Konten dari Pengguna
Cerita Mesin Tik yang Dahulu Pernah Mengisi Hari-Hari Menulis
9 September 2025 12:26 WIB
·
waktu baca 5 menit
Kiriman Pengguna
Cerita Mesin Tik yang Dahulu Pernah Mengisi Hari-Hari Menulis
Mesin tik tak terpungkiri dahulu pernah mengisi hari-hari untuk kegiatan menulis. Ia kini duduk manis di sudut peradaban. Namun, perannya tidak dapat dimakzulkan dari kriteria penting.Mohamad Jokomono
Tulisan dari Mohamad Jokomono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sekarang sudah ada laptop alias komputer jinjing. Bahkan, ada telepon genggam (handphone) dengan setting-an perangkat aplikasi Words. Dengan demikian, kegiatan menulis artikel ringan atau sekadar untuk belajar lagi tentang hal baru serta membagikan hasil belajar kepada khalayak pembaca, seluruh prosesnya terutama dalam soal pengeditan, dapat berlangsung dengan relatif tidak terlalu ribet. Malahan boleh dikatakan lebih praktis. Menjadikan menulis sebagai kegiatan yang menyenangkan.
ADVERTISEMENT
Beda sekali semasih mengakrabi mesin tik dahulu. Terutama dalam proses pengeditan naskah secara mandiri. Apalagi, saya termasuk jenis orang yang tidak bisa dengan sekali menuangkan gagasan ke dalam tulisan, otomatis struktur kalimat dan diksinya bisa tertata rapi sebagaimana yang menjadi harapan. Saya memerlukan waktu yang memungkinkan gagasan itu bisa seiring dan sejalan dengan kerja editorial secara optimal.
Puluhan tahun lalu, semasih menggunakan mesin tik saat menunaikan seluruh kegiatan tulis-menulis, saya merasakan begitu penting keberadaannya dalam kehidupan ini sehingga hampir-hampir tak bisa terpisahkan. Dahulu sekali pernah hadir puisi saya yang menggambarkan begitu berarti dan begitu erat hubungan saya dengan benda bernama mesin tik itu. Berikut puisi saya yang pernah dimuat di Harian Wawasan Semarang, edisi Minggu, 18 Agustus 1991:
ADVERTISEMENT
Sajak mesin ketik 1
//entahĺah bila kau tak ada/mungkin keletihan jiwa itu/tiada tertahankan lagi, merambahi/seantero sendi-sendi gairah//
//entahlah bila kau tak ada/mungkin beban kesia-siaan itu/bakal kian memberati/ringkih pundak//
//entahlah bila kau tak ada/mungkin sisa usia ini/tak lagi mampu menahan/kerinduan pada pesona ajal//
Sajak mesin ketik 2
//telah ribuan kali kupacari dirimu/sembari mengguliri arus ide-ide/bersama dendang tik tak tik …/yang membuatku eling akan makna hidup//
//segala desah kesah/telah kulumattuntaskan/dalam keintiman berdua/yang membuncahkan keriaan sukma//
//tapi tak selamanya kau ramah/dan sedia berkompromi/tatkala goda kemacetan/menghempasi pikir//
Dengan mesin tik, untuk pertama kalinya tulisan saya berupa esai sastra dimuat di Harian Kartika Semarang, Edisi Minggu, 4 Mei 1986. Dan, terakhir kali saya beruntung dapat memuatkan sebuah esai sastra juga yang saya tulis dengan mesin tik, di Koran Kampus IKIP Negeri Semarang Nuansa, Edisi 66, Tahun VI, Maret 1995. Bila dihitung dari 1986 hingga 1995, maka tidak kurang dari 285 tulisan berupa esai, puisi, cerita pendek yang saya hasilkan berkat mesin tik. Sejumlah media massa cetak daerah dan Ibu Kota telah berbaik hati menayangkannya pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Pengeditan Mandiri
Satu hal yang tidak pernah saya lupakan dari menulis dengan mesin tik, yaitu proses pengeditan mandirinya. Ini bisa jadi pengalaman yang lebih mempribadi. Tidak tiap orang melakukannya. Dan, lebih merupakan pilihan individual untuk memudahkan dan memastikan proses pengeditan mandiri itu dapat berjalan dengan semaksimal mungkin.
Untuk konsep (rancangan) awal penulisan, pada saat itu saya biasa memanfaatkan kertas buram. Harganya lebih ekonomis dibandingkan jenis HVS atau kuarto putih. Bisa jadi karena berasal dari kertas daur ulang serta tidak mengalami proses pemutihan. Di kertas buram itulah saya mengetik apa saja yang terlintas di pikiran.
