Imajinasi dan Praktik Demokrasi Kita

Muchlis R Luddin
Penulis adalah Guru Besar Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan saat ini menjabat sebagai Irjen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Konten dari Pengguna
16 November 2018 20:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muchlis R Luddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Imajinasi dan Praktik Demokrasi Kita
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Dalam demokrasi politik yang terbuka seperti sekarang, semua orang yang berkepentingan melakukan eksposur secara masif. Setiap hari kita menyaksikan adanya sesuatu yang baru. Sesuatu yang dipertontonkan kepada masyarakat. Sesuatu yang dipertontonkan itu bisa saja menyenangkan, bisa juga tak menyenangkan, atau bahkan bisa menyebalkan.
ADVERTISEMENT
Apa yang dipikirkan oleh orang dinyatakan secara terbuka untuk dibaca, dilihat, didengar, didiskusikan, bahkan dikritik. Dunia politik dan demokrasi dipenuhi oleh eksposur-eksposur, baik dalam bentuk kata-kata, simbol, bendera, spanduk, meme, billboard, selebaran, dan lain sebagainya.
Kota-kota yang tadinya sepi dari atribut, sekarang ini telah menjadi arena tempat eksposur semua pesan dan pernyataan. Kota-kota dihiasi, bahkan dikotori oleh bendera, spanduk, pamflet, selebaran, billboard, dan alat peraga lainnya.
Kadangkala, semua eksposur tersebut telah kadaluarsa, tak bermakna. Bahkan banyak sekali, apa yang disajikan dirasakan tak layak. Dunia kehidupan publik menjadi dilumuri oleh spanduk, pamflet pematutan diri. Dunia kehidupan kita dikungkung oleh spanduk-spanduk dan bendera-bendera.
Ruang publik Menjadi kotor. Kota-kota menjadi kumuh. Wajah kota menjadi murung, seperti kita yang sedang mengernyitkan dahi, mempertanyakan mengapa kota-kota kita, kampung-kampung kita, desa-desa kita, tak lagi indah?
ADVERTISEMENT
Mengapa ruang publik kita menjadi kumuh?
Jangan-jangan ruang publik itu memcerminkan kekumuhan mentalitas para penghuninya.
Tetapi, memang eksposur itu memiliki kekuatan yang merembes. Ia dapat menembus batas-batas. Orang yang tadinya belum tahu, kemudian menjadi tahu. Orang yang tadinya tak paham menjadi paham. Orang yang tadinya “tak sebel” menjadi “sebel”. Orang yang tadinya tak mau diganggu menjadi terganggu. Orang yang tadinya tak mau tahu menjadi peduli.
Orang yang tadinya tak mengerti menjadi mengerti. Orang yang tadinya tak suka menjadi suka. Itulah kekuasaan eksposur. Ia bergerak dari seni, kesenian, sampai jauh ke praktik dunia politik yang memerlukan branding.
Sebuah arena politik yang mengutamakan citra dan bungkus ketimbang isi atau substansi. Eksposurlah yang membikin sesuatu yang pada awalnya susah dipahami menjadi mudah dimengerti. Eksposurlah yang membuat sesuatu yang awalnya sulit dimengerti menjadi sesuatu yang disukai, diterima, bahkan menjadi sesuatu yang dikagumi.
ADVERTISEMENT
Dalam pada itu, kemudian saya teringat kembali Immanuel Kant (1790). Kant yang menulis “Treatise Critique of Judgment”. Dalam uraiannya, Kant menyatakan bahwa apa yang tadinya tak disukai, kemudian menjadi disukai, adalah sebuah “a free play of the mind”.
Kesenangan orang terhadap sesuatu, kesukaan orang terhadap sesuatu -walaupun sebelumnya orang itu tak mengerti, atau tak menyukainya- adalah sebuah hasil dari “a free play of the mind”.
Ini terjadi ketika seseorang menemukan sesuatu ide, atau bertaut dengan sebuah gagasan, atau berkelindan dengan sebuah pesan yang menarik. Ada suatu ide yang atraktif bagi dirinya. Lantas keatraktifan itu menjadi trigger atau menjadi pendorong bagi orang itu melakukan dialog (diskusi).
Mendialogkan antara imajinasi dengan pengertian. Mendiskusikan imajinasi dan pengertian yang ada (dan berlangsung) di dalam dirinya. Dialog antara imajinasi (imagination) dan pengertian (understanding) yang terjadi di dalam diri seseorang itu, akan mendorong percepatan pemahaman terhadap sesuatu.
ADVERTISEMENT
Maka itu “a free play of the mind” merupakan instrumen yang berfungsi sebagai penggoda atau pengusik. Ia pengusik yang memungkinkan seseorang untuk memahami, mengerti, serta menyukai sesuatu. Orang menjadi dan memperoleh kepuasan, karena ia telah menangkap (pemahaman) terhadap sesuatu itu, “the full satisfaction of getting it”.
Gagasan tentang “a free play of the mind” merupakan sesuatu yang menggugah. Kita dapat melukiskan bagaimana pikiran kita “berdansa” dengan perasaan kita. Antara pikiran dan perasaan bertemu, berdiskusi, dan melakukan dialog, sehingga “perdansaan” antara pikiran dan perasaan itu menghasilkan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap segala eksposur yang datang kepada diri kita.
