Apa Jadinya bila Wartawan Militan, Kini Kantongi Sertifikat Keahlian?

Resya Firmansyah
Journalist Yesterday Afternoon
Konten dari Pengguna
12 November 2018 0:46 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Resya Firmansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sabtu (10/11), saya mendapat informasi bahwa 100 persen wartawan kumparan lulus Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang diadakan London School of Public Relations dan Dewan Pers bersama kumparan, belum lama ini.
ADVERTISEMENT
Saya pun tersenyum, tak heran. Wartawan kumparan sejak awal masuk sudah dididik disiplin dan militan, sehingga dari kompetensi dan daya juang mengejar berita tak perlu diragukan.
Ah, ketika membaca kata “militan”, tetiba ingatan saya kembali ke memori liputan 4 bulan lalu.
----
Pagi itu, sekitar pukul 3.00 WITA, saya terbangun dari tidur dengan kondisi dada dan perut panas, serta sesekali di bagian ulu hati tercengkeram. Sebelumnya saya belum pernah merasakan sakit yang serumit itu.
Walaupun terasa sakit, saya mencoba untuk terus memejamkan mata. Sesekali bisa tertidur memang, tapi tidak nyenyak karena beberapa kali harus terbangun karena rasa sakit yang tak kunjung hilang.
---
Waktu sudah menunjukkan pukul 4.30 WITA, kamar lantai 1 di Hotel Lombok Raya yang saya tempati, diketuk. “Mas Firman, bangun. Jam 5 (pagi) kita berangkat ke Lombok Timur ya,” seru mas Arief.
ADVERTISEMENT
Ya, saat itu, saya memang tidak berada di Jakarta, saya di Kota Maratam, Nusa Tenggara Barat (NTB). Saya diminta mas Habibi, koordinator peliputan kumparan, untuk meliput Konferensi Ulama Internasional di sana, mulai Rabu sampai Minggu (26-30 Juli 2018).
Mas Arief sendiri merupakan salah satu tim media Gubernur NTB waktu itu, Tuan Guru Bajang (TGB) yang merupakan Ketua Panitia Konferensi Ulama Internasional. Selama acara, mas Arief yang paling sering menemani saya, dan 7 wartawan lain yang diundang.
Sesaat setelah mas Arief mengetok pintu, saya sempat berpikiran untuk izin tidak ikut ke Lombok Timur. Selain kondisi yang tidak fit dan waktu tempuh antara Mataram dengan Selong sekitar 2,5 jam, juga acara yang akan dihadiri bukan merupakan bagian dari Konferensi Ulama Internasional.
ADVERTISEMENT
Konferensi Ulama Internasional hanya berlangsung dari Rabu-Sabtu (26-29 Juli 2018), sedangkan agenda kami, wartawan yang diundang, pada hari Minggu adalah menghadiri ulang tahun Nahdlatul Wathan, ormas keagamaan yang didirikan alm. kakek TGB, di tanah kelahirannya, di Selong, Lombok Timur.
Namun niat tidak ikut berangkat itu akhirnya saya urungkan. Alasannya yakni takut ada berita bagus dari acara itu, dan saya ingin dapat kesan baik dari orang yang menugaskan saya. Sebab sehari-hari saya adalah wartawan ekonomi, sementara ini liputan ini adalah ranah desk news. Ya harapannya ke depan ditugasin dinas lagi sama desk lain, hahaha. #ngarep
Oke skip, kembali ke cerita...
Saya pun bergegas keluar kamar menuju lobi hotel, tanpa mandi, hanya cuci muka. Di sana, saya menemui teman wartawan lain yang ternyata senasib. Ada yang perut panas disertai diare, ada yang sakitnya sama seperti saya, ada juga yang cuma diare saja. Intinya sakitnya sama, tapi tingkat keparahannya beda-beda.
ADVERTISEMENT
Kami menduga, makan malam yang kami santap sebelumnya yang jadi sumber masalah. Kemudian kami meminta mas Arief untuk mampir ke apotek beli obat. Mas Arief lalu menawarkan, setelah sampai Lombok Timur untuk berobat di RSUD Selong yang jaraknya dekat dengan lokasi acara. Kami pun mengiyakan.
