QnA Cania Citta Irlanie: Political Vlogger Milenial yang Jago Bermusik

25 Januari 2019 20:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Cania Citta Irlanie, political vlogger. (Foto: Agaton Kenshanahan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Cania Citta Irlanie, political vlogger. (Foto: Agaton Kenshanahan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang vlogger yang masih berstatus mahasiswa, Cania Citta Irlanie memilih jalan berbeda saat menampilkan dirinya di YouTube. Kalau para vlogger muda seusianya memilih membahas topik-topik ringan seperti makanan, game, atau kecantikan, cewek yang akrab disapa Cania ini justru malah membahas topik 'berat', yakni politik.
ADVERTISEMENT
Dari penampilan monolog sampai berduet dengan beberapa tokoh ternama pernah Cania lakukan di vlog politik yang ia asuh. Umumnya, cewek kelahiran Jakarta, 14 Januari 1995 ini menyuarakan kritik atas isu-isu politik kekinian.
Tapi sebenarnya gimana, sih, pandangan politik, tokoh idola, sampai sosok personal Cania sendiri sebagai anak muda? Yuk, simak obrolan kumparan dengan Cania saat ditemui di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan (23/1).
Banyak perempuan yang memilih sebagai beauty vlogger atau food vlogger, kenapa milih jadi political vlogger?
Pertama, sih, gini, background-nya aku kuliah Ilmu Politik aku merasa ada tanggung jawab sosial di sana untuk membuat ilmu yang aku dapat di kampus lebih mudah diakses oleh orang lain. Karena, kan, kita harus akui enggak semua orang punya kesempatan untuk kuliah dan di Indonesia ini pendidikan politik sangat kurang.
ADVERTISEMENT
Di sekolah kalau kita belajar PPKn, misalnya, itu enggak ada pendidikan politiknya. Dalam PPKn itu kita cuma tahu misalnya Undang-undang negara kita apa, Pancasila apa, terus kalau bertenggang rasa terhadap tetangga kayak gimana. Tapi pendidikan politiknya enggak sampai seperti itu.
Kita harus punya literasi terhadap bagaimana proses politik itu berlangsung. Nah, dari situ aku punya dorongan, sebenarnya dorongan awalnya pribadi aja, sih, untuk coba berkontribusi buat ilmu politik mudah diakses oleh orang lain.
Cuma untuk punya dorongan itu sebenarnya aku juga dapat motivasi dari orang-orang sekitar. Waktu itu, sih, teman-teman dari (Komunitas) Salihara, kayak Mbak Ayu Utami, kemudian teman-teman intelektual kayak Mas Ulil Abshar, Mas Luthfi Assyaukanie dan yang lainnya.
ADVERTISEMENT
Mereka mendorong aku karena awalnya aku menulis di media. Tulisanku awalnya enggak ada tujuan edukasi tapi aku berpendapat aja. Dan itu semua pakai kerangka pemikiran politik, tapi mereka mendorong aku, bilang bahwa daya menulis aku sebenarnya bisa lebih gede dari ini. ‘Lo punya daya untuk bisa mencerahkan orang,’ kata mereka. Bahwa tulisan lo tuh bisa membuat orang memahami ini.
Jadi akhirnya dari situ gue dapat dorongan untuk mesti lebih ke melayani publik, nih dibandingkan cuma buat berkarya buat diri gue sendiri doang. Dari situ bikin tulisan yang emang buat mengedukasi orang.
Mulai dari yang dasar dulu, jadi setiap kali gue nulis ada konsep-konsep politik itu masuk. Nah, terus gue dipanggil untuk jadi editor. Ketika gue dipanggil buat jadi editor di Geotimes, ternyata mereka punya kanal YouTube yang bisa gue kelola, terus gue ditawarin untuk mengelola kanal YouTube-nya.
ADVERTISEMENT
Dari situ baru akhirnya gue berpikir untuk stick dengan isu politik tapi pindah, konversi ke video. Video gue kenapa arahnya ke political vlog, ya karena gue berangkat dari narasi-narasi gue selalu seputar isu-isu politik.
Sebagai anak muda milenial, politik menurut kamu itu apa, sih?
Politik adalah cara manusia untuk mengagregasikan kepentingan-kepentingan mereka dalam suatu aturan main bersama yang membuat kehidupan antarmanusia di ruang publik berjalan secara sehat dan beradab.
Kenapa, sih, anak muda harus berpartisipasi aktif dalam politik?