Pikiran dan perasaan kemudian menjadi partner untuk berdansa bersama, menari bersama, berdiskusi bersama, berdialog bersama, memutuskan bersama, dan menyepakati kesimpulan bersama.
ADVERTISEMENT
Mereka menilai bersama terhadap setiap eksposur yang dilihatnya. Mereka memberi penilaian terhadap eksposur yang ditangkap dan dirasakannya, kemudian mereka akan memutuskan bersama, apakah ekposur itu disukai, diminati, atau bahkan ditolak.
Dua abad setelah gagasan Kant di atas, para ahli psikologi mengembangkan gagasan tentang apa yang sering kita kenal sebagai ide tentang metakognisi, (metacognition). Di dalam metakognisi diketahui bahwa ada level berpikir pada diri seseorang.
Dalam bahasa Derek Thomson (2018) dinyatakan bahwa “there is a level of thinking above thinking”, sehingga orang bisa berpikir tentang pikirannya, dan orang bisa merasakan tentang perasaannya. Itu sebabnya, kita sering menemukan ada orang yang menyatakan bahwa “ini adalah sesuatu yang melukai pikiran saya”.
ADVERTISEMENT
Di sini orang dapat merasakan pikirannya sendiri. Begitu juga dengan perasaan. Orang bisa merasakan perasaannya sendiri. Kita sering menyaksikan orang berkata bahwa “hal itu adalah membahagiakan (atau melukai) saya”.
Ilustrasi debat (Foto: Steemit)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi debat (Foto: Steemit)
Ketika inilah orang-orang dapat mendengarkan argumen yang berkecamuk di dalam diri sendiri. Keberkecamukan itulah, yang kemudian menggiring orang untuk sampai kepada kesimpulan atau konklusi. Sebuah kesimpulan yang akan mendorong setiap orang untuk menentukan dan mengambil keputusan.
Orang lantas menentukan apakah ia akan setuju dengan pesan eksposur itu, atau bahkan sebaliknya untuk tidak menyetujui, tidak menyukai pesan yang terkandung di dalam eksposur tersebut.
Jika kita perhatikan secara seksama, berpikir itu sesuatu yang dirasakan sebagai sebuah tindakan seperti orang sedang bekerja. Di dalam berpikir, orang beraktifitas (sedang) melakukan imajinasi. Ia melakukan imajinasi terhadap kata-kata dan susbtansi isi pesan.
ADVERTISEMENT
Ia bersamaan dengan itu, juga melakukan pengaturan ritme. Berpikir dengan keras, berpikir dengan sedang, berpikir dengan lunak. Ia juga melakukan strategi. Mempertanyakan apakah dalam berpikirnya itu, ia sedang berpikir?
Apakah dalam berpikir, orang tengah melakukan perintisan sesuatu yang baru, perintisan atau penerobosan sesuatu tanpa dibebani oleh sebuah pakem-pakem kejumudan?
Itu sebabnya, dalam berpikir, orang-orang sedang melakukan sebuah proses argumentasi yang kompleks, agar apa yang keluar dari hasil pemikirannya merupakan sesuatu yang positif, bermanfaat dan baru. Bukan sebuah hasil pemikiran yang tak bermanfaat atau bahkan tak disukai oleh publik.
Oleh karena itu, dunia eksposur bukanlah sebagai sebuah arena yang berdiri sendiri. Ia merupakan cermin dari apa yang sedang terjadi di tengah kehidupan masyarakat kita. Ia refleksi dari apa yang ada di dalam batin masyarakat kita. Ia adalah representasi dari kapasitas intelektual yang sedang berkembang di tengah masyarakat kita.
ADVERTISEMENT
Ia adalah lukisan terhadap cara pandang yang dominan di dalam masyarakat kita. Ia adalah representasi segmen-segmen kualitas yang dimiliki masyarakat kita. Itu sebabnya, di dalam dunia eksposur, kita akan menemukan banyak tanda dan simbol.
Tanda dan simbol yang menjadi landmark bagi kita semua: apakah masyarakat kita telah menapaki kemajuan yang berarti, atau bahkan kita masih tertatih-tatih dalam menggapai masa depan kita bersama?
Praktik demokrasi yang sedang kita lakukan sekarang ini merupakan cermin reflektif yang memberi gambar besar dari apa yang tengah terjadi di dalam kehidupan kita. Itu sebabnya, ada baiknya kita memperhatikannya dengan seksama, agar kita tak menempuh jalan yang salah untuk masa depan kita bersama.
Kita berharap bahwa praktik demokrasi kita lebih mencerahkan. Ia bisa membuka “the new mindsets” yang memberi harapan besar terhadap perbaikan dan peningkatan kesejahteraan kita bersama. Kita berharap apa yang terjadi itu adalah praktik demokrasi yang mempersatukan.
ADVERTISEMENT
Demokrasi yang bergerak di dalam sebuah komitmen kebangsaan, yakni demokrasi yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukankah kehidupan bangsa yang cerdas itu merupakan salah satu tujuan kehidupan kebangsaan kita?
Kita juga mengharapkan bahwa isi gagasan yang ada di dalam semua eksposur itu membuat kita bisa terus dalam keadaan guyub dan menyenangkan mental kita bersama: eksposur yang isinya “that idea sounds familiar; that idea feels right; and that idea is good and true”. Ide-ide itulah yang kemudian diharapkan mengisi relung perasaan dan mental masyarakat kita.