---
Setibanya di lokasi acara, pukul 8.00 WITA, saya kaget mas Habibi mengirim pesan WhatsApp ke saya. Kurang lebih yang ditanyakan soal gempa yang beberapa menit sebelumnya melanda Lombok. Saya pun berpikir sejenak sebelum membalas pesan itu.
Selain pas posisi gempa lagi di dalam mobil, di sepanjang perjalanan saya juga tidur karena minum obat. Jadi enggak terasa apa-apa. Apalagi di lokasi acara yang saya kunjungi, masyarakatnya sama sekali tak kelihatan panik. Akhirnya, saya lapor ke mas Habibi kalau enggak terasa gempa.
ADVERTISEMENT
“Oke,” jawabnya singkat, seingat saya.
---
Tidak lama setelahnya, di pertengahan acara seusai sambutan TGB, sekitar pukul 9.30 WITA, saya dan salah seorang wartawan memutuskan untuk keluar gedung dan pergi berobat ke rumah sakit. Kami sepakat pergi ke rumah sakit bergantian, jaga-jaga barangkali ada statement TGB soal gempa.
Tapi baru 500 meter berjalan, teman saya yang sejak awal mengeluh diare itu, p*p di celana. Saya kemudian diminta untuk pergi duluan ke rumah sakit, dia mau ganti celana. Sedih sih karena harus jalan sendiri, tapi di lain sisi pengin ngakak juga. Oh iya waktu itu, di lokasi acara penuh orang, mobil enggak bisa lewat. Jadi untuk menuju rumah sakit, kami harus berjalan kaki sekitar 15 menit.
Singkat kata, sesampainya di RSUD Selong Lombok Timur, saya disuguhkan pemandangan yang tidak biasa. Seluruh pasien di dalam rumah sakit dievakuasi keluar, teriakan panik terus terdengar. Tak butuh lama, walaupun di awal niatnya berobat, saya mengambil handphone untuk merekam suasana, dan kemudian mengabarkannya ke mas Habibi.
ADVERTISEMENT
Setelah kurang lebih 45 menit keliling rumah sakit untuk mencari informasi gempa, saya memutuskan berjalan ke ruang UGD, memeriksakan diri. Kondisi badan saya makin drop.
Tapi setibanya di ruang UGD, saya bingung harus melakukan apa. Tak ada perawat jaga, semua tempat tidur perawatan ditempati korban gempa yang bersimbah darah, dan suara tangisan terus terdengar.
Beberapa menit saya duduk terdiam di kursi jaga tenaga medis UGD. Hingga akhirnya, seorang perawat datang dan menanyakan keperluan saya di situ. Saya pun lantas minta diperiksa.
Namun dia mengaku hanya bisa memeriksa dan membuat resep, tidak bisa memberikan obat. Sebab apoteker yang seharusnya jaga, ikut mengevakuasi pasien. Saya pun tidak mempermasalahkan, dan kemudian mengirim pesan ke mas Arief untuk mengantarkan ke apotek.
ADVERTISEMENT
Sekitar 15 menit berselang, mas Arief datang menggunakan mobil Avanza menjemput saya. Katanya sekalian cari obat, saya akan diantarkan kembali ke Kota Mataram, sembari menunggu penerbangan pulang ke Jakarta pada pukul 19.30 WITA, malam harinya.
Di mobil itu, saya hanya bersama seorang wartawan SCTV, Tirto.id, dan Trijaya FM. Sementara 3 wartawan lain nanti akan balik ke Kota Mataram menggunakan Hiace, mobil yang semula mengantarkan rombongan wartawan ke Lombok Timur.
---
Dalam perjalanan menuju Kota Mataram, sekitar pukul 13.00 WITA mas Habibi kembali mengirimkan pesan meminta saya untuk extend liputan gempa di Lombok. Deg, perasaan saya yang awalnya senang karena malam harinya akan pulang, seketika berubah galau.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya saya ingin sekali menolak karena badan yang betul-betul tidak bisa dikondisikan. Tapi karena darurat, saya mengiyakan. Mas Habibi pun kemudian bilang segera mencarikan kendaraan dan hotel menginap.
---
Drama pertama pun terjadi. Saat tiba di Kota Mataram pukul 13.30 WITA, mobil Hiace yang membawa tas saya belum berangkat dari Lombok Timur. Sementara asisten redaktur di kantor sudah memerintahkan saya untuk mendekat ke lokasi gempa di Sembalun dan Sambeliye, Lombok Timur.
