Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Kejahatan makin mengerikan. Dulu, saya membayangkan hanya orang dewasa yang berani mengayunkan senjata tajam macam pisau, sabuk, atau gir sepeda motor. Kini, pelakunya semakin muda. Berusia antara 13-16 tahun.
Yang mengagetkan dan mengerikan, kejahatan tersebut terjadi di Yogyakarta. Sebuah kota di tanah air yang dijuluki oleh masyarakat sebagai kota pelajar.
Mengapa bisa terjadi? Ini yang jadi pertanyaan sejuta masyarakat Jogja.
Di kota itu, kejahatan yang dimaksud adalah klitih. Bagi saya, orang yang besar dan tinggal di Yogyakarta, akhir-akhir ini memang klitih meresahkan.
Kamu bisa bayangkan. Ketika enak-enak duduk di kursi angkringan, tiba-tiba ada orang mengayunkan sajam. Kamu terluka, mereka menghilang.
Ketika kamu akan menjemput istri/suamimu di stasiun pada dini hari menggunakan motor, eh, belum sampai stasiun, nyawamu sudah melayang akibat ulah yang tak masuk akal.
Mengerikan, bukan?
Klitih, pada mulanya, hanyalah perilaku mencari angin di luar rumah atau keluyuran. Sayangnya, kemudian, makna klitih mengalami peyoratif. Yang terjadi adalah tindak kekerasan—mengarah kriminal. Membahayakan hingga menghilangkan nyawa.
Sebagai orang yang pernah melakukan dan menjadi korban klitih, saya kira klitih era 2004-2010 dengan era sekarang mengalami perbedaan.
Pertama, dilihat dari waktu beroperasi. Dulu, waktunya terbatas hanya Jumat dan Sabtu. Itu pun hanya terjadi saat siang hari. Sekarang, random. Bisa terjadi pada hari apa saja dan waktunya kapan saja. Meskipun lebih sering terjadi saat dini hari.
Kedua, pelaku. Dulu, pelakunya adalah remaja SMA. Sekarang, pelakunya lebih muda yaitu anak-anak SMP. Makanya, ketika mereka ditangkap, sudah tidak berani melawan atau melarikan diri. Sebab, dari segi fisik sudah kalah jauh.
Ketiga, target korban. Dulu, jelas remaja SMA. Sebab, pertarungannya memang SMA vs SMA. Tak mungkin menyasar orang dewasa apalagi anak kecil.
Keempat, senjata. Dulu, hanya menggunakan tangan kosong. Pukul atau baku hantam. Kini, menggunakan senjata yang beraneka ragam. Mulai dari pisau, gir sepeda, hingga sabuk bergerigi.
Sesuatu hal yang tak bisa dibayangkan apabila senjata tersebut terkena lenganmu, mulutmu, bahkan matamu.
Saya kira, klitih era sekarang hampir mirip dengan begal. Bedanya, jika begal melukai hingga merampas harta korban, sedangkan klitih hanya melukai korban. Sebab, dengan korban yang terluka, baik hidup dan mati, mereka akan mendapatkan pengakuan.
Dari siapa?
Tentu dari orang-orang yang terlebih dahulu melakukannya. Konon, dari orang-orang kuat. Yang boleh dikatakan menguasai dunia per-klitih-an. Mereka—yang tak diketahui siapa wujudnya—akan melihat seberapa jauh pelaku tersebut mampu melukai korban.
Apakah hanya sekadar memukul korban? Melukai? Menghabisi? Atau yang paling dinantikan yaitu dipenjara. Semakin brutal hukuman, maka pelaku semakin dihargai.
Mengerikan, bukan?
Pelaku tidak mungkin melakukan sendirian. Minimal berdua atau yang paling sering bergerombol hingga sepuluh orang. Dan menakjubkannya, ketika suatu kali tertangkap oleh polisi, mereka menjawab, “Gabut, Pak.”
Makanya bisa dihipotesakan bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah klitih, yang sesuai dengan definisi pada umumnya.
Lalu, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana cara membasmi atau menghilangkan klitih?
Saya kira perlu cara-cara ekstrem. Yang unik dan membuat pelaku berpikir sekian kali untuk melakukannya.
Pertama, sediakan saja arenanya. Tentu saja, saran ini bisa dikatakan gila. Barangkali setelah ini saya bisa dicibir. Bukannya memberantas, malah menyediakan. Eits, tapi tunggu dulu.
Maksudnya begini. Kalo kamu pernah lihat film The Purge, pasti akan paham. Dalam film itu, disediakan satu hari untuk melukai korban siapa pun.
Nah, amati, tiru, modifikasi. Untuk kasus klitih, maka suruh saja para calon pelaku untuk mendaftarkan diri kemudian tempatkan di desa atau kota. Dalam satu hari, pelaku bebas melukai. Dan hanya dilakukan pada hari itu.
Bagaimana jika melakukan di luar hari itu? Ya, jelas dihukum. Dimasukkan pengadilan. Ga peduli itu anak-anak di bawah umur.
Masa ya selama ini, karena pelaku di bawah umur, pelaku cukup dibina. Tidak dibinasakan. Lalu, bagaimana dengan keluarga korban yang melihat bahwa korban habis nyawanya namun pelaku hanya dihukum demikian?
Itu yang menjadi amuk masyarakat selama ini. Maka, tidak heran ketika beberapa hari yang lalu pelaku tertangkap basah, masyarakat hendak menghabisinya, eh ibu pelaku datang. Dia berharap bahwa jangan dihakimi secara sepihak.
Ya, susah. Ketika kejahatan dilakukan berulang-ulang dan sudah dianggap kejahatan biasa, maka ketika tertangkap, jelas masyarakat tak bisa menahan emosi.
Lucunya, melihat komentar saat video penangkapan basah tersebut.
“Itu daripada ribut, ibu pelaku suruh baku hantam sama ibu korban. Biar tau gimana rasanya baku hantam.”
Kan, ya, gayeng tapi agak mengenaskan gimana gitu.
Kedua, ronda. Anggap saja klitih sebagai pengingat bahwa guyub antarmasyarakat perlu digiatkan kembali. Sebab, beberapa daerah selama ini kegiatan tersebut sudah tidak ada. Ya, apalagi keberadaan gawai sudah menggantikan segalanya.
Cukup berkata, “Gimana Desa Tongkol? Aman?”
Beberapa tak membuka grup. Yang lain sebagai silent reader. Dan hanya dua orang yang menjawab. Menyedihkan, bukan?
Ketiga, memaafkan. Tentu ini langkah di luar logika manusia. Sebab, maaf itu mudah diucapkan tapi sulit dilakukan. Masa habis kehilangan nyawa, para keluarga korban memaafkan secara cuma-cuma.