news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Matur Suwun, Jepang

Moh Fajri
Editor kumparanBisnis
Konten dari Pengguna
23 Desember 2019 14:10 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
12
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moh Fajri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tulisan ini adalah lanjutan dari Catatan Sederhana Sebelum Berangkat ke Negeri Sakura. Maaf, kalau kali ini alurnya lompat-lompat. Semoga tetap mudah dipahami.
Aku saat tiba di Jepang. Dok. anggap saja pribadi
Cuaca terasa dingin di kamar nomor 435 Hotel Sunroute Plaza Shinjuku, Tokyo, Jepang. Samar-samar aku intip di jendela terlihat masih gelap. Aku memilih kembali menarik sarung tanpa melihat jam di ponsel. Sarung bermotif batik pemberian emakku saat Idul Fitri 2 tahun lalu itu cukup ampuh memberikan kehangatan.
ADVERTISEMENT
Belum lama mata terpejam, alarm ponselku berbunyi yang menandakan waktu ternyata sudah pukul 05.10 waktu Tokyo. Aku matikan alarm dan lanjut membuka pesan WhatsApp grup sambil masih berselimut sarung menghadap dinding.
“Bangun.. Bangun.. Pagiii, Pagiii, masih gelap, ya, sisss,” bunyi pesan secara berurutan dari Vela, Juwita, dan Danish.
Malam saat tiba di Tokyo pada Senin (9/12), kami memang merencanakan langsung jalan-jalan keesokan harinya di sekitar hotel. Rencana itu sengaja diatur untuk mengisi waktu luang sebelum memulai aktivitas formal yang disiapkan selama Fellowship MRT Jakarta.
“Kalian duluan aja, fajri masih tidur. Gue lihat langit, kok, masih mager, ya,” balas Randy.
Membaca pesan Randy, aku seperti tersugesti untuk melanjutkan tidur. Selain malas bangun pagi, rasa lelah setelah perjalanan dari Jakarta ke Tokyo menjadi alasan yang membuat tubuhku menolak bangun.
ADVERTISEMENT
Selepas membaca sekilas pesan WhatsApp itu, aku tidak tahu lagi aktivitas yang mereka lakukan. Sebab, mataku sudah kembali terlelap nyenyak sekali. Mataku mulai benar-benar baru terbuka sekitar pukul 09.00. Segera aku basuh muka dan turun mengambil sarapan.
Agenda yang harus aku ikuti dijadwalkan pukul 09.30. Namun, aku belum selesai mengunyah makanan. Beragam menu makanan disiapkan pihak hotel. Tidak semua menu aku cicipi saat momen sarapan pertama di Tokyo. Cukup nasi putih, sejenis mi sayur, daging, telur bulat, dan minum jus jeruk. Setelah kenyang, dengan santainya aku kembali ke kamar.
“Temen-temen, Tanaka San sudah di lobby, ya,” kata Mas Tomo dari MRT Jakarta yang ikut mendampingi ke Jepang.
Membaca pesan itu, aku langsung bergegas mengumpulkan niat untuk mandi. Sayangnya saat masuk di kamar mandi, ada masalah yang harus aku hadapi. Aku tidak tahu bagaimana cara menyalakan shower-nya. Aku putar-putar setiap keran yang ada tapi tak kunjung keluar air dari shower. Sejak semalam aku memang belum unboxing untuk peralatan mandi. 
ADVERTISEMENT
Semalam, aku hanya belajar bagaimana menggunakan kloset yang dipenuhi tombol membingungkan. Aku pencet satu-satu untuk memastikan fungsinya. Aku sudah tahu mana tombol untuk menyiram tapi belum ketemu tombol untuk cebok. Tanpa ragu, aku langsung tanya ke Juwita karena Randy belum kembali ke kamar. 
“Ju, gimana caranya cebok di kloset semacam di kamar itu?” Tanyaku.
