Seminggu Tanpa Plastik: Jangan Cuma Niat, tapi Juga Butuh Konsistensi

29 Juli 2019 9:00 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kantong plastik. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kantong plastik. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Penggunaan plastik dalam kehidupan sehari-hari rasanya jadi hal yang sulit dihindari. Memang bukan enggak mungkin, sih, tapi kalau kamu jeli, setiap produk makanan, minuman atau apapun yang kamu beli, kebanyakan pasti dibungkus menggunakan plastik.
ADVERTISEMENT
Banyaknya konsumsi plastik, disadari atau enggak juga dampak dari perilaku konsumtif kita sehari-hari, lho. Padahal, ya, laporan terbaru dari Center for International Environmental Law (CIEL) yang berjudul “Plastic&Health: The Hidden Costs of a Plastic Planet” mengungkap, setiap tahapan rantai pasok dan siklus hidup plastik berdampak terhadap kesehatan manusia.
Partikel-partikel mikroplastik--seperti fragmen dan serat--dapat masuk ke dalam tubuh manusia dan bisa memaparkan zat kimia. Selain itu, plastik juga bisa merusak atau membunuh hewan di seluruh dunia dan berkontribusi terhadap perubahan iklim.
Menurut data dari Greenpeace Indonesia, produksi sampah di Indonesia mencapai 65 juta ton per tahun. Sebanyak 10,4 juta ton atau 16 persen merupakan sampah plastik.
Yang lebih mirisnya lagi, secara global, hanya 9 persen sampah plastik yang didaur ulang dan 12 persennya dibakar. Dengan kata lain, 79 persen sisanya berakhir di tempat-tempat pembuangan maupun saluran-saluran air seperti sungai yang bermuara ke lautan.
Seorang pria mendayung perahu kayunya untuk mengumpulkan sampah plastik untuk didaur ulang di sungai Citarum tersumbat oleh sampah dan limbah industri, di Bandung, Jawa Barat, Rabu (26/6). Foto: Timur Matahari / AFP
Duh, baca laporan dan temuan ini jadi bikin saya pengin melakukan sesuatu, deh. Makanya, seminggu belakangan, saya mulai menerapkan untuk sebisa mungkin meminimalisasi penggunaan plastik. Tapi, bisa enggak, ya?
ADVERTISEMENT
Saya menantang diri sendiri untuk menjawab itu.
Hari pertama, Senin (22/7)
Ice latte pakai whipped cream
Saya kira hari pertama bakal berjalan mulus-mulus aja. Buat hari pertama, saya sudah mempersiapkan diri untuk bawa bekal, bawa botol tumbler sendiri, sampai seperangkat sedotan stainless lengkap dari segala ukuran berikut sikat pembersihnya.
Eh, tapi, kok, rasanya memasuki siang ke sore hari di kantor lumayan ngantuk, ya? Saya pun memutuskan buat pesan es kopi latte dengan tambahan whip cream hahaha. Coffee snob enggak usah protes, ya! Saya tahu itu lebih banyak kandungan gulanya ketimbang kafein dari kopi asli. Tapi, kalau menyeruput es kopi latte yang segar dan creamy itu bisa bikin saya semangat, kenapa enggak?
Setelahnya, saya sadar pesanan saya datang dengan kantong plastik dan gelas kopi plastik meski tanpa sedotan, karena sudah saya request untuk enggak menyertakannya. Yah, hari pertama aja udah gagal.
ADVERTISEMENT
Hari kedua, Selasa (23/7)
Berbeda dari kemarin, hari kedua ini saya enggak bawa bekal. Tapi, demi enggak menggunakan kantong plastik akibat pesan makanan lewat aplikasi, saya memutuskan untuk makan di kafe depan kantor, namanya 616 Roastery--dulu, sih, lebih dikenal dengan nama Kedai Bang Ali.
Karena kangen makan nasi bakar, saya pun akhirnya memesan itu. By the way, ini merupakan menu wajib coba menurut saya. Selain nasi bakar, music playlist yang kerap diputar di sana juga enak. Mereka juga menyajikan minuman pakai sedotan stainless, lho. Kudos!
Setelah menghabiskan sepiring nasi bakar, ada pesan singkat masuk dari mama. Isinya: minta dibeliin pempek. Sebagai anak baik, tentu saja saya enggak mengelak permintaan ini, dong.
ADVERTISEMENT
Tapi, upaya enggak menggunakan plastik pun buyar, karena saya harus beli pempek dan mau enggak mau pasti pakai plastik dong?
Hari kedua, gagal lagi.
Duh, berapa banyak bungkus plastik coba itu?
Hari ketiga, Rabu (24/7)
Pada hari ketiga, saya enggak masuk kerja. Saya menemani mama untuk operasi pengangkatan tumor di rumah sakit yang untungnya, letaknya enggak jauh dari rumah. Saya sigap membagi tugas dengan adik yang masih libur kuliah untuk mempersiapkan segala sesuatunya.
Adik mengurus perihal administrasi, saya mengurus perintilan lain: persediaan baju ganti, selimut, sampai stok makanan.
Saat belanja makanan di minimarket, saya sudah siapkan satu totte bag besar agar enggak harus minta plastik saat kasir selesai menghitung semua total belanjaan.
Hari itu, saya berhasil enggak menggunakan plastik. Yeay!
ADVERTISEMENT
Hari keempat, Kamis (25/7)
Operasi pengangkatan tumor mama berjalan lancar. Saya pun enggak bisa menahan lapar.
