan dianggap merusak moral sosial. Padahal, para korban tersebut justru mengalami banyak kerugian, mulai dari proses hukum hingga kehidupan bermasyarakat.
Tidak jarang juga para korban harus kehilangan pekerjaan, putus sekolah, dipersalahkan (reviktimasi), atau pun dilaporkan secara hukum oleh pelaku. Sehingga kehidupan mereka berubah. Lagi-lagi, dampak yang bisa terjadi adalah depresi hingga percobaan bunuh diri.
ADVERTISEMENT
Sinergi Semua Pihak
Indonesia, khususnya DKI Jakarta, harus menjadi rumah yang ramah bagi para penyintas kekerasan seksual di kalangan perempuan. Kurangnya pemahaman di masyarakat, bahwa saat terjadi sebuah pelecehan seksual, tidak hanya perempuan yang harus disalahkan, menjadi sebuah momok yang harus diperbaiki secara bersama.
Hal ini diungkapkan oleh Ikhaputri Widiantini, Dosen Filsafat Universitas Indonesia. Ia mengatakan, umumnya masyarakat terlalu fokus pada apa yang dilakukan atau hal-hal atributif korban. Seperti, korban berpakaian seperti apa dan alasan mengapa korban pulang larut malam.
“Sepertinya kita masih terjebak dalam pola pikir patriarkal yang terkait etika keadilan. Jadi, dalam etika keadilan itu selalu mengandaikan kalau misalnya ada terjadi kejahatan, maka harus ada bukti. Misalnya kalau kasus pencurian, saya melakukan tindakan pencurian, maka harus ada barang bukti pencuriannya dong. Tetapi kalau dibilang saya dilecehkan, dan tidak bisa memberi bukti tentang apa yang dilecehkan itu bagaimana. Kayaknya, tentang kekerasan seksual itu sulit untuk membahas dari sisi bukti.” tuturnya.
Ode Tusuk Konde (Foto:  Dok. TW.Utomo)
zoom-in-whitePerbesar
Ode Tusuk Konde (Foto: Dok. TW.Utomo)
Ikhaputri juga berpendapat bahwa ada kekerasan inheren yang tidak bisa dilihat secara fisik oleh masyarakat umum saat terjadi pelecehan seksual. Karenanya, perlu diberlakukan undang-undang pelecehan seksual secara khusus di luar dari peraturan yang ada biasanya. Hal ini bisa membantu perempuan penyintas kekerasan seksual untuk lebih mudah keluar dari traumatis yang ia alami.
ADVERTISEMENT
“Kalau peraturannya saja masih sama dengan peraturan lainnya yang sudah ada, maka tidak akan pernah memihak pada perspektif perempuan yang notabene menjadi korban kekerasan seksual.” tambahnya lagi.
Satu-satunya pilihan, adalah dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kejahatan Seksual sesegera mungkin. Penggodokan perihal isi dari peraturan tersebut harus dilakukan secara matang dan jeli.
Jangan sampai, peraturan tersebut nantinya justru hanya berfokus pada hal-hal sepele yang menyudutkan perempuan yang banyak menjadi korban kekerasan seksual saat ini, seperti pertanyaan Apa baju yang kamu kenakan? Apakah kamu menikmatinya? Atau bahkan mengapa kamu pulang hingga larut malam?
Selain itu, masyarakat juga harus diberi edukasi memadai terkait pelecehan seksual yang banyak menimpa kaum perempuan itu. Menjadikannya sebagai bahan cibiran atau mengasingkan mereka, justru semakin memperparah trauma psikis yang dialami oleh korban perempuan. Identiknya citra perempuan nakal dengan korban pelecehan menjadi fenomena terbalik, yang harus segera diatasi segera mungkin.
ADVERTISEMENT
“Pemerintah harus mengubah rancangan undang-undang tentang pelecehan seksual tersebut, aparat konsisten menjalankan penegakan hukum, dan masyarakat diberi edukasi tentang pegangan-pegangan nilai yang menyudutkan korban sudah tidak sesuai dengan masa sekarang,” terang Ikhaputri.
Ode Tusuk Konde (Foto:  Dok. TW.Utomo)
zoom-in-whitePerbesar
Ode Tusuk Konde (Foto: Dok. TW.Utomo)
Ode Tusuk Konde malam itu ditutup dengan adegan memilukan dramatis dari dua tokoh yakni Kembang dan Ompe. Kembang merupakan anak yang lahir dari wanita korban perkosaan dan dirawat oleh Nyi Kesih. Ia tumbuh menjadi gadis cantik yang lihai menari ronggeng. Kabar ini pun terdengar hingga ke telinga Ompe, sang raja yang berkuasa di negeri itu. Ompe pun meminta Kembang untuk menari dalam istananya.
Kembang menyanggupi dengan satu syarat, bahwa ia akan menari setelah menemukan tusuk konde warisan Mak Ecih yang terdapat di bawah kaki gunung yang tidak memiliki mata air.
ADVERTISEMENT
Setelah berhasil mendapatkannya, Kembang justru membuat Ompe sadar bahwa sebagai lelaki, ia harus mengetahui kewajibannya untuk melindung wanita. Ompe juga disadarkan, bahwa selama ini ibunya berdoa agar dirinya lahir dalam keadaan cacat, tanpa tangan, tanpa kaki, tanpa mulut, tanpa mata, tanpa pendengaran, hanya agar ia tidak salah dalam menggunakan kekuasaannya dan posisinya sebagai laki-laki.
“Saya mengerti, dengan tangan ini, saya sudah banyak menyengsarakan warga. Dengan mulut, saya sudah banyak berkata kasar, dengan semua komunitas marga satwa. Kini, doa Ibu waktu itu, yang justru menangis saat melihat saya lahir dalam keadaan lengkap, justru harusnya memang dikabulkan. Agar tidak banyak air mata yang tumpah karena kelakuan saya,” ucap Ompe sambil tersungkur di bawah kaki Kembang.
ADVERTISEMENT
“Tusuk konde dan konde ini saling melengkapi. Mereka tidak bisa hidup berdampingan. Jika konde adalah laki-laki atau perempuan, maka dia hendaknya menguatkan dan memberikan rasa aman terhadap korban kekerasan. Jika tusuk konde ini adalah kekuasaan, maka dia hendaknya membuat hukum-hukum, kebijakan-kebijakan untuk melindungi korban kekerasan,” tutup Kembang yang juga menjadi penanda berakhirnya teater musikal tentang korban kekerasan perempuan itu.
Gedung Goethe Institut pun sontak dipenuhi tepukan riuh penonton yang menyaksikan jalannya pentas"yang berlangsung hingga pukul 22.00 WIB.