Juwita lalu masuk ke kamar mandi di kamarku. Dengan sabar dia menjelaskan fungsi tombol-tombolnya. Ternyata kalau untuk cebok memang airnya tidak akan keluar kalau tidak ada orang yang duduk di kloset. Akhirnya, malam itu aku bisa menunaikan ‘panggilan alam’ dengan tenang.
Nah kembali ke shower. Setelah lelah mencoba tak kunjung keluar airnya, aku menyerah. Aku memutuskan tidak jadi mandi. Sebab, aku sudah ditunggu oleh kawan-kawan di lobby hotel. Urusan shower, biar setelah pulang aku tanyakan ke Randy. Aku terlalu malas browsing di internet untuk mencari tutorial atau cara menyalakan shower di hotel Jepang.
ADVERTISEMENT
Setelah memastikan baju yang aku pakai tidak bau, segera kakiku melangkah keluar kamar. Sambil berjalan ke lift, tidak terasa ada beberapa panggilan masuk dari Mbak Tami partnernya Mas Tomo. Pikiranku masih santai-santai saja layaknya sedang di Jakarta.
Dan, ternyata benar, sesampainya di lobby semua kawan-kawanku sudah berkumpul ditambah dengan Tanaka dari JICA dan Pak Kuswan sebagai penerjemah. Aku meminta maaf, di pertemuan pertama telat.
Kami sebelum pamitan dengan Tanaka San dan Pak Kuswan. Dok. Istimewa sajalah.
**
Transportasi kami selama di Jepang pilihannya mayoritas hanya jalan kaki atau naik kereta. Hal itu wajar karena salah satu tujuan utama kami ikut Fellowship MRT Jakarta adalah mendalami berbagai sistem perkeretaapian di Jepang. Kalau tidak salah, hanya dua kali naik bus yaitu saat menuju ke Kantor Tokyo Metro dan Nippon Signal. Itupun bus perusahaan yang disediakan terparkir tak jauh dari stasiun kereta.
ADVERTISEMENT
Selama perjalanan pula, kami selalu berbarengan dan bisa menyaksikan bagaimana orang Jepang berangkat kerja atau beraktivitas naik kereta. Aku merasa orang Jepang selalu terburu-buru seperti dikejar waktu. Hal itu didukung dengan cara berjalan mereka yang hampir semuanya cepat. Jarang aku melihat mereka berjalan selaw seperti sambil pasang headset dan meresapi lagu 'Sewu Kutho'-nya Didi Kempot.
Suasana orang-orang saat di stasiun kereta. Dok. punyaku dewe.
Melihat orang-orang berjalan cepat, aku yang biasanya selaw jadi ikut seperti terburu-buru. Padahal sebenarnya aku ingin berjalan santai seperti biasa sambil menengok kanan dan kiri. Kan siapa tahu di perempatan ada Tsubasa sama Naruto sedang duduk menikmati segelas Es Nutrisari. 
Meski bagiku terkesan terburu-buru, orang Jepang tetap membudayakan antre. Pernah saat kami akan berangkat ke Yokohama, di Stasiun Shinjuku begitu padat penumpang. Mereka semua berbaris rapi di garis yang ditentukan. Aku yang biasanya malas antre, kini harus mengikuti aturan.
ADVERTISEMENT
Saat kereta tiba, para penumpang bergantian masuk. Kereta tampak penuh. Ketika ada aba-aba pintu ditutup, aku melihat sebenarnya masih bisa masuk asalkan orang-orang mau gotong royong dorong-dorongan. Sayangnya, mereka lebih memilih tetap berada di batas garis yang ditentukan. 
Melihat orang-orang tidak agresif, aku ingin nyerobot masuk layaknya saat naik KRL dari Pasar Minggu di jam orang berangkat kerja. Apalagi, beberapa temanku sudah ada yang bisa naik kereta melalui pintu berbeda. Namun, niat bar-bar itu aku urungkan karena sadar ini bukan Pasar Minggu, ini Shinjuku. Aku akhirnya ikut antre menunggu kereta berikutnya tiba dan merelakan temanku berangkat lebih dulu.