Akhirnya saya menyuruh adik untuk beli makan di warteg dengan menu apa saja asal bukan daging. Bukan karena saya seorang vegetarian atau vegan, bukan--atau seenggaknya belum--, tapi karena entah kenapa saya semakin bosan makan daging.
Eh, tapi, tahu enggak sih? Ternyata dengan menjadi seorang vegetarian atau vegan, kita juga bisa berkontribusi terhadap lingkungan hidup, lho.
Sebab, sebuah penelitian dari Oxford University mengungkap, produksi dan pengolahan produk hewani baik daging maupun susu bisa menghabiskan sekitar 83 persen lahan pertanian dan menghasilkan 60 persen dari emisi gas rumah kaca industri pertanian.
"Produksi daging juga melibatkan produksi pakan yang sering mengakibatkan penggundulan hutan, terutama hutan hujan tropis. Lalu, kita semua mendapatkan emisi dari proses pengolahan pakan itu, bahkan lebih banyak (emisi) lagi ketika proses pengemasan dan ritel," kata Joseph Poore, seorang peneliti lingkungan dari Oxford University seperti dikutip dari CBC.
ADVERTISEMENT
Begitu katanya, dan saya (masih) gagal (lagi) di hari keempat. Ini bungkus plastik pesanan saya, isinya nasi, tumis labu dan kentang balado pakai kerupuk.
Nasi warteg
Hari kelima, Jumat (26/7)
Mama sudah boleh pulang ke rumah, saya pun kembali masuk kerja. Seperti yang sudah-sudah, saya tetap bawa bekal, botol tumbler sendiri lengkap dengan sedotan 'SJW' stainless itu.
Siang menuju sore, saya dapat ajakan makan malam dari mantan redaktur saya, Agassi. Kami memutuskan untuk makan seafood di tenda pinggir jalan dekat kantor kumparan.
Demi meminimalisasi penggunaan plastik sekaligus pengiritan duit, saya enggak pesan minuman dan memilih untuk minum air mineral dari tumbler yang saya bawa. Padahal biasanya saya nyerah, es teh manis atau es jeruk itu udah jadi padanan pas kalau makan seafood.
ADVERTISEMENT
Yup, hari ini berhasil lagi enggak pakai plastik. Woo-hoo!
Hari keenam, Sabtu (27/7)
Weekend ini, saya kebagian piket. Harus saya akui, menahan untuk enggak jajan kopi itu sulit banget. Di tengah pekerjaan, kopi itu bisa jadi semacam penggembira tersendiri, tapi anehnya, saya memang lebih suka beli kopi daripada bikin sendiri hahaha.
Tapi, karena enggak mau menggagalkan upaya diet plastik sekaligus mengurangi perilaku konsumtif, akhirnya saya urung pesan kopi. Saat bosan, akhirnya saya curi-curi kesempatan untuk menonton film saja biar tetap semangat kerja.
Dan, ini adalah hari ketiga saya berhasil (lagi) enggak pakai plastik! Bangga~
Hari ketujuh, Minggu (28/7)
Entah karena mungkin terburu-buru harus liputan, saya sampai lupa membawa dompet hari ini (semua kartu dan uang ada di dalamnya). Walhasil, saya harus menahan malu karena enggak jadi beli onigiri di Ind*m*r*t (disensor, karena saya enggak di-endorse) padahal onigirinya sudah saya minta hangatkan di oven dan berakhir jajan susu kotak aja.
ADVERTISEMENT
"Mbak emang enggak bisa bayar pakai Gopay atau Ovo?" tanya saya. "Enggak, mbak, paling bisanya pakai Flazz aja," kata Mbak kasirnya.
Aduh, mana pas dicek saldo Flazz saya tinggal Rp 14 ribu! Malu banget, untung saya berhasil tap out dari gate commuter line.
Karena cuma bermodal susu kotak yang isinya mungkin cuma 200 ml itu, siangnya saya udah lapar lagi, dong. Akhirnya saya pasrah dan nyerah, di hari terakhir tantangan diet plastik ini saya malah harus gagal lagi.
Kadung lapar, saya pesan nasi ayam bakar terdekat menggunakan aplikasi, karena enggak megang cash.
Begitulah kira-kira usaha saya yang enggak total ini untuk diet plastik. Tapi rasanya, memang sulit jika sama sekali enggak menggunakan plastik.
ADVERTISEMENT
Intinya sih, selama semua produsen masih menggunakan plastik untuk membungkus produk mereka, penggunaan plastik masih berjalan terus. Lagipula, biaya produksi yang dikeluarkan juga jauh lebih murah dengan menggunakan plastik. Mungkin, alasan ini pula mengapa penggunaan plastik sulit dihindari.
Tapi, ini semua seharusnya enggak boleh dijadikan alasan. Kamu juga tetap bisa berkontribusi terhadap lingkungan dengan mengurangi penggunaan plastik, sesederhana membawa tempat makan sendiri, bawa botol tumbler sendiri, menggunakan sedotan stainless dan bawa totte bag besar sebagai ganti plastik ketika ingin belanja.
Mungkin terdengar ribet, tapi kalau kamu sudah terbiasa, enggak akan terasa merepotkan, kok! Yang penting jangan cuma niat aja, tapi juga butuh kedisiplinan dan konsisten menerapkannya dalam keseharian. Being an eco friendly is the new trends~
ADVERTISEMENT