QnA Latisa Naraswari: Di Balik Buku Curhatan yang Raih Rekor MURI

18 Januari 2019 16:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Latisa Naraswari, penulis buku 'Drifting Away: Love Letters & Broken Clocks' (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Latisa Naraswari, penulis buku 'Drifting Away: Love Letters & Broken Clocks' (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
ADVERTISEMENT
Mungkin kamu pernah mengalami sakitnya patah hati. Galau karena gebetan atau diputusin pacar. Kalau sudah begini, apa cara kamu untuk melupakannya?
ADVERTISEMENT
Buat cewek 15 tahun bernama Latisa Naraswari, dia memilih menuangkan kesedihannya lewat tulisan. Lebih tepatnya, tulisan dalam bentuk puisi dan prosa berbahasa Inggris.
Kumpulan tulisan yang kini telah terbit dengan nama 'Drifting Away: Love Letters and Broken Clocks' itu, mengantarkan cewek yang kini sekolah di UniSadhuGuna jurusan Desain Grafis tersebut, kepada rekor MURI (Museum Rekor Indonesia) sebagai 'Perempuan Termuda Pengarang Buku Prosa dan Puisi dalam Bahasa Inggris'.
Kok, bisa, ya? Daripada penasaran, yuk, simak obrolan dengan Latisa saat main ke kantor kumparan beberapa waktu lalu.
Buku 'Drifting Away: Love Letters & Broken Clocks' (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Buku 'Drifting Away: Love Letters & Broken Clocks' (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
Wah, selamat bukunya sudah terbit! Ceritain, dong, proses penggarapannya gimana?
Jadi aku menulis ini dari April 2017. Itu juga receh, iseng. Aku menulis di Gdocs smartphone dan curhat ke diri sendiri. Setahun kemudian aku ada masalah dan membuat aku menulis setengah buku ini dalam 3 bulan.
ADVERTISEMENT
Nah, ketika sudah banyak tulisannya itu, mama baca. Aku lagi nulis di laptop, terus aku tinggal sebentar, kan. Dia nanya, "Kok, kamu sedih banget? Who hurt you?". Sampai akhirnya bilang, "Bagus juga tulisan kamu. Kenapa enggak di-publish?".
Terus kamu setuju sama mama?
Aku tadinya ragu, karena ini curhatan. Orang yang benar-benar kenal aku, kan, tahu ceritanya juga. Jadi aku sempat malas semua orang jadi bisa baca.
Awalnya juga cuma pengin jual lewat online shop dan untuk pribadi. Tapi ketika ke tempat percetakan satu bukunya itu harganya Rp 90 ribu. Mau jual berapa kalau segitu? Lalu mama kenal penerbit Coconut Books dan kami pengin numpang cetak sekitar 50 buku.
ADVERTISEMENT
Mereka iseng baca dan yang punya Coconut Books itu suka. Aku dikasih tawaran sekali dalam seumur hidup, ya, aku langsung bilang iya. Akhirnya dicetak, deh, 2.000 buku. Sekarang sudah cetakan kedua dan ditambah 2.500 buku.
Pemilihan puisinya sendiri bagaimana?
Sebenarnya banyak yang dikeluarin ketika proses penyuntingan. Mereka harus lihat, kan, mana yang ramah sama konsumen, jadi mereka minta ada yang diganti. Mereka bahkan bilang, "Kok, depresi banget, sih? Lo mau orang baca kayak begini?". Aku kayak, "Kenapa enggak?".
Poin aku menulis ini, kan, bukan untuk bikin buku. Tapi untuk mengeluarkan perasaan. Kalau dikeluarin, poinnya apa? Jadi aku benar-benar pengin poin itu diperjuangkan.
Latisa Naraswari, penulis buku 'Drifting Away: Love Letters & Broken Clocks' (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Latisa Naraswari, penulis buku 'Drifting Away: Love Letters & Broken Clocks' (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
Inspirasinya murni dari pengalaman pribadi, dong?
Iya. Saat aku SD sampai kelas 9 SMP aku sering di-bully. Biasa, kan, kalau seniman dianggap aneh. Jadi aku diejek. Tapi di sisi lain aku juga patah hati di masa-masa itu. Jadi memang buku ini berdasarkan pengalaman aku sendiri.
ADVERTISEMENT
Ada juga, sih, dari curhatan teman. Misal teman aku punya masalah, nanti mereka curhat ke aku. Ceritanya sedih, tapi menginspirasi. Hahaha.... Sebelum aku menulis tentang mereka aku izin dulu karena itu privasi, kan.
Selain sad love story, kamu ngomongin soal apa lagi, sih, di buku ini?
Untuk sad love story-nya cuma 3 bab kalau enggak salah. Ini juga tentang bagaimana tumbuh, yang bisa dilihat dari awalnya positif, lama-kelamaan aku ngomongin tentang kesehatan mental.
Aku memang mengalami kecemasan dan depresi, jadi aku pengin memberi tahu orang-orang, kalau other people face it too. You're not alone.
Kenapa nama bukunya 'Drifting Away: Love Letters & Broken Clocks'?
'Drifting away' karena aku seperti drifting away from myself. Aku banyak masalah, kan, dan aku merasa enggak seperti diriku sendiri. Terus kenapa 'love letters' karena sebenarnya ini surat cinta untuk seseorang.
ADVERTISEMENT
Sedangkan kalau 'broken clocks' itu metafora untuk waktu yang disia-siakan. Ada lagu dari SZA judulnya 'Broken Clocks' dan aku suka mendengarkan lagu itu.
Buku 'Drifting Away: Love Letters & Broken Clocks' (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Buku 'Drifting Away: Love Letters & Broken Clocks' (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
Untuk ilustrasi di buku ini kamu gambar sendiri juga?
Iya. Kadang kalau aku nulis, selain di Gdocs, juga di buku catatan. Sekalian aku gambar ilustrasinya yang memang untuk visualisasi (dari puisi).
Dan di buku ini aku pake teknik namanya contour illustration. Jadi pakai tangan kiri, dan enggak boleh lihat kertasnya, lihat objek saja. Ada salah satunya itu aku lagi melihat guruku, tapi di kepalaku ada dewi gitu. Semua gambar ini aku pakai tangan kiri meski aku enggak kidal.
Ada cerita enggak, di balik ilustrasi cover-nya?
ADVERTISEMENT
Awalnya itu hanya gambar gelombang. Tapi kata mama, terlalu sederhana. Kayak aku terlalu malas untuk menggambar. Jadi akhirnya aku menggambar diriku di atas perahu.
Ini sesuai sama konsep buku ini yang bercerita tentang laut. Menurut aku life is like an ocean and you're just a person in the world. Kalau di tengah laut, it's either you drown or you swim. Dan aku memutuskan untuk berenang.
Ada penulis yang menginspirasi tulisan kamu, enggak?
Untuk segi tulisan aku suka Rupi Kaur, Lang Leav, dan surprisingly Mac Miller. Apalagi album dia yang 'Swimming' itu inspirasi aku banget, sih.
Satu hal yang aku suka karena personal banget dan relatable. Menurutku semua orang punya masalah. Masalah itu pasti akan terjadi dan you have to deal with it. Enggak bisa kalau ada masalah kamu cuma diam. Life doesn't work that way, and I learnt that from a very young age.
Latisa Naraswari, penulis buku 'Drifting Away: Love Letters & Broken Clocks' (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Latisa Naraswari, penulis buku 'Drifting Away: Love Letters & Broken Clocks' (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
Cie, bijak banget, nih, Lati.
ADVERTISEMENT
Hahaha.... Aku bahkan sekarang suka dikirim direct message dari remaja lain. Mereka merasa mengalami hal yang sama dan enggak punya teman curhat, jadi ceritanya ke aku. Aku suka menanggapi karena ceritanya sedih dan aku kasih saran.
Kapan-kapan aku curhat juga, ya, ke kamu. Hahaha.... Kalau soal rekor MURI itu bagaimana ceritanya? Kok, bisa dapat?
Itu keisengan mama sama penerbit. Jadi mereka pengin daftar ke MURI, dan bahkan bilang kalau aku dapat rekor bakal lucu banget. Akhirnya kami kirim dan dibaca sama mereka. Prosesnya sekitar setengah tahun, dan mereka kasih kabar kalau buku aku memenuhi syarat. Rasanya waktu itu aku bertanya-tanya, "Is this real? Am I here?".
Merasa terbebani, enggak, dengan prestasi itu?
ADVERTISEMENT
Sekarang tekanannya, ya, they want more. Sering ditanya, "Sudah menulis lagi? Kapan buku keduanya?". Ini kayak memberi tekanan kalau aku harus menulis, padahal buku 'Drifting Away' ini jadi cara aku untuk melepaskan diri sendiri. Sekarang jadi kayak keharusan.
Memang, sih, aku lagi menulis dan sudah ada judul bukunya juga. Tapi baru ditulis dua halaman. Hahaha...
Kasih bocoran sedikit, dong!
Konsepnya, kan, buku yang 'Drifting Away' ini tentang laut. Nah, untuk buku kedua nanti bakal ada bab judulnya 'Swimming'. Jadi aku pengin benar-benar menekankan self-care dan self-love. Sebelumnya sudah membicarakan tentang depresi, sekarang di buku kedua pengin membahas soal how to get over it. Visualnya juga akan lebih berwarna dengan banyak gambar.
ADVERTISEMENT
Rencananya kapan dirilis?
Kalau aku ngebut, digas pol, semoga bisa di awal tahun depan. Amin.