Pernah juga saat kami sudah kelaparan ingin makan ramen. Biasanya, aku seenaknya langsung duduk dan pesan makanan. Kali ini tidak, aku harus ikut antrean karena warung makan yang kami pilih belum ada tempat duduk kosong. Antreannya tidak di depan kasir, tapi di depan warung yang mengular menjadi satu barisan.
ADVERTISEMENT
Aku tidak tahu, kok, bisa-bisanya rela mau mengantre rapi untuk sebuah makanan. Entah makanannya enak atau tempatnya yang sempit, yang jelas saat itu aku kepikiran tempat makan prasmanan. Kalau di prasmanan kita bisa ngambil seenaknya sendiri tanpa perlu antre panjang. Di prasmanan juga kadang dapat bonus saat kita pura-pura lupa ambil gorengan lima bilangnya cuman tiga.
Bayanganku soal prasmanan belum usai saat ada panggilan masuk ke warung makan. Aku tidak tahu menu apa yang di pesan. Aku tidak ingin memperlambat hidangan tiba dengan lama memilih menu makanan. Aku ikut saja, yang penting perut kenyang.
Perutku sudah tidak sabar ingin menyantap makanan yang segera tiba. Namun, masalah kembali datang. Ternyata, warung yang kami datangi menu makanannya ada pork-nya. Kawan-kawanku mayoritas tidak bisa makan kalau ada pork-nya. 
ADVERTISEMENT
Aku sebenarnya tidak masalah, toh dari awal kita tidak tahu kalau ada pork-nya. Hanya saja, berhubung tahu ada pork sesaat sebelum makanan tiba, kami batal makan. Dana yang sudah dikeluarkan bisa dikembalikan oleh penjaga warung. Kami lalu diarahkan ke tempat ramen lain yang bebas dari pork.
Aku ikut keluar mencari warung makan lainnya. Selama berjalan, gerimis bercampur angin semakin kencang. Dinginnya cuaca membuat perutku sudah tidak karuan. Untuk menahan dingin tanpa jas hujan, aku angkat sarung pemberian emakku sebagai penangkalnya. Tak ada yang julid dengan style yang aku gunakan. 
Habis makan ramen. Dok. Difotoin mamas penjaga warung pakai hapenya Mbak Tami
Semua orang berjalan seperti biasa sampai akhirnya kami tiba di warung yang dituju. Kami makan ramen di tempat yang dipisahkan oleh bilik-bilik semacam di warnet. 
ADVERTISEMENT
***
Selama berada di Jepang, aku mengikuti agenda formal mengunjungi berbagai perusahaan atau operator yang bergerak di bidang perkeretaapian. Perusahaan seperti Tokyo Metro, Nippon Signal, JR East, Urban Renaissance Agency, sampai SONY sudah mengizinkan kami mampir dan mengikhlaskan aku menggunakan toilet kantornya untuk buang air kecil. 
Saat di Tokyo Metro. Dok. Aku dewe yang motoin.
Sepertinya, tidak perlu aku jabarkan panjang lebar mengenai kecanggihan teknologi yang dimiliki perusahaan-perusahaan tersebut. Ada yang ngatur persinyalannya. Ada yang ngatur sistem tiketnya. Ada yang bisa bikin salju buatan untuk latihan nyetir kereta. Intinya, canggihlah pokoknya. 
Oiya, saat jalan kaki menuju kantornya SONY, aku melihat banyak sepeda terparkir rapi. Sepeda itu yang disewakan kepada masyarakat melalui aplikasi. Bagi masyarakat pengguna sepeda pribadi saat bekerja, ada tempat parkir yang aman.
ADVERTISEMENT
Mulanya, aku melihat pria yang berdiri di depan pintu mirip lift. Tiba-tiba pintu itu terbuka dan keluarlah sebuah sepeda. Aku lalu menghampiri orang tersebut. Pria berjas hitam tersebut menjelaskan kalau tempat itu adalah parkiran. Ia menawarkanku menjajal tempat parkir tersebut dengan sepedanya.