Di lain sisi pada waktu itu, mas Habibi tidak kunjung memberi kabar terkait kendaraan yang saya pakai menuju lokasi gempa tersebut. Pekerjaan saya waktu itu adalah browsing untuk mencari kendaraan sewaan, sebab mas Habibi ternyata kesulitan mencari kendaraan yang bisa disewa.
ADVERTISEMENT
Satu jam setelahnya, akhirnya saya mendapatkan sepeda motor yang bisa disewa. Pun dalam mendapatkannya, saya tidak bilang motor itu mau dipakai untuk liputan gempa, tapi dalam rangka bulan madu, wkwkw. Saya yakin kalau bilang untuk meliput gempa, pasti pemiliknya akan pikir-pikir.
Dan selang 15 menit, motor itu diantarkan. Oh iya untuk meyakinkan kalau saya sedang bulan madu, saya meminta bertemu di lobi Hotel Santika Kota Mataram, hahaha. Setelah menerima motor itu, hal yang pertama saya lakukan adalah mengambil tas yang tertinggal di mobil Hiace.
Awan yang mengiringi perjalanan menuju Lombok Timur begitu gelap, seolah mendramatisasi kekecewaan saya yang batal pulang ke Jakarta. Sekitar pukul 15.30 WITA, saya berhenti di Indomaret untuk membeli stok makanan & air mineral, saya butuh itu sebelum meminum obat, takut di lokasi sulit mendapatkan makanan.
ADVERTISEMENT
Kesempatan berhenti itu, saya gunakan juga untuk membalas pesan teman-teman di kantor, Wisnu dan Yudhis yang terus memberi arahan. Waktu itu, saya (masih) diminta untuk langsung menuju lokasi gempa di Sembalun atau Sambeliye. Tapi tidak saya iyakan, sebab dari indomaret itu menuju lokasi membutuhkan waktu 3-4 jam.
Berdasarkan info dari penjaga Indomaret, saya harus melintasi kawasan hutan Gunung Rinjani yang tanpa lampu nan sepi untuk mengakses lokasi itu. Pun setelah melihat google map, kalau waktu itu langsung berangkat, kira-kira saya sampai di lokasi sekitar pukul 19.00-20.00 WITA. Saya tak mau mengambil risiko, dan meminta izin untuk berjaga di RSUD Selong, Lombok Timur.
---
Sesampainya di RSUD Selong Lombok Timur, sekitar 17.00 WITA, saya langsung berkeliling mencari bahan berita. Beruntung waktu itu saya bertemu teman korban meninggal asal Malaysia akibat gempa Lombok. Setidaknya ada berita yang bisa dilaporkan.
ADVERTISEMENT
Setelah wawancara, badan saya kembali drop, waktu itu dada benar-benar terasa sangat panas. Saya pun memilih untuk duduk di deretan kursi di ruang registrasi pasien yang pada waktu itu sama sekali tidak ada orang. Hening, sedih. Dalam kondisi sakit, tidak ada orang di sekitar yang dikenal.
Beruntung waktu itu teman seangkatan masuk kumparan, Nabilla Fatiara, rekan sesama reporter ekonomi, Nurlaela & Latif, serta rekan satu daerah, Jihad, menyemangati. Percayalah, kata-kata penyemangat itu menjadi energi. Oh iya, satu lagi, reporter kumparan itu solid dalam menyemangati satu sama lain. :)
Setelahnya, saya mencari hotel di sekitar RSUD itu, dan baru dapat sekitar pukul 19.30 WITA. Saya sempat kesulitan mencari hotel karena Presiden Jokowi keesokan harinya akan berkunjung ke lokasi bencana. Otomatis hotel yang ada di sekitar Selong, ibukota Lombok Timur penuh dengan rombongan Paspampres, dan kementerian teknis pengiring.
ADVERTISEMENT
---
Pagi itu, sekitar pukul 4.00 WITA, saya terbangun oleh alarm dan bersiap untuk menuju Sembalun, lokasi yang akan dikunjungi Presiden Jokowi pada pukul 8.00 WITA. Estimasi perjalanan dari hotel yang saya huni ke lokasi sekitar 2,5 jam. Otomatis berangkat maksimal pukul 4.30 WITA adalah kewajiban.
