Jepang, 'Ikigai', dan Pembelajaran Hidup

Muchlis R Luddin
Penulis adalah Guru Besar Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan saat ini menjabat sebagai Irjen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Konten dari Pengguna
7 Oktober 2018 9:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muchlis R Luddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi para pencari kerja di Jepang (Foto: Reuters/Yuya Shino)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi para pencari kerja di Jepang (Foto: Reuters/Yuya Shino)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tahun 2017 Penguin Books menerbitkan sebuah buku karangan Hector Garcia dan Francesc Miralles dengan judul Ikigai, The Japanese Secret to a Long and Happy Life. Buku itu menceritakan tentang apa yang menjadi alasan utama bagi orang untuk bisa tetap hidup dengan usia panjang.
ADVERTISEMENT
Dalam bahasa yang lebih mudah dipahami, dinyatakan dalam sebuah pertanyaan pokok: “What is your reason for being?”. Atau dalam bahasa yang acap digunakan oleh para filosof Prancis sering disebut sebagai apa yang menjadi “a raison d’etre”, sehingga kita masih tetap (memilih) atau tetap (bertahan) hidup!
Itulah yang kemudian dikenal dalam masyarakat Jepang sebagai 'Ikigai'.
'Ikigai' dibangun oleh sebuah gugatan pokok tentang kehidupan kita. Orang-orang (modern sekarang) masih disibukkan untuk mencari makna kehidupan: “What they do and how they life”.
Kita sering kali dihadapkan kepada pertanyaan-pertanyaan tentang apa makna dari kehidupan yang sedang saya jalani? Apakah saya hidup ini hanyalah sekedar hidup, atau saya harus hidup untuk mencapai tujuan tertentu?
ADVERTISEMENT
Mengapa sebagian orang tahu ke mana mereka akan menuju dalam mengarungi kehidupan ini? Dan mengapa pula sebagian orang tak mau tahu ke mana mereka akan pergi?
Sebagian orang tahu apa yang ia kehendaki, tapi sebagian lagi tak tahu apa yang mereka kehendaki. Bahkan banyak orang yang mengalami 'confusion'! Pertanyaannya adalah mengapa hal ini bisa terjadi?
Orang-orang selalu cenderung mengalami ketidakpahaman akan kehidupannya sendiri. Orang seringkali bersikap 'take it for granted' terhadap tata hidup dirinya sendiri.
Orang selalu cenderung untuk hidup mengalir, membiarkan diri terbawa arus kehidupan, tanpa tahu hilir yang hendak dicapai. Kehidupan seolah turun-naik. Ia bergerak dari satu arus ke arus yang lain. Satu kali bisa murung, kali yang lain bisa bergembira.
ADVERTISEMENT
Suatu ketika kita puas, ketika lain kita kecewa. Kebahagiaan seolah statis, tak banyak bergerak, menunggu keadaannya tiba sendiri.
Tetapi di masyarakat Jepang, misalnya, kebahagiaan itu tak bersifat statis, tak sepi, atau stagnan. Kebahagiaan itu bersifat sibuk, dinamis. “The happiness of always being busy”.
Tokyo, Jepang (Foto: Reuters/Toru Hanai)
zoom-in-whitePerbesar
Tokyo, Jepang (Foto: Reuters/Toru Hanai)
Itu sebabnya, di beberapa daerah, usia (harapan) hidup orang sangat panjang, bahkan dapat mencapai di atas seratus tahun. Pertanyaan yang sering keluar dari kita adalah mengapa mereka bisa hidup dengan umur yang panjang? Adakah rahasia di balik fenomena umur panjang itu?
ADVERTISEMENT
Salah satu jawaban yang muncul adalah adanya keinginan untuk berkehidupan dengan menggunakan prinsip kunci sebagai berikut: “Simple life in the outdoors, green tea, and subtropical climate”. Inilah yang kemudian disebut cara pandang 'Ikigai', yang membentuk cara hidup orang Jepang.
Pertanyaan selanjutnya, apakah nilai-nilai yang terkandung di dalam 'Ikigai' tersebut? Di kalangan orang-orang Jepang telah terpatri penerapan prinsip kehidupan 'ichariba chode' yang menjadi ekspresi setiap orang.
'Ichariba chode' itu bermakna bahwa “treat everyone like a brother, even if you’ve never met them before”. Penerapan prinsip ini disertai oleh berlakunya prinsip yang lain dalam kehidupan, yakni praktik 'Yuimaaru' atau dikenal juga dengan 'teamwork'.