Aku pegang sepeda warna merah itu dan menaruhnya di depan pintu sesuai dengan batas ban yang ditentukan. Tiba-tiba pintu itu terbuka dan sepeda dibawa masuk secara otomatis. Aku lalu bertanya bagaimana cara mengambil sepeda itu kembali?
Pria yang belum sempat aku tanyakan namanya itu kemudian meminjamkan kartunya. Ia menyuruhku menempelkan kartu tersebut di mesin samping pintu. Tanpa menunggu terlalu lama, sepeda yang aku masukkan tadi langsung keluar dan siap digunakan.
Sepeda sewaan. Dok. Aku dewe.
Wagelaseh, aku cukup kagum namun berusaha tetap kalem. Tidak perlu salto-salto kegirangan melihat kecanggihan parkir sepeda tersebut. Sebab, aku sadar kalau sedang berada di Jepang, bukan di Lamongan.
ADVERTISEMENT
Aku hanya berpikir, bagaimana cara maling di Jepang ingin mencuri sepeda kalau semua tempat parkir seperti itu? Embuh lah.
****
Setelah lima hari berkeliling di sekitaran Tokyo dan Yokohama, akhirnya aku kembali ke Jakarta. Aku pulang ke Jakarta dengan berupaya semaksimal mungkin menahan kekaguman kepada Jepang. Aku merasa tidak cocok berlama-lama di sana. Sebab, aku masih malas jadi orang yang terlalu tertib.
Sebagai gambaran sederhana, orang Jepang saat naik kereta tetap tenang walau sedang desak-desakan. Aku inginnya mereka berteriak saling protes layaknya saat naik KRL di Jakarta. 
“Mas tasnya taruh di atas aja. Sudah tahu kereta penuh juga,” “Jangan dorong-dorong,” “Dari belakang yang dorong,”. 
Keributan seperti itu yang tidak aku dapatkan di Jepang. Padahal, saat keributan itu ada pelajaran bagaimana menahan rasa sabar, tidak misuh-misuh di tengah panasnya kerumunan penumpang. Selain itu, budaya antre di Jepang saat naik kereta juga keterlaluan. Masa tidak mau dorong-dorongan pas enggak bisa masuk kereta. Kan semua juga buru-buru. Enggak serulah.
Suasana kereta di Jepang saat sepi. Dok. Moh. Fajri.
Namun, di balik semua itu aku percaya tidak mungkin tiba-tiba orang Jepang langsung tertib aturan saat naik kereta. Mulanya pas awal-awal tidak menutup kemungkinan mereka, ya, ribut kayak di Jakarta saat naik KRL. Perlu waktu yang panjang bagi orang Jepang untuk sampai pada budaya tertib saat ini.
ADVERTISEMENT
Selain itu, infrastruktur atau sistem perkeretaapian di Jepang cukup mendukung. Lha wong, keretanya banyak. Bisa saja sekitar 2 menit an kereta berikutnya sudah tiba. Jadi selaw saja kalau kereta penuh. Tidak usah dorong-dorongan sampai kejepit.
Nah, sampai sini aku percaya kalau pemerintah dan operator kereta di Indonesia khususnya di Jakarta sedang berupaya memperbaiki layanannya. Aku percaya ada tujuan dari semua pihak terkait untuk membuat kereta senyaman mungkin mulai dari segi jalur, jumlah kereta, fasilitas, waktu tiba, keberangkatan, persinyalan, sampai integrasi tiket.
Kalau segala tantangan itu bisa diselesaikan, niscaya secara perlahan masyarakat Indonesia akan tertib naik kereta khususnya KRL. Pemalas sepertiku juga akan malu kalau tidak antre. Namun, kalau orang sepertiku masih suka dan ribut di kereta, ya, embuhlah.
ADVERTISEMENT
Baiklah, cukup. Bagaimana pun kondisinya, aku tetap suka tinggal di Indonesia. Arigato, Jepang. :)
Aku dan Hachiko. Dok. istimewa sajalah.