Sepanjang perjalanan, kondisinya memang seperti yang diceritakan mas penjaga Indomaret. Harus melewati kawasan hutan Gunung Rinjani yang sepi, tanpa lampu, jalanan terjal nan curam, serta tidak ada sinyal. Saat itu yang saya takutkan bukan kondisi sekitar, melainkan hanya takut tidak sampai lokasi karena maps tidak berfungsi.
Tapi syukurlah, saya sampai di kantor kecamatan Sembalun pada pukul 7.00 WITA. Meski begitu, ternyata drama kedua dimulai. Jadwal Jokowi diubah, dari semula mengunjungi Sembalun jadi mengunjungi Sambeliye. Hal itu baru saya ketahui setelah saya buka handphone saat sampai.
ADVERTISEMENT
Praktis saya bingung sejadi-jadinya. Kemudian saya menghubungi mas Habibi, menceritakan perubahan jadwal itu. Beruntung dia memahami, dan meminta saya untuk bertahan di lokasi. Sebab ada ratusan pendaki yang belum terevakuasi dari Gunung Rinjani akibat gempa. Saya pun bernafas lega.
Sisi positifnya saya berada di Sembalun, puluhan narasumber penting secara bergantian terus datang. Lokasi itu selalu ramai karena ada proses evakuasi pendaki. Berbeda dengan Sambeliye yang hanya ramai saat Jokowi tiba. Tapi sisi negatifnya, hampir tak ada rumah di Sembalun yang roboh. Jika ada, lokasinya jauh.
Itu yang membuat saya di awal agak tidak enak hati dengan kantor karena tak ada rumah roboh yang dipotret. Sebenarnya bisa saja saya melipir ke tempat yang terdampak parah gempa, tapi waktu itu di kantor kecamatan Sembalun tiap satu jam sekali selalu kedatangan tokoh penting, takut ada momen yang terlewatkan. Lagi-lagi di sini, kantor memahami.
Selama di Sembalun, saya beruntung bertemu dengan Vino, wartawan Detik.com yang bisa diajak kerja sama dalam hal “membelah diri” mencari narasumber di tengah kerumunan.
ADVERTISEMENT
Sementara dalam hal kendaraan, fotografer Antara, mas Akbar Gumay yang banyak membantu, membolehkan saya menumpang di mobil sewaannya beberapa kali menuju lokasi penjemputan pendaki di salah satu pos Gunung Rinjani.
Oh iya, mungkin rekor menulis terbanyak saya pecah di Sembalun, sehari bisa lebih dari 20 berita. Waktu kerja mulai dari 5.00 WITA, selesai pukul 22.30 WITA. Wawancara, waktu transkrip maksimal 20 menit, waktu menulis maksimal 30 menit, repeat. Hahaha.
Badan yang tak begitu enak menjadi biasa saja meski kerja berat, sebab hati saya gembira karena dikelilingi banyak teman-teman baru, dan atmosfer liputan yang menyenangkan. Saya berada di Sembalun hanya 3 hari karena Basarnas cepat dalam mengevakuasi pendaki.
ADVERTISEMENT
Hari itu, Selasa siang (31/7), mas Habibi menginstruksikan saya untuk berkemas menuju Kota Mataram, yang juga menginformasikan tiket pulang saya pada Rabu (1/8) pagi. Sebelum kembali ke Kota Mataram, saya menyempatkan mampir di posko pengungsian warga Sembalun, bermain dengan anak-anak kecil di sana hingga sore.
“Ya, saya memang tidak punya uang untuk dibagi denganmu, Dik. Tapi setidaknya, saya punya waktu untukmu. Saya tidak vokal, tapi setidaknya saya punya lisan dan tulisan yang dapat berbicara tentangmu,” pikir saya waktu, itu.
Mungkin, pengalaman yang saya ceritakan di atas, mayoritas wartawan kumparan lain juga pernah merasakan. Kalau belum, pasti lah mereka pernah militan dengan cara yang berbeda dalam mencari berita.
ADVERTISEMENT
Melihat kondisi itu, saya yakin berita kumparan yang disajikan ke depan akan tetap cepat karena militansi wartawannya, serta (kemungkinan besar) akan bertambah baik dan akurat karena produsen berita di kumparan lebih memahami kaidah jurnalistik.
Nah kalau sudah begitu, pembaca sudah tak ada alasan lain bukan untuk tidak #sekarangkumparan? :) .