Hewan Peliharaan (8)

Untuk ke sekian kali setiap kelopak mata Hanan terbuka dia melihat ruang yang sama. Cengkeraman borgol di salah satu pergelangan tangan masih melingkar begitu rapat, menimbulkan goresan-goresan tajam di permukaan kulit ketika ada gerakan yang terlalu tergesa. Luka-luka di dahi dan belakang kepala Hanan telah mengering, tetapi rasa sakit di kepalanya tak kunjung reda, seakan-akan benaknya juga ikut cedera.

Bau anyir darah yang tertinggal di sekitar pelipis, noda anggur yang membasahi kemejanya beberapa malam lalu, juga sisa makanan yang membusuk di atas piring berbaur lebur. Dalam celah-celah waktu yang tak dihitung Hanan, Thalita rutin memberinya makanan dan minuman. Perempuan itu juga membawakan bantal beserta selimut walau sepertinya tak memikirkan bagaimana cara Hanan berbaring dengan tangan terangkat satu. Ada sebuah ember tak jauh darinya sebagai tempat darurat membuang hajat yang disediakan sang istri.

Selama berada dalam garasi yang tidak memiliki jendela, tidak pula disinggahi cahaya dari luar, seluruh panca indranya tersiksa. Segala hal di sekeliling membuat Hanan mual, sungguh bergejolak hingga menyumbat saluran pernapasan juga membelit kinerja otaknya. Beberapa kali di saat sepi menggelayut, Hanan mentertawakan diri yang lebih pantas dianggap sebagai hewan peliharaan ketimbang seorang suami.