cover beda agama alt 2.jpg

Repotnya Nikah Beda Agama

15 Juni 2019 10:13 WIB
comment
33
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pernikahan beda agama. Ilustrasi: Argy Pradipta
zoom-in-whitePerbesar
Pernikahan beda agama. Ilustrasi: Argy Pradipta
ADVERTISEMENT
Jatuh cinta barangkali juga sebuah takdir yang tak bisa dihindari. Ia bisa menjelma anugerah, tapi bisa juga menimbulkan masalah.
ADVERTISEMENT
Demi cinta, apapun rintangannya rasanya layak saja diperjuangkan. Meski masalah yang dihadapi bukan sembarang soal, seperti: perbedaan agama, restu orang tua, hingga sulitnya diakui negara.
Budiman (bukan nama sebenarnya) paham betul soal ini. Ia dan pasangannya memeluk agama berbeda, Budiman muslim, sementara Agnes (bukan nama sebenarnya) beragama Katolik. Mereka bertemu di tempat kerja, menjalin hubungan selama 6 bulan, dan memutuskan untuk menikah.
“Emang dari awal udah tahu agama kami berbeda. (Tapi) ya, udah sama-sama yakin dan niat serius. Enggak bisa dijelaskan sebenarnya karena udah klik,” kata Budiman kepada kumparan.
Budiman melamar kekasihnya itu tanpa sepengetahuan orang tuanya. Orang tua Agnes juga mengizinkan. Tapi demi membuktikan keseriusannya, mereka meminta bertemu dengan orang tua Budiman.
ADVERTISEMENT
Penolakan terjadi ketika ia meminta restu dari orang tuanya. Mayoritas anggota keluarganya yang taat kepada ajaran Islam sampai menyebut pernikahan ini adalah kristenisasi. Agnes dan orang tua Budiman sempat bersitegang.
“Dia (Agnes) kalau dihadapkan sama konflik malah semakin maju. Waktu itu kayak, ‘ambil aja, nih, anaknya gue balikin lagi!’,” ucapnya.
Selama sekitar 6 bulan, Budiman terus mencoba merayu, membujuk, dan menjelaskan kepada keluarganya. Niatnya untuk menikah berbeda agama pun goyah.
Bertemu ulama dan mencari ‘orang tua bayangan’
Budiman memutuskan untuk bertanya kepada ustaz dari Yayasan Paramadina --—mediator bagi pasangan beda agama--, dan ulama, tentang masalahnya itu.
“Ternyata enggak masalah selama agamanya masih ahli kitab atau samawi. Aku semakin ajeg untuk menikah dengan pasanganku,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Meski kian mantap, restu dari orang tua belum juga menemukan titik cerah. Budiman memutuskan untuk mencari teman yang mau dijadikan ‘orang tua bayangan’ untuk hadir di resepsi pernikahan.
Karena baginya, kalau orang tua tetap menolak, sebagai laki-laki muslim ia tidak perlu wali dan bisa langsung menikah.
“Pas h-7 pernikahan, ayahku akhirnya bilang mau dateng. Di satu sisi orang tuaku enggak tega sama anaknya pengin menikah. Tapi di sisi lain, enggak ikhlas karena berbeda agama,” ujar dia.
Pernikahan mereka berlangsung pada 2015, ketika usia Budiman 31 tahun dan Agnes 29 tahun. Mereka melakukan prosesi pemberkatan di gereja, yang diikuti dengan ijab kabul di gedung.
Alotnya mengurus administrasi
Suasana pernikahan Bob dengan Nathania. Foto: Instagram @bobsingadikrama
Meski sudah mengikat janji, tantangan yang dihadapi kedua pasangan ini kembali datang. Kini dalam bentuk pengurusan administrasi.
ADVERTISEMENT
“Aku mengurus ke kelurahan, dan lurahnya enggak mau karena katanya menyalahi aturan hukum. Aku konsul ke ustad dari Yayasan Paramadina itu, yang juga membantu aku mengurus ke catatan sipil. Dia sampai nawarin buat ketemu sama si lurah, tapi aku cuma minta argumennya aja, jadi aku yang bargain ke lurah itu,” tuturnya.
“Akhirnya lurah mau kalau camat mau. Eh, camatnya langsung setuju aja. Tapi lurahnya sempat masih enggak mau, tuh. Ya, gimana? Masa atasannya setuju, bawahannya enggak? Jadi akhirnya si lurah tetap tanda tangan. Di catatan sipil itu aku terdaftar Katolik, karena Islam, kan, enggak mengakui pernikahan beda agama,” tambah Budiman.
Sedikit berbeda dengan Budiman, ada Bob yang memilih untuk menangani risiko pernikahan berbeda agama tanpa bantuan pihak ketiga (mediator). Ia adalah seorang muslim yang menikahi perempuan beragama Kristen, bernama Nathania.
ADVERTISEMENT
Ketika mencatatkan pernikahannya dengan Nathania. Sebagai laki-laki asal Wonosobo, Jawa Tengah, Bob menilai mediator tidak bakal kenal dengan orang catatan sipil. Maka mau enggak mau, dia menghadapinya seorang diri.