Karena proses politik itu adalah upaya negosiasi kita antara satu manusia dan manusia lain untuk bikin aturan main bersama. Nah, aturan main bersama ini akan mengikat kita di manapun, dalam konteks ini di ruang publik, ya. Dan mungkin dalam kondisi negara tertentu bahkan sampai ke ruang privat.
ADVERTISEMENT
Kayak misalkan di Korea Utara, sampai rambut kita saja bisa diatur oleh politik. Aturan main bersama ini bentuknya harusnya kesepakatan, makanya dalam politik kita kenal istilah konsensus. Sebenarnya kita itu mau bikin konsensus-konsensus, nih, dalam negara ini. Mulai tingkat RT, tingkat desa, sampai tingkat pusat kita mau sepakatin, nih.
‘Oh gue maunya kalau menyeberang jalan harus zebra cross, menyeberang jalan harus di jembatan penyeberangan, lampu merah harus berhenti dan sebagainya. Ini semua, kan, kesepakatan-kesepakatan yang hanya bisa kita tuh bisa mendorong kepentingan kita dengan berpartisipasi dalam proses negosiasinya.
Apalagi justru anak muda gitu. Bagaimanapun juga kita terkenal dengan adanya gap generasi, yah, maksudnya ketika anak muda sebagai digital native, lah beda dengan generasi sebelumnya yang pre-digital. Ada sebagian orang di pre-digital yang jago banget digital, tapi kan kebanyakan enggak.
ADVERTISEMENT
Kalau anak muda udah lahir dengan teknologi yang lebih baru. Nah, arah aturan main bersama kita itu harusnya semakin maju. Kalau anak muda sebagai generasi yang lebih baru enggak ikutan partisipasi (politik), bisa-bisa aturan main kita malah makin mundur dan tidak kontributif terhadap kebutuhan generasi baru.
Kita, kan, mau menginisiasi teknologi, inovasi baru, berbagai macam cara kerja yang baru. Gimana kita sekarang bikin perusahaan yang mobile/remote. Zaman dulu mana ada kerja di rumah, liburan ke Bali sambil kerja juga via internet. Dulu, kan, enggak ada kayak gitu.
Nah, sekarang gimana nih kita sekarang bikin regulasi pekerja yang di mana kita bisa bikin supaya perusahaan itu enggak mengharuskan karyawannya untuk (kerja) 9 to 5. Ada aturan-aturan baru seperti ini, kan? Aturan-aturan yang biar bisa lebih cocok lagi untuk iklim perubahan zaman yang lebih maju lagi.
ADVERTISEMENT
Kalau misalnya anak muda enggak partisipasi, ya jangan heran dong kalau aturan mainnya tetap begitu aja enggak berubah-ubah. Enggak mengakomodir kepentingan anak muda, kepentingan-kepentingan generasi baru, dan membuat iklim sosial politik publik yang bisa mendorong kita juga untuk berinovasi.
Kalau melihat permasalahan di Indonesia secara keseluruhan, apa yang menjadi keresahan kamu?
Keresahanku adalah pertama adanya gap yang jauh antara pendidikan dengan kebutuhan zaman. Karena pendidikan itu tempat untuk membentuk cara pikir kita, cara kita melihat dunia, cara kita beroperasi dalam berinteraksi dengan realitas. Jadi ada realita, ada alam, nah kita berinteraksi dengan dia dengan cara apa, nih?
Ketika pendidikan kita gap-nya terlalu jauh dengan zaman yang semakin maju berarti proses pembentukan sumber daya manusia kita akan gagal menjawab tantangan zaman. Itu menurut aku masalah terbesar di Indonesia sekarang.
ADVERTISEMENT
Aku juga sekarang lagi membantu di Zenius Education untuk mendorong Ed-tech karena dia online education untuk bisa mencoba mempercepat perbaikan ini, jadi menutup gap antara pendidikan dan kebutuhan zaman.
Kalau misalnya kita lewat offline, tentunya prosesnya jauh lebih panjang dan lebih costful, karena satu guru hanya bisa mengajar 40 anak paling maksimal. Tapi kalau dengan online seperti ini karena sudah ada teknologinya juga, kita harus memanfaatkan teknologi secara optimal, kita kejar untuk supaya satu orang guru bisa 40 juta orang. Kita perbaiki substansinya, kita sebar ke 40 juta orang (siswa).
Karena ketika gap pendidikan ini kalau sudah selesai, baru kita bisa secara peradaban secara umum bisa maju. Kalau sumber daya manusianya ketinggalan di 1.500 tahun lalu sementara teknologinya sudah maju enggak karu-karuan, ya enggak bisa.
