Peci Putih dan Gema Takbir di Reuni 212

Moh Fajri
Editor kumparanBisnis
Konten dari Pengguna
2 Desember 2017 20:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moh Fajri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Jri, besok subuhan di istiqlal ya. Aksi 212,” pesan Mas Habibi melalui jejaring WhatsApp pada Jumat (1/12) tepat pukul 20.37 WIB.
ADVERTISEMENT
Membaca pesan tersebut, mataku langsung terbelalak. Ada tiga hal yang auto-muncul di kepalaku. Pertama, aku akan liputan aksi. Kedua, aku akan bangun dini hari. Ketiga, sepertinya aku tidak bisa tidur malam ini.
Jika tidur, aku khawatir akan bangun kesiangan. Kuhabiskan sisa malam dengan membaca perkembangan Reuni Aksi 212. Ternyata, rangkaian acara dimulai dengan salat tahajud di Istiqlal. Artinya, aku tidak mungkin berangkat ke Istiqlal menjelang subuh.
Tepat pukul 01.00 dini hari aku memutuskan untuk mandi. Kran air yang kunyalakan tentu akan mengganggu istirahat penghuni indekos lainnya. Selain mengganggu, bisa saja muncul kecurigaan, “Fajri habis ngapain ya, kok dini hari mandi?”
Setelah mandi aku langsung memesan ojek online untuk keberangkatanku menuju Istiqlal. Tidak perlu waktu lama, tepat pukul 01.47 WIB, bapak berkumis tipis dengan motor beat menjemputku.
ADVERTISEMENT
Kami dengan mesra menikmati jalanan Jakarta dini hari. Jakarta yang sepi tapi tidak mati.
Kesunyian Jakarta mulai terusik saat kami mendekati Istiqlal. Manusia berbaju putih terlihat berbaris rapi di pinggir jalan. Mereka adalah peserta reuni. Mereka berjalan beriringan menuju tempat yang sama dengan yang aku tuju.
Jalan yang ditutup membuat aku meminta bapak berkumis tipis dengan motor beat menurunkanku. Hubungan kami yang baru terajut sesaat harus berhenti sampai di sini karena jalan kita yang berbeda.
Tidak terasa sampai juga aku di Istiqlal. Terlihat manusia yang hampir semua berbaju putih memenuhi masjid. Rambut mereka tertutupi peci. Aku tidak mau kalah, sebelum memasuki masjid aku membeli peci putih. Peci yang membuatku percaya diri berinteraksi dengan peserta reuni. Peci yang membuatku seperti tidak ada bedanya dengan mereka.
ADVERTISEMENT
“Bang dari mana, Bang?” kata yang selalu kucapkan saat bertegur sapa dengan mereka.
Tidak jarang mereka menanyakan pertanyaan yang sudah kutanyakan kepada teman mereka, “Tahun lalu ikut 212, Bang?”
Di sela bincang-bincangku dengar peserta reuni, terdengar suara tegas satu orang yang cukup menggema.
“Takbirrrrr,” serunya yang dijawab serentak oleh orang disekelilingnya. “Allahu Akbar”.
Aku yang berada disekeliling mereka mencoba menyesuaikan dengan ikut berteriak “Allahu Akbar”. Lalu aku pun mencoba berteriak “Takbirrrrrr” tetapi ternyata tidak diikuti “Allahu Akbar” oleh orang-orang disekelilingku.
“Santai saja, nikmati liputan kayak gini, jaran-jarang loh,” ujar Mas Indra melalui WhatsApp, tidak lama setelah aku berteriak “Takbirrrr” tanpa jawaban.
Suasana semakin ramai setelah peserta reuni berkumpul ke Monas. Aku langsung ikut bergeser kesana. Kudengarkan orasi sambil mencuri-curi pandang kepada ukhti-ukhti yang menggoda hati.
ADVERTISEMENT
“Ooo begini toh demo itu,” gumamku.
Hampir semua yang berorasi mempunyai kesamaan kata dan nada yang selalu aku tunggu. Kata dan nada tersebut tentunya “Takbirrrr” lalu diikuti “Allahu Akbar” dari semua peserta reuni yang hadir. Mereka sangat tegas dan lancar dalam melafalkannya.
Sayangnya, kelancaran mereka melafalkan takbir tidak diikuti dengan lancarnya sinyal internet di ponselku. Hal tersebut membuat seringnya aku gagal mengirim file atau membalas pesan.
Di tengah ketidaklancaran tersebut, aku hanya bisa berteriak “Takbirrrr” dan tentunya aku sendiri yang jawab “Allahu Akbar”.