“Pertanyaan pertama itu agama saya apa. Karena mereka tahu kalau Islam ke Kantor Urusan Agama (KUA). Aku enggak bilang aku Islam, tapi enggak bohong bilang aku Kristen. Meski akhirnya tahu aku Islam, ya, aku ajak ketemu beberapa kali. Tetap aku yang diskusi, datang ke orang catatan sipil untuk menjelaskan. Sampai puas (mereka) nyeramahin saya. Yang penting sabar,” pungkas Bob.
Mediator nikah beda agama, Ahmad Nurcholis. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Ahmad Nurcholish selaku aktivis lintas agama dan mediator pernikahan beda agama tidak memungkiri bahwa mengurus administrasi adalah hambatan yang dialami pasangan. Ia menilai hal ini disebabkan bias ideologi keagamaan, karena ada aparatur sipil negara (ASN) di beberapa daerah yang enggan mencatatkan dan menganut mazhab yang melarang pernikahan beda agama.
ADVERTISEMENT
“Itu sebetulnya enggak boleh, ya. Tapi itu paling banyak terjadi. Ketika pasangan mau mengurus dokumen, mereka malah diceramahi. ASN yang seharusnya membantu administratif tiba-tiba menjelma jadi penceramah,” terang Nurcholish kepada kumparan.
Di sisi lain, Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Zudan Arif Fakrullah, menjelaskan Indonesia menganut dua mazhab, yaitu pencatatan agama Islam di KUA, dan non-Islam di Dukcapil. Hal ini tercantum di UU Administrasi Kependudukan untuk pencatatan non-Islam di Dukcapil, dan UU 174 tentang perkawinan, untuk pencatatan bagi yang beragama Islam.
“Dari titik pencatatan ini bisa disimpulkan bahwa tidak mungkin orang yang beragama beda bisa menikah. Mencatatnya ke mana? Misalnya yang Islam di sini, Kristennya di mana? Dari sisi pencatatan tidak mungkin,” tegas Zudan.
ADVERTISEMENT
Pandangan tiap agama
Ilustrasi Pernikahan. Foto: Shutter Stock
Menanggapi pernikahan beda agama, tiap keyakinan memiliki pandangannya masing-masing.
Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis, menegaskan, pernikahan beda agama tidak dibolehkan, meski memakai cara Islam. Ia menyebut, tidak mungkin menggabungkan dua syariat yang berbeda.
“Ketika akad tidak sah, maka turunannya tidak sah. Awalnya haram laki-laki dan perempuan, lalu menikah menjadi halal. Kalau akadnya tidak sah, tetap haram. Kalau haram tetap zina,” beber Cholil.
Sementara Ahmad Nurcholish berpendapat, dalam Islam terdapat mazhab yang membolehkan umat muslim menikah dengan nonmuslim. Mazhab ini mengacu pada dua hal, pertama termaktub dalam Al Maidah ayat 5 yang menyebut laki-laki muslim boleh menikah dengan perempuan ahlul kitab. Lalu yang kedua, mengacu pada mazhab yang meyakini bahwa perempuan juga bisa menikahi laki-laki nonmuslim.
ADVERTISEMENT
“Islam juga mengajarkan adanya kesetaraan gender jadi tidak ada diskriminasi dalam hal penerapan hukum. Pernikahan beda agama sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad. Dua putri Nabi dari Siti Khadijah, Ruqayyah dan Zainab juga menikah dengan laki-laki nonmuslim,” ujarnya.
Katolik punya pandangan sendiri seperti yang disampaikan oleh KAJ Romo Y. Purbo Tamtomo dari KWI (Konferensi Waligereja Indonesia). Dia mengatakan, jika memaksakan seseorang untuk seagama dengan kita, maka telah melanggar prinsip kebebasan beragama. Di sisi lain, orang tidak bisa dihilangkan haknya untuk menikah hanya karena ada perbedaan.
“Dua hak itu dibela gereja Katolik. Itu sebabnya mengapa gereja Katolik menerima pernikahan campur. Tidak ada pesan dari kitab suci yang dengan absolut menolak pernikahan campur. Kalau gereja mengatur, iya, dengan ketentuan,” jelas Romo Y. Purbo.
ADVERTISEMENT
Sementara, Pdt Dr Henriette Tabita Lebang MTh dari Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) berpendapat, pemerintah yang mengesahkan pernikahan karena perkara kemasyarakatan sipil. Pernikahan memang punya aspek kekudusan, tapi karena dia adalah masalah kemasyarakatan jadi itu wewenang pemerintah.
“Diakui ada aspek sakralnya, artinya kudus suci. Jadi harus dihargai dua orang yang sepakat membangun rumah tangga dalam terang kasih. Itu perlu dipelihara. Oleh karena itu, peranan gereja adalah meneguhkan dan memberkati pernikahan itu,” terang Pdt Henriette.
Pada hakikatnya, cinta dan perjalanannya sendiri saja sudah memerlukan banyak pengorbanan. Hal ini kemudian akan semakin berlipat ganda jika cinta beda agama. Jika masih berniat untuk lanjut, diskusi mendalam dan saling menguatkan jelas diperlukan untuk menempuh jalan panjang ke depan.
ADVERTISEMENT
Reporter: Lavira Andaridefia & Stefanny Tjayadi
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten