Sebuah Catatan Sederhana Sebelum Berangkat ke Negeri Sakura

Moh Fajri
Editor kumparanBisnis
Konten dari Pengguna
8 Desember 2019 11:36 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moh Fajri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tulisan ini lumayan panjang. Tapi tenang saja, isinya cukup sederhana. Hanya berbagi kabar bahagia yang harus aku unggah sebelum berangkat ke Negeri Sakura, Negerinya Kapten Tsubasa Ozora.
Pemandangan di Jepang. Dok. Wisnu Prasetiyo
Selepas isya, aku masih dalam perjalanan menuju ke kostan saat mengetahui ada pembukaan pendaftaran program Fellowship MRT Jakarta 2019 di WhatsApp Grup. Pengumuman itu diikuti dengan berbagai respons dari peserta grup yang jumlahnya sampai ratusan.
ADVERTISEMENT
Ada berbagai tanggapan dari pengumuman yang diunggah pada Senin (4/11) pukul 20.19 WIB itu. Namun, pada dasarnya mereka tertarik mengikuti fellowship tersebut.
“Tapi saya masih junior baru setahun,” “Ayo yang pengin ke Jepang,” “Pengin banget ke Jepun,” “Ya ampun bos lagi nggak ada mau minta recomend gimana caranya coba,” contoh berbagai respons dari para penghuni grup.
Tak mau berlama-lama membaca respons, aku memilih membuka pengumuman itu. Baru sekilas membaca, aku langsung tertarik. Pada intinya program dibuka untuk semua jurnalis baik online, TV, radio, maupun cetak dimanapun berada. Mereka akan diseleksi sebelum diberikan kesempatan ke Jepang.
Peserta akan mengikuti beberapa tahap seleksi. Pertama, mengumpulkan berkas seperti surat izin kantor untuk mengikuti program Fellowship MRT Jakarta. Berkas tersebut akan dipilih oleh pihak PT MRT Jakarta untuk diambil 20 orang jurnalis yang lolos tahap berikutnya.
ADVERTISEMENT
Kedua, 20 orang beruntung itu akan mengikuti kelas yang berisi pendalaman materi mulai dari perkembangan operasional kereta, strategi bisnis, keuangan, sampai persiapan pembangunan MRT Fase II. Selama kelas, peserta akan dinilai termasuk ketepatan waktu dalam mengumpulkan tugas.
Setelah kelas selesai, PT MRT Jakarta akan memilih lima jurnalis yang bisa berangkat ke Jepang untuk melihat perkeretaapian di negeri asalnya Kapten Tsubasa dan Maria Ozawa. Fiksss aku tertarik ketemu Maria Ozawa, eh ikut Fellowship MRT Jakarta maksudnya.
Dengan kekuatan kecepatan jari netizen julid, malam itu juga aku langsung japri (chat personal) Mas Wendi, Chief of kumparanBisnis, untuk memberitahukan niat baikku mengikuti program tersebut. Tanpa babibuba, Mas Wendi langsung membalasnya “Ok,” pada pukul 20.24 WIB.
ADVERTISEMENT
Setelah semua persyaratan lengkap, aku segera mengirimkan berkas pada Kamis (7/11) atau sehari sebelum batas akhir penutupan pendaftaran. Tak lupa sebelum mengirim, aku periksa baik-baik berkas dan alamat tujuan. Jangan sampai, alamat email-nya salah kirim ke MRT China atau MRT Singapura. Setelah yakin, aku kirim berkasku dengan diiringi doa dalam hati.
Sesudah mengirim berkas itu hari-hariku tetap berjalan seperti biasa, berangkat kerja kena macet, pulang kerja macet juga, tidak ada yang istimewa. Meski begitu, saya harus tetap semangat kerja, kerja, kerja, biar mengurangi beban Pak Jokowi dalam menyiapkan jumlah Kartu Prakerja.
Oke, setop ngelanturnya, lanjut.
Senin (11/11) aku sedang berada di Hotel Ritz Carlton SCBD menghadiri undangan (bacanya liputan) dari sebuah perusahaan yang tidak perlu disebut namanya. Jelang acara dimulai, tiba-tiba ada ‘panggilan alam’ yang tidak bisa aku tunda lagi. Secepat kilat aku langsung meluncur ke toilet. Sambil duduk manis, ponsel berbau kumparan yang jadi alat perangku bergetar.
ADVERTISEMENT
Ternyata, ada surat elektronik masuk dari corporate secretary MRT Jakarta. Isinya, you know lah yaa. Segera setelah menyelesaikan ‘panggilan alam’, aku langsung menyampaikan kabar bahagia ini ke Mas Wendi.
Alhamdulillah mas, saya lolos 20 orang yang ikut kelas MRT,” bunyi pesan singkatku.
“Alhamdulillah. Lanjut Jri,” balas Mas Wendi.
Setelah pengumuman kelolosan itu, pihak MRT Jakarta akan segera memberitahukan jadwal kelas yang harus aku ikuti. Hari itu aku melangkah dengan pongah.
**
Ada tiga kesempatan kelas yang harus diikuti dengan baik jika ingin berhasil. Di kelas pertama, semangatku cukup menggebu-gebu ingin datang nomor urut satu di absennya. Macet Jakarta aku trabas demi bisa tepat waktu tiba di Depo Stasiun MRT Lebak Bulus yang menjadi venue pembuka.
ADVERTISEMENT
Sesampainya di lokasi, ternyata rekan-rekan media sudah pada datang juga. Malah ada yang sudah menunggu di dalam ruang kelas. Niatku jadi yang pertama tiba gagal. But, no problem lah yaa.
Aku lalu berjabat tangan seraya berkenalan dengan rekan-rekan media yang juga lolos tahap kelas. Tidak perlu aku kenalkan satu per satu di dalam tulisan ini. Intinya mereka yang lolos mayoritas secara pengalaman sudah makan asam garam dunia 'pertikpetan' atau 'pertranskripan'.
Suasana saat kelas berlangsung. Dok. PT MRT Jakarta
Kelas berjalan cukup lancar dengan penjelasan dari Direktur Operasi dan Pemeliharaan PT MRT Jakarta, Muhammad Effendi, yang memang menguasai materinya. Para peserta tampak atraktif bertanya mengenai teknis sampai detail materi. Aku yang duduk di posisi dekat layar proyektor hanya manggut-manggut. Sesekali aku juga mengajukan pertanyaan ringan sebagai tambahan pemahaman.
ADVERTISEMENT
Tidak terasa azan magrib berkumandang menandai kelas yang digelar pada Jumat (15/11) harus berakhir. Sebelum pamit pulang, Mbak Tami dari MRT Jakarta mengumumkan di kelas pertama ini akan dipilih 3 orang favorit yang mendapatkan hadiah. 3 orang itu akan diumumkan saat kelas kedua pada Selasa (19/11).
Sambil berjalan keluar ruangan, aku bertekad segera mengerjakan tulisan. Namun, hal itu urung terjadi karena malam ini ada agenda memaksimalkan dana senang-senang yang disiapkan kumparan. Desk ekonomi foya-foyanya bulan ini di Sarinah, Jakarta Pusat. Agar lebih efektif menghindari macet jam pulang kerja, aku memilih naik MRT dari Lebak Bulus ke Bundaran HI. Yes, in MRT we trust.
Tugas kelas pertama aku kerjakan keesokan harinya. Sembari menunggu jadwal kelas berikutnya, aku tetap bekerja seperti biasa layaknya seorang jurnalis.
ADVERTISEMENT
Hari Selasa sudah tiba. Itu tandanya kelas kedua segera dimulai. Kali ini venue-nya berada di Kantor PT MRT Jakarta dengan pemateri Direktur Keuangan dan Manajemen Korporasi, Tuhiyat. Suasana tidak ada yang berubah. Para peserta tetap aktif bertanya mengenai detail dan teknis secara mendalam. Aku tetap manggut-manggut dan duduk di dekat layar proyektor.
Suasana saat kelas berlangsung. Dok. PT MRT Jakarta.
Harapanku di kelas kedua ini selain memperoleh materi baru adalah mendapatkan rezeki sebagai peserta favorit yang akan segera diumumkan. Namun sampai berakhirnya kelas, tak ada pemberitahuan namaku mendapatkan hal itu.
Artinya, dalam 2 kali kelas aku sudah gagal 2 kali. Pertama, tidak datang paling awal. Kedua, tidak jadi peserta favorit. But, no problem lah yaa.
Atas dasar itu, tak ada rasa congkak yang terlihat saat keluar Kantor MRT Jakarta seusai kelas. Aku berjalan seperti biasa dengan pikiran ingin segera menulis. Aku berjalan selaw menuju kantin di belakang Pospol Bundaran HI.
ADVERTISEMENT
Di kantin ternyata sudah ada Iqbal. Iya, Iqbal yang tangannya tatoan. Iqbal yang ngakunya pelatih tim futsal kumparan tapi waktu pertandingan resmi malah nggak datang. Iya itu bener Iqbal Firdaus.
Sembari minum Extra Joss tanpa susu, aku berbincang dengan Iqbal yang masih menunggu agenda pemotretan berikutnya. Aku bilang ke Iqbal kalau sedang mengikuti program Fellowship MRT Jakarta. Aku bilang ke Iqbal kalau pesertanya bagus-bagus, aktif-aktif di kelas. Aku bilang ke Iqbal kalau aku selama di kelas banyakan manggut-manggut saja.
Apa kata Iqbal setelah mendengar ceritaku?
“Biasanya yang kayak kau gitu malah yang lolos,” ujar Iqbal.
Deg. Aku kaget pernyataan bijak meneduhkan itu muncul dari seorang Iqbal. Saat itu juga ingin aku aniaya Iqbal. Sebab, aku pernah dengar kalau doa orang teraniaya itu dikabulkan. Namun, niat itu urung aku lakukan. Aku tidak mau melukai teman hanya karena urusan duniawi.
Aku saat mengajari Iqbal bagaimana cara menjadi anak gawang yang baik. Dok. Istimewa saja.
Selepas Iqbal geser, aku tetap menikmati Extra Joss tanpa susu sembari menyelesaikan bahan tulisan. Aku menulis dengan kondisi yang tidak mempunyai daya ledak seperti kelas pertama.
ADVERTISEMENT
Dalam hati aku ingin lolos dan berangkat ke Jepang. Hanya saja sampai pulang ke kostan, aku masih belum percaya diri. Kalau orang bijak melihat kondisiku pesannya sudah bisa ditebak, "Harus optimis Jri."
Ketidakoptimisanku itu juga sudah kuungkapkan ke Mas Wendi saat kita berbincang di WhatsApp. Aku mendapatkan arahan ke Singapura, tetapi aku juga ada peluang ke Jepang.
“Yang ini (lolos Fellowship ke Jepang) doakan ya Mas, soalnya jadi pesimis gegara di kelas nggak seaktif peserta yang lain, sama belum e-paspor,” ucapku yang dibalasnya, “Didoakan dan di-suport dari semula.”
Kelas ketiga atau yang terakhir akhirnya tiba. Kelas yang digelar Rabu (27/11) juga bertempat di Wisma Nusantara. Aku berangkat dengan perasaan biasa-biasa saja. Istilahnya sudah tidak ada beban sama sekali.
ADVERTISEMENT
Saat kelas berlangsung, aku tetap manggut-manggut mendengarkan penjelasan. Kali ini, aku memilih duduk di dekat pengeras suara. Aku simak baik-baik paparan dari Dirut PT MRT Jakarta, William Syabandar.
Dirut PT MRT Jakarta saat menyampaikan materi di kelas. Dok. saya sendiri.
Tidak terasa, kelas berakhir dengan berbagai macam pengetahuan baru yang aku dapatkan. Aku merepetisi aktivitasku seperti setelah kelar kelas kedua beberapa waktu lalu.
Aku jalan pelan menuju kantin belakang Pospol Bundaran HI. Beruntungnya tidak ada Iqbal kali ini. Aku bisa fokus minum es Nutrisari jeruk sambil kerja, kerja, kerja, tanpa berpikir menzalimi Iqbal.
Setelah tanggung jawab hari itu selesai, aku langsung bergegas ke kostan dengan mengabaikan ajakan kawan untuk sejenak berbincang. Di tengah perjalanan gas motorku terhenti mengikuti tanda lampu merah. Aku tiba-tiba kepikiran lolos ke Jepang atau enggak ya?
ADVERTISEMENT
Namun, pikiran itu hilang saat lampu berganti hijau diiringi klakson motor yang saling bersahutan. Aku merasa sudah melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai kemampuan. Kalau lolos berarti rezekiku. Kalau enggak lolos yaudah lah yaa.
***
Jumat (29/11), aku merasa cuaca cukup panas. Padahal, hari juga belum terang-terang amat. Setelah mulet-mulet sebentar, aku baru ngeh, panas ini bukan dari cuaca. Tetapi semalam aku lupa belum menyalakan kipas angin sebelum tidur. But, no problem lah yaa.
Aku langsung menyalakan kipas angin di atas lemari kecil kostanku. Saat mata benar-benar sudah melek, aku bergegas ke kamar mandi tanpa sempat merapikan tempat tidur. Setelah dandan cukup ganteng, aku langsung bergegas kerja, kerja, kerja.
ADVERTISEMENT
Semua berjalan seperti biasa sebelum aku mendapatkan surat elektronik dari Corporate Secretary MRT Jakarta. Segera aku buka surat itu tanpa tedeng aling-aling. Kubaca pelan-pelan isinya. Dan, you know lah yaa. Aku lolos Fellowship MRT Jakarta dan berangkat ke Jepang bersama 4 orang lainnya.
Rencananya kami akan berangkat tanggal 9 sampai 13 Desember 2019. Tidak ada ekspresi berlebihan dengan coret-coret baju atau bakar ban untuk merayakan kelolosan itu. Aku memilih segera membagikan kabar bahagia itu kepada Mas Wendi.
“Wah ini dari Singapura nyambung ke Jepang,” ujar Mas Wendi.
Membaca pesan itu aku jadi mikir “Iya juga yoh,”. Tanggal 3-5 Desember aku memang diagendakan kerja, kerja, kerja, ke Singapura. Aku periksa lagi email pemberitahuan dari MRT Jakarta, ternyata antara tanggal 2-6 Desember digunakan untuk mengurus visa.
ADVERTISEMENT
Mengurus visa harus menggunakan paspor asli karena punyaku belum e-paspor. Nah, kalau aku berangkat ke Singapura otomatis tidak bisa ngurus visa. Tidak ngurus visa berarti tidak jadi berangkat ke Jepang.
Aku dihadapkan dengan dua pilihan antara ke Jepang atau Singapura. Agenda di Singapura harus ada reporter yang datang. Semua fasilitas seperti tiket pesawat sampai hotel sudah dibelikan panitia di Singapura atas namaku.
Aku lalu berkoordinasi dengan panitia di Singapura mengenai keadaanku. Mereka memahami kondisiku. Dengan mengambil konsekuensi yang ada, aku batalkan ke Singapura dan lebih memilih Jepang.
“Setelah saya pikir-pikir memang kalau suruh milih, saya ambil yang fellowship Mas soalnya sepertinya bakal ada pengalaman beda,” ujarku ke Mas Wendi.
Pemandangan di Jepang. Dok. Wisnu Prasetiyo.
Akhirnya, sisa waktu yang ada aku manfaatkan melengkapi berkas-berkas yang diperlukan untuk mengurus visa mulai surat keterangan karyawan sampai kartu keluarga. Semua berkas selesai tepat waktu. Dan, aku segera berangkat ke Jepang.
ADVERTISEMENT
Arigato.