Pengeditan mandiri yang sering saya lakukan pada saat itu, jika menemukan kata atau kalimat yang kurang mewakili apa yang saya masudkan, tindakan yang spontan adalah mencoretnya dengan bolpoin dan langsung menuliskan kata atau kalimat pengganti di atasnya. Kemudian saya meneruskan kalimat berikutnya berdasarkan kalimat yang sudah saya koreksi itu.
ADVERTISEMENT
Demikian proses itu berjalan terus hingga saya merasa tulisan itu berada di titik akhir. Suatu titik manakala pikiran dan perasaan saya bisa bersepakat untuk sementara,, bahwa paparan dari suatu gagasan yang sudah terhidang cukuplah sudah. Pada kesempatan yang berbeda, titik akhir itu, bisa saja berubah. Nah, hasil naskah tulisan yang masih berstatus konsep itu berupa ketikan yang di sana-sini ada banyak coretan berupa koreksi pembetulan.
Biasanya, kalau sudah selesai satu konsep tulisan, saya endapkan dahulu barang dua hingga tiga jam. Sekadar mengistirahatkan diri sejenak untuk mencari momen yang tepat guna melanjutkan proses pengeditan mandiri. Bahkan, terkadang sampai berhari-hari. Kalau hitungan proses pengendapan itu sampai berhari-hari, saya juga sesekali mengerjakan naskah konsep lain. Mumpung ada gagasan yang mampir di kepala secara berdekatan.
ADVERTISEMENT
Proses pengetikan ulang, acapkali tidak semulus harapan. Biasanya itu terjadi, manakala naskah tulisan sudah rapi terketik di kertas HVS atau kuarto putih dan siap menghuni amplop plus tempelan prangko secukupnya untuk bermigrasi via Kantor Pos ke meja redaksi surat kabar tujuan. Tiba-tiba saja ada gagasan substansial yang belum masuk. Karena sebelumnya tidak terlintas di pikiran. Kalau kasusnya seperti ini, mau tidak mau harus diketik ulang.
Pada tahapan pengetikan ulang, saya sering melakukan dua hingga tiga kali. Guna mengatasi salah ketik, saya mengandalkan Tip-ex. Kertas-kertas konsep tulisan yang akhirnya tidak jadi dikirim ke redaksi surat kabar itu, tidak saya buang. Tapi, saya manfaatkan halaman kosong di baliknya untuk proses awal penulisan dengan mesin tik yang penuh dengan coretan koreksi. Ini cara saya untuk menyiasati proses cara pengeditan mandiri yang secara faktual memang membutuhkan banyak kertas. Dengan cara demikian, kebutuhan akan kertas untuk coret-coretan tidak harus selalu dengan kertas baru. Lumayan untuk sekadar mengerem bujet pengeluaran.
ADVERTISEMENT
Saat itu, untuk esai sastra dan budaya dengan jarak spasi ketikan antarbaris 1,5 hingga 2, saya biasanya membutuhkan tiga sampai empat lembar kertas HVS atau kuarto putih. Untuk cerita pendek lebih banyak lagi, lima hingga enam lembar kertas. Untuk puisi, biasanya cukup satu lembar. Nah, bisa dihitung berapa lembar kertas yang saya gunakan, jika dalam proses pengeditan manual tiap tulisan dibutuhkan dua hingga tiga kali.
Mesin tik kini tinggal kenangan. Dia cukup duduk manis di sudut peradaban. Tak lagi menyertai hari-hari untuk kegiatan menulis. Perannya pun telah digantikan laptop, bahkan cukup dengan handphone. Menulis bisa dilakukan di mana-mana, asal tersedia gagasan di kepala. Pengiriman tulisan pun tidak lagi harus repot-repot melalui surat lewat jasa Kantor Pos. Tiap media massa online memiliki aplikasi pengiriman tulisan sendiri. Zaman memang telah berubah.
ADVERTISEMENT
Teknologi komputer telah melancarkan pemungkinan dari yang dahulu hampir tidak pernah terlintas di pikiran akan mungkin bisa terjadi. Termasuk pekerjaan pengeditan mandiri dengan proses yang tidak ribet. Segalanya menjadi lebih mudah dan memberikan hasil lebih optimal. Hanya kalau mengenang mesin tik, terasa benar benda itu memberikan pengalaman menulis yang penuh kelok liku perjuangan. Dan, suara dendang tik tak tik … itulah yang terkadang sungguh menerbitkan rasa kangen. Tapi, jujur saja saya sekarang lebih enjoy menulis di handphone. ***