ADVERTISEMENT
Ngomongin pilihan politik, nih. Pilpres sudah ada pilihan atau masih ngikutin proses kampanye? Debat, misalnya?
Aku sih gini orangnya, aku selalu terbuka pada data-data baru, pada kemungkinan baru. Apapun selalu terbuka. Kalaupun misalnya sudah ada pilihan, ya sampai hari-H (pilpres) aku akan terus terbuka dengan perubahan.
Sekarang aku sudah ada kecenderungan lah kayaknya kira-kira akan milih (calon) ini. Pasti dalam prosesnya aku akan selalu terbuka dengan mungkin ada temuan kemungkinan baru ada mungkin nanti ada sikap-sikap politik yang ternyata enggak sesuai dengan harapanku misalnya sepanjang menuju sampai 17 April ini, ya kulihat lagi.
Kalau nanti harus pindah haluan juga enggak ada masalah.
Katanya selain suka politik, juga hobi bermusik, nih?
ADVERTISEMENT
Iya. Sebenarnya bukan hobi, sih, aku memang sudah kerja profesional sebagai pemain piano dan pemain keyboard sejak 2008. Karena aku besar dari keluarga menengah ke bawah. Jadi ibuku itu single parent dan cukup susah secara finansial. Jadi waktu aku SMP, aku udah mulai kerja cari uang dengan main piano di kafe atau di pernikahan.
Berikutnya setelah SMA aku mulai ngajar juga. Jadi selain perform musik, ngajar musik, Bahasa Inggris, dan ngajar matematika. Terus main musiknya sampai sekarang kadang-kadang kalau masih dipanggil buat pernikahan, buat ulang tahun boleh, tuh. Jadi kalau teman-teman kumparan ada yang ulang tahun, boleh nih aku main piano.
Kalau lagi kosong sih enggak ada masalah, kan kalau pernikahan kan biasanya Sabtu atau Minggu aku ditawarin, ya mau aja sih buat resepsi atau buat akad. Kalau di gereja buat orang-orang Katolik atau Kristen akadnya ada musiknya jadi aku bisa main juga.
ADVERTISEMENT
Siapa band atau musisi idola kamu?
Musisi aku suka banget Earth, Wind, and Fire, itu band, dan juga Bon Jovi. Kalau musisi-musisi solo sih aku suka banget kayak Celine Dion, Whitney Houston dan Diana Krall.
Apakah mereka inspirasi kamu dalam bermusik?
Enggak, sih, itu aku hanya suka menikmati aja. Tapi kalau main musiknya aku original, sih. Itu style aku aja. Aku enggak ngambil dari musisi lain.
Emang waktu itu belajar musiknya dari mana?
Pertamanya sih aku diajarin tetanggaku, jadi aku enggak punya alat di rumah, tetanggaku punya piano dan mereka musisi satu keluarga dan aku diajarin oleh salah satu anaknya yang paling tua namanya Neam, belajar piano dari dia.
Dia nyontohin doang, mainnya kayak begini, aku ikutin. Itu belajar kayaknya 2 tahunan dari kelas 2 sampai kelas 4 SD, intensif. Memang kalau belajar yang kayak skill gitu enggak bisa sekali-sekali, ya, harus intensif. Walaupun numpang (belajar), numpangnya intensif selalu habis salat Magrib kita latihan piano setiap hari.
ADVERTISEMENT
Kalau tokoh idola secara umum, ada enggak?
Tokoh idola banyak nih, bidangnya apa dulu, kalau sains, sih, Marrie Curie. Dia peraih nobel dua bidang, dia perempuan, di zaman itu perempuan kita harus tahu bahwa sangat terbatas kesempatannya. Karena memang ada sejarah di mana hak perempuan enggak sama dengan laki-laki, bahkan di Indonesia pun sampai tahun 1960 kalau enggak salah, kita masih mewajibkan perempuan harus izin suami untuk melakukan tindakan hukum.
Misalnya kita (perempuan) mau bikin paspor atau mau ke luar negeri buat visa, itu harus ada tanda tangan suami untuk mengizinkan dia ke luar negeri. Nah, di negara-negara lain pun begitu ada sejarah seperti itu. Nah, Marrie Curie di zaman itu bisa jadi saintis sebesar itu berarti dia luar biasa hebat. Dia melawan tantangan zaman.