Orang saling bekerja dan saling membantu satu sama lain, sehingga tak ada satupun masalah yang terjadi di dalam masyarakat yang tak terselesaikan.
Penduduk setempat mencoba membersihkan reruntuhan di daerah yang terkena banjir di kota Mabi, Kurashiki, Jepang. (Foto: Reuters/Issei Kato)
zoom-in-whitePerbesar
Penduduk setempat mencoba membersihkan reruntuhan di daerah yang terkena banjir di kota Mabi, Kurashiki, Jepang. (Foto: Reuters/Issei Kato)
Dalam perjalanan mengarungi kehidupan, dengan tata nilai dan prinsip hidup seperti di atas, kehidupan dibentuk oleh sebuah konfigurasi kesadaran praktik berkehidupan, yakni “nurturing frienship, eating light, getting enough rest, and doing reguler, moderate exercise”.
ADVERTISEMENT
Semua itu merupakan unsur dan elemen praktik berkehidupan agar orang bisa hidup dengan panjang umur, serta berkeseimbangan dalam mengarungi kehidupan di dunia ini.
Itulah 'Ikigai' atau 'a raison d’etre' yang bersemayam jauh di dalam diri kita masing-masing. 'Ikigai' merupakan pusat dari pertemuan antara “what you love” yang terdiri dari “mission and passion”, dengan “what you are good it” yang terdiri dari irisan “passion and profession”, dan “what you can be paid for” yang terdiri dari irisan “profession and vocation”, serta “what the world needs” yang terdiri dari irisan “vocation and mission”.
Dengan kata lain, 'Ikigai' dirumuskan sebagai “the brings satisfaction, happiness, and meaning to our lives”. 'Ikigai' inilah yang membawa orang-orang Jepang, khususnya di distrik Okinawa, Ogimi, dalam apa yang sering dikenal sebagai 'blue Zones', yakni daerah yang secara geografis dikategorikan sebagai zona “where people live longest”.
ADVERTISEMENT
Orang-orang yang hidup di daerah ini rata-rata berumur panjang. Orang-orang hidup dengan sehat, aliran darahnya lebih sedikit mengandung radikal bebas, mereka hidup dengan tata cara meminum teh dan makan sampai perutnya hanya terisi penuh 80% saja. Tak pernah lebih dari itu semua.
Di dalam studi-studi tentang daerah 'blue zones' di dunia, daerah yang dikenal berpenduduk usia panjang umumnya memiliki nilai praktik kehidupan seperti yang terjadi di Okinawa Jepang.
Ada semacam 'Ikigai' yang memberi panduan bagaimana seseorang memiliki “sense of purposes to each and everyday”. Dan sense semacam inilah yang memegang peranan penting dalam memelihara kesehatan masyarakat (jiwa dan raga), sehingga masyarakat dapat hidup dengan usia yang relatif panjang.
ADVERTISEMENT
Di manakah daerah-daerah itu berada? Mereka adalah Okinawa, Jepang; Sardinia, Italia; Loma Linda, California; The Nicoya Peninsula, Costa Rica; dan Ikaria, Yunani.
Hari Penghormatan Orang Lanjut Usia di Jepang (Foto: REUTERS/Toru Hanai)
zoom-in-whitePerbesar
Hari Penghormatan Orang Lanjut Usia di Jepang (Foto: REUTERS/Toru Hanai)
Lantas pertanyaan berikutnya adalah apa yang menjadi kunci yang bisa mendorong orang untuk memperoleh umur yang panjang (longevity)? Jawabannya adalah --sekali lagi menurut Hector Garcia dan Francesc Miralles (2017)-- "diet, exercise, finding a purpose in life (an Ikigai), forming strong social ties, and having a broad circle of friends and good family relations”.
Tetapi jangan lupa bahwa kita harus “fill your belly to 80%”. Itu sebabnya, kita harus menyetop kebiasaan makan kita. Hentikan kebiasaan makan sampai dengan perut penuh.
Jargon yang harus kita pegang sejak saat ini adalah “stop eating when we feel our stomachs reach 80% of our capacity”. Kapasitas makan yang berlebih akan menyebabkan orang tak bisa hidup dengan umur yang lebih panjang, apalagi 'Ikigai' tak pernah ada dalam siklus kehidupan kita.
ADVERTISEMENT
Semoga kita makin sehat dan berumur panjang dengan tetap hidup dalam kesibukan yang bermanfaat bagi semua. Itulah kehidupan yang lebih sejahtera lahir bathin!