ADVERTISEMENT
Kalau (tokoh) di Indonesia, Pak Ahok, lah. Dia sama lah, melawan tantangan sosial-politik yang luar biasa, dia tetap maju. Aku enggak bilang dia sempurna juga tapi pada satu titik dia di karyanya menurut aku luar biasa banget.
Dulu sebelum jadi political vlogger seperti sekarang ini, cita-citanya pengin jadi apa, sih?
Cania Citta Irlanie, political vlogger. (Foto: Agaton Kenshanahan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Cania Citta Irlanie, political vlogger. (Foto: Agaton Kenshanahan/kumparan)
Pernah pengin jadi medical researcher karena aku background-nya Olimpiade Biologi dua kali, Science Olympiad International sekali, jadi latar belakang aku sangat natural sciences. Makanya aku pengin jadi medical researcher, aku pengin cari obat untuk penyakit-penyakit yang belum ada obatnya seperti kanker.
Nah, pada saat itu juga hal-hal seperti HIV belum ada ARV (antiretroviral) seperti sekarang yang mudah diakses. Jadi aku mau ke sana sebenarnya, medical research.
ADVERTISEMENT
Sejak kapan kamu mulai berubah 'haluan' untuk menjadi political vlogger seperti sekarang?
Perubahannya memang terjadi pada saat aku SMA, aku ikut debat bahasa Inggris. Di situ aku dapat pencerahan bahwa ternyata semua keputusan yang muncul di ruang publik itu hasil politik, bukan hasil sains.
Waktu aku kecil aku sangat naif berpikir bahwa ketika kita masuk di sains, kita punya temuan-temuan sains itu akan dengan mudah langsung teraplikasikan di ruang publik. Misalnya kita menemukan kereta cepat nih, mesinnya kayak begini. Aku dulu mikirnya, kalau sudah nemuin itu paling langsung bisa dipakai, ternyata enggak begitu.
Ternyata kalau misalkan kita sudah menemukan nih, misalnya cara membikin rumah yang bagus itu begini. Bahannya ini, materialnya ini desainnya begini, tapi kalau negara enggak mengizinkan itu, ya dia enggak akan terjadi di ruang publik. Dia akan ilegal.
ADVERTISEMENT
Proses politik pada akhirnya akan menentukan apa yang boleh dilakukan di ruang publik dan yang enggak boleh. Dan kalau aku sebut, secara singkat, politik itu menentukan arah peradaban. Ketika kita menemukan temuan yang lebih maju, dan lebih maju lagi, politik bisa menyetop itu. Bahkan bisa memundurkan.
Arab Saudi, baru mengizinkan perempuan punya SIM tahun lalu, bayangkan berapa tahun perempuan di Saudi kalah dalam hal mobilitas dengan perempuan di Indonesia. Jadi dia menentukan arah peradaban. Ketika perempuan boleh nyetir, ada kesempatan-kesempatan baru yang terbuka.
Bisa aja nanti suatu hari di Indonesia ada larangan untuk pelajaran Fisika, misalnya, bisa aja. Berarti kita akan mundur ke belakang. Teknologi juga, misalnya, bisa aja saat ini e-commerce gue shut down. Udah deh, Lazada, Tokopedia matiin, terus yang hotel-hotel kayak Traveloka, Pegipegi, dan segala macam matiin. Kan bisa aja. Itu kan keputusannya bukan di orang. Dia enggak peduli teknologinya mau bagus atau apa, politik akan bisa menyetop itu.
ADVERTISEMENT
Dari situ aku mikir, berarti gue harus belajar politik, nih. Makanya aku akhirnya masuk ke Ilmu Politik di UI.
Kamu punya buku bacaan favorit, enggak?
Bacaan favorit sejauh ini buku-bukunya Jared Diamond sih, kayak Guns, Germs, and Steel (1997), Collapse (2005) terus bukunya Richard Dawkins, The Selfish Gene. Buku-buku sains populer.
Bukan buku politik, karena pandangan pentingnya banget enggak ada di buku politik. Kita untuk memahami bagaimana peradaban sampai di sini, itu yang harus kita pahami adalah sejarah peradaban, bukan politiknya karena politik itu bicara tentang hari ini. Sistem-sistem politik yang sudah ada sekarang itu hanya urusan teknis aja sebetulnya.
Yang penting buatku itu sebenarnya konsepnya secara garis besar itu apa. Kalau cuma bicara buku politik itu dia hanya printilan-printilan gitu. Kenapa suatu negara bisa lebih maju, kenapa negara ini arahnya ke sana, kenapa negara ini arahnya ke sini. Atau dari awalnya saja, kenapa kita bikin negara.
ADVERTISEMENT
Itu yang penting karena itu yang menjelaskan perilaku manusia. Sebenarnya manusia ini cara berpikirnya seperti apa. Oh, manusia kecenderungannya ke sana. Makanya muncul kita bikin negara, kita bikin ini itu. Dari situ baru kelihatan, konsep itu dipakai di semua hal.
Sampai buat memengaruhi pemilu Amerika Serikat itu kemarin sebenarnya itu insight dari behavior science. Jadi kita melihat manusia punya kecenderungan memilih (dalam pemilu) karena ini, ya udah semua kampanye diarahkan ke sana. Nah, ini berarti insight paling pentingnya bukan di politiknya, tapi bagaimana kita memahami manusia.
Kalau ada remaja yang sama sekali enggak ngerti politik, apa sih yang harus dilakukan supaya paham akan keterlibatan politik itu penting?
Untuk bisa memahami politik itu pertama yang pasti harus dipahami bahwa politik itu menentukan aturan main bersama. Sekarang gini, kita pasti pernah main monopoli atau main kartu. Sebelum kita main kita pasti janjian dulu aturannya gimana.
ADVERTISEMENT
Nah, negosiasi aturannya ini itulah yang disebut dengan proses politik. Buat teman-teman kalau melihat di ujung nih, misal (kebijakan) ganja ilegal. Tapi menuju (kebijakan) ganja ilegal itu adalah proses politik.
Anak-anak muda harus sadar dulu, pentingnya terlibat dalam proses politik. Proses politik ini yang nentuin pelajar sekarang gratis dari SD sampai SMA, kuliah enggak boleh lebih dari sekian juta per semester, pajak mobil, pajak bea helm dari Singapura berapa persen. Ini semua ditentukan di proses itu.
Nah, teman-teman mau beli apa kek, kan ada di struk (pembelian) PPn, itu pun ditentukan oleh politik. Ketika kita beli, misalnya burger 10 ribu, itu ada 10 persen (uang) yang masuk ke negara, bukan ke tukang jualan burgernya.
ADVERTISEMENT
Aku selalu menyadarkan orang dari proses politik dan pajak. Jadi dalam proses politik, mata uang yang kita pakai untuk ikut proses politik adalah pajak. Kamu masih umur berapa? Umur 16, 15, 12 tahun, kamu bayi, kamu lahir pun udah bayar pajak, kamu harus tahu itu. Kamu bayi, kamu dibeliin susu, susu kamu itu ada PPn-nya. Kamu beli botol buat minum susu, botolnya ada PPn-nya.
Jadi kadang anak-anak remaja mungkin merasa, ‘Gue, kan, belum bayar pajak’ karena belum kerja. Enggak. Lo udah bayar pajak, semua yang lo beli ada pajak. Pajak ini nantinya dipakai untuk menerapkan aturan main, soal (contoh) main kartu tadi. Kalau kita enggak janjian dari awal kita enggak ikutan untuk menentukan aturan main kartunya, bisa jadi itu sangat merugikan kita ketika sudah diterapkan aturan mainnya.
ADVERTISEMENT
Sementara pajak kita dipakai untuk menerapkan aturan itu, ngeselin, kan? Misalnya, bayangin kita bayar pajak. Terus gue suka banget makan burger, gue bayar pajak ke negara, harusnya, kan apa yang dilakukan negara? Menjamin tukang-tukang burger ini bisa menghasilkan burger berkualitas. Harusnya kan ke situ. Eh, enggak tahunya negara malah bikin burger ilegal, sementara yang dipakai negara untuk beroperasi yaitu duit gue.
Nah, itulah maksudnya kepentingan kita kalau kita enggak ikut dalam aturan main ini, kalau kita enggak ikut proses, kan jadi malah serba terbolak-balik.
Ada enggak pesan buat para politisi Indonesia dari perwakilan generasi milenial seperti Cania?
Aku sebagai representasi, mungkin cocoknya disebut milenial pekerja lah. Buat teman-teman milenial pekerja, pentingnya pemerintah bisa membuat sistem publik yang profesional karena kita sebagai pekerja di sini, milenial setiap hari selalu punya standar profesional integritas yang tinggi. Kalau negara bekerja dengan cara yang amburadul, yang enggak profesional ternyata malah menyusahkan kita.
ADVERTISEMENT